18 Mei 2008

Satuu... duaaaaa... tigak!!!

Di desa, di kampung, di kota, di gubuk-gubuk kumuh, di geria-geria tawang dan di mana-mana, setiap anak kecil yang sudah mulai faham dan mampu merespon bahasa tentu pernah dikenalkan kepada aba-aba sederhana seperti itu.
Aba-aba yang diserukan ketika seorang anak kecil belajar melompat, menangkap bola atau menyambut tepukan tangan. Sebuah pengajaran yang kelak sangat berguna sebagai alat untuk bertahan hidup.
Dimulai pada awalnya dengan nilai. Membaca : enam, menyanyi : delapan, berhitung: tujuh, dan seterusnya. Kalau ingin mendapatkan pengakuan maka si anak harus berusaha untuk mendapatkan nilai setidak-tidaknya tujuh atau tujuh puluh. Di luar itu, maka dia akan menjadi seorang anak yang tidak masuk hitungan dalam kelompok sosialnya.
Guna memotivasi agar nilai menjadi bergengsi, tak jarang dijanjikan hadiah, mulai dari tas atau sepatu baru sampai tamasya ke sorga permainan, di pasar-pasar malam, tempat rekreasi, naik sepur (!) ke kota lain, ke game-zone di mal-mal, ke tempat yang bagaikan surga bagi mereka. Tetapi kalau nilai jeblog, juga sederet sanksi terkadang disertakan berupa larangan menonton televisi, larangan bermain sepulang sekolah, sampai dengan dihapuskannya subsidi uang jajan.
Untuk mendongkrak gengsi, terkadang pula si anak diharuskan mengikuti pelajaran-pelajaran tambahan di luar sekolah, mulai dari les matematika, piano sampai dengan kaligrafi dan menyanyi. Tentu akan dipilihkan lembaga-lembaga terpilih, agar keinginan tercapai.
Benar, bahwa bermula dari hitungan dalam bermain yang sangat sederhana berupa kata-kata : satuuuu... duuuuuaaaa... tigak !!!, perjuangan untuk meraih kehidupan yang layak telah dimulai, dan sejak itu pula seolah-olah aba-aba seperti itu menjadi ciri bahwa sesuatu sedang dimulai.
Sebaliknya, ketika aba-aba dibalik : tigaaaa, duaaa, satu! Maka sebuah event harus diselesaikan. Ujian selesai, waktu untuk mengerjakan soal ujian telah habis, pensil harus diletakkan, kertas jawaban dijauhkan dari jangkauan, waktu telah habis.
Kemampuan berhitung menjadi salah satu pilar utama yang harus dikuasai agar seseorang mampu menjalani hidupnya dengan baik. Memobilisasikan harta, menggalang dan meningkatkan jumlah dukungan, mengalokasikan sumber-sumber daya, memberikan imbalan yang proporsional, mengatur ritma waktu kehidupan, dan hampir semua segi dalam kehidupan yang harus ditata sesuai dengan kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai.

