30 Mei 2008

Ngepel lantai

“ Kegiatannya sekarang apa Pak ?”
“ Ngepel lantai”
“ Ah, Bapak ini becanda! Masa ngepel lantai....”
“ Lhooo, nggak percaya kaaaan? Ayoo ke rumah, kalau pengen tahu buktinyaa...”
“ Nah, pembantunya?”
“ Pulang. Semua.”
“ Tiga-tiganya ?”
“ Lha iyak, dan tidak kembali lagik! Aku ini sekarang tinggal berdua sama Ibu (maksudnya: isterinya). Untung saja Ibu sekarang ndak ikut, di rumah; makanya aku mesti cepet-cepet pulang”
Kok terdengar seperti sebuah keluhan yang dilucu-lucukan.
Tak terbayangkan andaikata yang disampaikan itu benar. Ibarat jendral, beliau ini sebelumnya menjadi pemimpin dari sebuah Perusahaan dengan duapuluh ribuan karyawan. Sekarang pensiun : ngepel lantai sendiri.
Yang jelas mesti bukan karena munculnya hobi atau kesenangan baru pasca pensiun, karena saya tidak pernah mendengar ada hobi ngepel lantai. Tentu ada musabab yang beralasan, mengapa ketiga pembantunya pulang untuk tidak kembali lagi.
Nah?!
Logical unit di pikiranku bekerja untuk mencari kemungkinan terdekat yang bisa menjelaskan kenapa ketiganya pulang.
Jaman beliau dulu masih berada dipucuk kedudukannya, paling tidak ada tiga orang yang bila dipanggil (bahkan kadang cukup dengan bunyi bel) pasti akan datang untuk siap mendapat perintah tanpa membantah. Yaitu sekretaris, pelayan dan drivernya. Di samping itu, belasan manajer yang akan meninggalkan apapun aktivitasnya bila beliau memanggil, di manapun mereka (para manajer itu) berada, dan kapan saja (duapuluh empat jam sehari dalam setahun). Sebuah wewenang yang teramat hebat. Disposisinya di sepotong kertas memo, sangat besar artinya bagi keberlangsungan aktivitas seluruh organisasi. Begitu terbiasanya beliau berpikir tentang hal yang besar, berdampak luas dan memberikan pengaruh yang dalam.
Lalu tiba-tiba semua harus selesai karena pensiun. Power harus diserahkan kepada yang sekarang berhak menggantikannya.
Saya percaya bahwa kematangan berpikir beliau sebagai “orang besar” tentu sudah lebih sempurna dibanding orang kebanyakan, apalagi kalau dikaitkan dengan usia beliau yang relatif lebih ‘sepuh’. Tetapi, manusia tetaplah manusia dengan segala keterbatasannya terutama dalam mengolah hati dan pikiran, sehingga perubahan keadaan sehari-hari yang demikian drastis mau tidak mau juga berpengaruh dalam cara menyesuaikan diri untuk menghadapinya. Demikian pula dengan mengelola perasaan tentang power yang sebelumnya dimiliki.
Mungkin, para pembantunya mendapat kejutan-mental, karena begitu ‘Bapak’ yang biasanya jarang di rumah atau jarang sempat memperhatikan hal-hal kecil di rumah, tiba-tiba ini seharian ada di rumah bukan sekedar karena libur, tetapi untuk seterusnya, atau sampai waktu yang tidak ditentukan (artinya, sampai beliau mendapatkan aktivitas lain yang kontinyu di luar rumah).
Maka dimulai dengan order-order tidak biasa, komentar-komentar yang tidak biasa terdengar, diteruskan dengan sentilan-sentilan yang semakin lama semakin mengganggu pendengaran dan perasaan, sampai dengan ‘kemarahan-kemarahan’ yang sebenarnya tidak perlu kepada para pembantu tersebut, yang akhirnya membuat mereka menjadi merasa tidak lagi nyaman bekerja. Dan karena mereka bekerja juga tanpa dilindungi oleh Surat Keputusan layaknya pegawai, maka pertimbangan untuk berhenti bekerja bukanlah hal yang sulit dibandingkan dengan kemungkinan-kemungkinan apabila tetap melanjutkan bekerja ‘ndherek’ atau ‘ikut’ Bapak dan Ibu. Kesetiaan dan rasa pengabdian yang selama ini telah terpupuk dan terpelihara menjadi goncang, sementara untuk pindah atau berganti majikan atau kembali ke tempat (desa) asal relatif tidak terlalu mengkawatirkan masa depan mereka.
Untuk berganti majikan, mereka telah mengantongi pengalaman sebagai PRT pada keluarga seorang eksekutif, sehingga calon majikan pasti akan lebih memilih mereka daripada calon pembantu yang belum berpengalaman. Untuk kembali ke tempat asal, bekal dan tabungan mereka relatif sudah lebih baik daripada kolega-kolega lain yang tidak sekelas mereka. Maka resign menjadi putusan terakhir yang lebih baik. Begitu perhitungan mereka kira-kira.
Syahdan,
Ketika serumah tinggal berdua, apalagi yang harus dilakukan sementara pembantu baru belum datang? Makan? Bisa di luar atau pesan-antar (call delivery). Tapi lama-lama bosan juga kan? Cuci-setrika? Masih gampang, ada jasa laundry. Menyapu, mengepel, membersihkan halaman, menata tempat tidur, merawat burung ikan ? Kalaupun bisa memanggil orang, maka tidak semudah itu menerima orang baru yang tidak dikenal, lalu tiba-tiba berseliweran di dalam rumah dan ruangan serta kamar-kamar. Berarti, selain cuci-setrika dan makan? Ya kerjakan sendiri lah. Termasuk mengepel lantai.

Demikian logika saya menjelaskan sebab-musabab kenapa beliau akhirnya mengepel sendiri lantai rumahnya. Mudah-mudahan yang seperti ini cuma sehari-dua hari saja, sehingga cukup menjadi ‘kenangan manis’ bagi beliau, sebagai bahan gurauan semata di kala hati sedang bergembira. Dan mudah-mudahan logika saya cuma isapan jempol semata yang terproses karena kejahilan pemikiran saya sendiri.

7 komentar:

  1. weheheh,,,saya selalu suka kegiatan ngepel dan menyapu pak,,

    BalasHapus
  2. seneng ki seje karo kepekso, mbak
    aku yo seneng, seneng maido ...
    ( ketoro, yo)
    pake bs jawa, sambil latihan

    BalasHapus
  3. Sewaktu SMP saya sering ''melantai'' istilah lain dari ngepel. Nama yag lain lagi ''nylaber''. Tapi sama saja... hasil ahirnya '' kringet ... bau nyegat'' ... ih tutup hidung !!

    BalasHapus
  4. Masih untung Mas, cuma nyetrika,nyapu, ngepel omahe dewe, itung-itung olahraga ben tambah "bregas" gak perlu malu dan gengsi. Tetanggaku sekarang ngepel, nyaponi hotel prodeo, mergane ndisik sering ngambilin duit kantor...... Aduuh... mbacanya jangan keras-keras ndak didengar yang laen.... kasihan...

    BalasHapus
  5. wahai tetangga !
    aku dilarang membaca koment ini keras-keras

    BalasHapus
  6. waaaaa....aku ndak hanya ngepel...tapi pernah ngecatkan pagernya tetangga dan diupahi.....
    trus resik2 kamar cottage nya tetangga...diupahi juga, he he he...

    BalasHapus
  7. di amrik, dilarang baca komen, juga diupahi?

    BalasHapus