Salah seorang kerabat yang bergiat sebagai anggota tim kampanye diberitakan jatuh sakit ketika proses kampanye pilkada sedang berlangsung. Kelelahan fisik dan mental telah berakumulasi dan menekan kesehatannya begitu rupa sehingga dia harus dirawat di RS untuk beberapa waktu. Tampaknya perjuangan untuk menang dalam pemilihan demikian hebatnya, sehingga seorang anggota tim jatuh dan tumbang kelelahan karena perhitungan energi dan kalori yang mungkin lolos dari kalkulasi. Padahal, rentang waktu masa kampanye serta rentang permasalahannya bisa dibanding hanya seupil apabila dibanding dengan waktu dan masalah yang harus ditempuh serta dihadapi setelah seseorang menjadi kepala daerah..
Saya tidak habis mengerti, apakah para Bapak dan Ibu yang sekarang sedang sangat bersemangat untuk terpilih itu telah benar-benar berhitung tentang segala-sesuatunya setelah nanti terpilih menjadi kepala daerah?
Apakah studi dan kalkulasi ipoleksosbudhankamnas-nya menunjukkan posisi kuadran kesejahteraan yang lebih baik untuk rakyat di daerah yang akan dipimpinnya peningkatan pada akhir masa jabatan apabila dibanding dengan keadaan sebelum para beliau menjabat sebagai kepala daerah?
Mungkin saya yang kurang mengerti, mungkin pula saya yang kurang mendapatkan informasi cukup tentang adanya penilaian akhir jabatan seorang kepala daerah kecuali bahwa yang bersangkutan: tidak mencalonkan lagi, mencalonkan diri kembali tetapi tidak terpilih lagi atau terpilih lagi. Semua tanpa parameter-parameter yang mudah dicerna dan dihitung dengan bilangan satu.. dua.. tiga dan seterusnya.
Tolok-ukur keberhasilan dan kegagalan sebenarnya amat mudah dilihat secara nyata, dan mungkin bahkan tidak memerlukan ukuran-ukuran yang rumit, misalnya apakah rakyat yang berada di RT 1000 RW 100 kelurahan Sejuta Pohon kecamatan Setengah Hati kabupaten Seratus Persen yang dahulunya tingkat konsumsi hariannya tiga ratus perak sehari atau senilai 60 gram beras sekarang sudah meningkat ? Apakah mengurus KTP sekarang tidak perlu biaya, cukup ditunggu sepuluh menit sambil menonton TV dan disuguh minuman dingin ? Apakah jalanan kota dan kampung-kampung terasa cukup aman bagi siapapun yang melintas tanpa cemas terjadi kecelakaan ?
Dan yang paling penting, apakah semua merasakan adanya kecenderungan ke arah perbaikan yang berjalan secara ajeg dari waktu-ke waktu selama masa jabatan ? Bukan hanya menjelang masa kampanye berikutnya ?
Kalaupun oleh beberapa lembaga ‘independen’ digelar even pemberian award keberhasilan daerah yang bermacam ragamnya, rasanya saya dan para kaum awam masih juga akan bingung karena parameter penilaiannya sulit saya mengerti, sementara yang lebih nyata adalah bahwa perubahan ke arah perbaikan masih juga tidak menyentuh akar rumput. Sehingga terkadang hanya menambah deretan pertanyaan baru: untuk siapakah sebenarnya award tersebut.
Menjadi kepala daerah pada awalnya pasti akan dimulai sebagai kepala sebuah lembaga pemerintahan, Sebuah kantor dengan ratusan atau ribuan manusia yang harus digerakkan dalam sebuah sistem yang sudah ada sejak beliau berada di luarnya. Sistem inilah yang nantinya akan bekerja membuat perubahan, dengan kepala daerahnya sebagai motor utama dan sekaligus sebagai pengendali tunggalnya.
Apakah kerja sistem ini sudah cukup difahami, sehingga pada saatnya dapat digerakkan dan dikendalikan tanpa kesulitan ?
Seorang kepala daerah, menurut saya adalah orang yang harus dipilih karena memiliki kemampuan memimpin perangkatnya, pendukungnya, dan masyarakat yang dipimpinnya serta mampu merespon dengan baik kritik serta saran konstruktif yang semua diarahkan untuk bermuara kepada peningkatan kesejahteraan seluruh anggota masyarakatnya.

Sudahlah, saya malah menjadi pusing karena membayangkan ketidakmampuan saya sendiri.
Untung saya merasa tidak mampu, karena kalau saya merasa mampu jangan-jangan malah tergoda untuk mencalonkan diri jadi bacakada alias bakal calon kepala daerah.

5 komentar:

  1. Satu.. Dua.. Tiga.. sayang semuanya, - tanpa rebutan
    - tanpa jotosan
    - tanpa tandingan
    Bersaing boleh, asal tetap sportif dan damai. Setuju???

    BalasHapus
  2. Ten.....nine.................................Go!!
    konon masih ada masarakaat yang hanya bisa berhitung samjpai dua saja.
    satu, dua, banyaak
    jadi ya gak pusing... entah bberapapun... lebih dari dua..."banyak" ☺

    BalasHapus
  3. baru sampai htungan ke tiga saja, dampaknya sudah demikian luarbiasa,
    apalagi triliun ....

    BalasHapus
  4. Saya selalu terbayang konsep angka numerik. From zero to infinity. Analoginya sama dengan from here to eternity. Ada sesuatu tak terhingga yang kita tak tahu. Untunglah kita yang tahu sampai batas mana kita tahu dan mampu.

    BalasHapus
  5. itulah pak bud,
    antarsetasiun dulu mesti ada haltenya...
    (sepuuur lagi!)

    BalasHapus