Dia bernama sepur, julukannya sejak kecil. Nama yang sebenarnya adalah Kereta Api.
Pada saat ini keluarganya sangat menderita sekali. Tampaknya kehidupan mereka sangat jauh di banding dengan sesama saudaranya yang trah BUMN itu, meskipun di antara beberapa saudaranya juga berada pada kondisi yang memprihatinkan.
Kurang lebih empat bulan yang lalu, saya terkejut ketika melihat salah satu rangkaian KRL yang ‘asing’ di stasiun Gambir. Aneh bentuknya dan aneh tampangnya. Pada mulanya saya kira ini adalah sepur tamu, yang mungkin lewat Gambir dari tempat asalnya entah Taiwan, Hongkong atau Korea. Tetapi setelah saya ingat bahwa antara tempat-tempat itu tidak ada jembatan langsung atau terowongan ke Gambir, sadarlah saya bahwa mungkin sepur itu sekarang memang sudah diadopsi sebagai anggota keluarga sepur kita sendiri.
Sayang, karena keterpukauan saya, saya tidak sempat memotretnya agar dapat divisualisasikan di sini.
Bodinya bercat silver metalik tapi agak kusem. Lampu-lampu di dalamnya lebih terang dibanding saudara sulungnya yang lain. Kelebihan lainnya, sepertinya ruangnya terasa lebih longgar dan bersih. Pada batang pipa melintang di sepanjang gerbong tergantung banyak ( ! apa namanya ?) tempat pegangan yang disainnya ergonomik.
Yang paling menarik perhatian saya, pada sisi-sisi luar gerbong terdapat boks-boks berlampu yang mungkin penunjuk jurusan kereta tersebut. Saya benar-benar buta terhadap huruf yang tertera di gerbong tersebut, soalnya ditulis dengan tulisan Kanji. Mungkin bunyinya Seoul-Panmunjom, begitu kira-kira.
Lumayan lah. Tambahan alat transportasi untuk memfasilitasi para saudara yang memerlukannya berangkat dan pulang antara rumah dan tempat kerja di Jakarta ini.
Lumayan juga untuk tidak menambah kendaraan pribadi yang semakin menyesaki jalanan dengan jumlah dan polusinya. Dan lumayan pula untuk tidak menambah beban pak Polisi dalam mengatur, menjaga dan menertibkan lalu-lintas. Lumayannya banyak sekali. Apalagi kalau dirupiahkan penghematan yang dapat dilakukan sebagai hasil dari datangnya sepur ‘asing’ ini.
Saya berimajinasi bahwa di antara para penumpang pengguna KRL tersebut terdapat pula beberapa pegawai kantor Kementerian BUMN dan Departemen Keuangan yang berada di arah timur stasiun Gambir ini. Juga Departemen Perhubungan. Para pegawai kantor yang lembaganya pasti sangat berhubungan dengan mengurusi PT KAI, si pengelola sepur kita. Para pegawai yang (mungkin sekali) para bosnya tidak pernah melihat sepur ‘asing’ ini (kasihan ah, dibilang asing padahal sudah jadi anggota keluarga sendiri), karena ketidak-sempatan, ketidak-mungkinan atau ketidak-adanya dan ketidak-sampainya informasi bahwa kini sudah beroperasi sepur baru yang berasal dari ‘sana’. Sepur baru yang bekas, sepur bekas yang baru, atau bekas sepur baru, terserah menyebutnya.
Bekas.
Di sini saya menjadi trenyuh kepada PT KAI. Sedemikian miskinkah kita untuk bisa membeli serangkaian gerbong baru ? Atau, apakah sudah demikian rudinkah kita, sehingga bahkan untuk mengecat bodi sepur bekas tersebut kita tidak mampu? Tidak cukupkah uang untuk mengupah orang guna melepas beberapa boks penunjuk jurusan bertulisan Kanji dengan jurusan ngoyoworo tersebut?
Kalau benar demikian miskinnya, wah, benar-benar daftar malu saya harus bertambah lagi, sehingga saya akan semakin berkurang punya kebanggaan mengaku sebagai bangsa Indonesia di tanah air sendiri, apalagi kalau sepur yang wujudnya seperti itu di stasiun Gambir sampai diambil gambarnya dan tertayang di media luar-negri sana.
Atau saya harus berdandan a la Pemimpin Besar Revolusi, lantas berpidato di atas podium Istora Senayan begini:
Wahai sodhara-sodhara sebhangsa dhan setanah air,
terutama yang beradha di Jakarta ibukota tercinta,
terutama sodhara-sodhara yang berkantor sekilo jaraknya dari stasiun Gambir,
saya mengajak sodhara untuk sejhenak mengheningkan cipta bagi sepur kita yang sedhang sangat mendherita ini :
....................................
Mengheningkan cipta : Selesai.
Kita ini bhukan bhangsa tempe, saudhara-saudhara , tetapi sudah menjadhi bhangsa menthog,
Untuk itu marilah sekharang bhersama sama khita menyanyikan laghu kebhangsaan menthog kita bhersama-sama dhengan penuh semangat :
Menthog, menthog, tak kandhani,
Mung lakumu kang ngisin-isini
Ambok aja ngétok, ana kandhang waé
Pénak-pénak ngorok, ra sah tandang gawé
Ménthog, ménthog mung lakumu, mégal-mégol gawé guyu ......
......
Terima kasih, sodhara-sodhara
Turun podium, pingsan!
Mudah-mudahan sepur tersebut sekarang sudah disulap dan disolek menjadi tidak terlalu memalukan. Mudah-mudahan, karena saya tidak tahu keadaannya sekarang, karena tidak pernah ke Jakarta lagi akhir-akhir ini.
Mungkin KAI saatnya diganti JSI jawatan sepoor indonesa dimana kata spoor masih mengandung konotasi budaya disiplin, malu, tertib dan bersih bebass uap... lagian sepoor sekarang macem2, nggak cuma kereta api, tapi juga ada kereta listrik, kereta disel, kereta menthog, kereta barang dll.
BalasHapusSehingga sepoor sebagai alat angkut CTman lebih cepat terujut.
ngga malu2in.
Wah KAI memang lambang inefisiensi dan mismanagemen perusahaan negara. saya masih bangga kereta api lawas jurusan Ambarawa kedung jati, Ambarawa Secang di tahun lima puluhan.
BalasHapusbetapa terlalu tidak sempurnanya Indonesia dibanding negara lain.....tapi....mereka tidak bisa meninggalkan negara kita, dalam keadaan apapun, bahkan mgkn meski cuma untuk mengejek.....
BalasHapustulisan tidak diganti, cat tidak diperbaharui :
BalasHapus1. mungkin karena waktu beli ada perjanjian " jangan dihapus jika belum lunas"
2. mungkin dipakai sebagai alat motivasi buat pegawai KAI "kapan kita bisa bikin yang seperti ini"
3. mungkin saja itu sudah diganti dengan jurusan di kota - kota indonesia tetapi yang nulis nggak bisa huruf latin jadi pakai huruf kanji.
4. mungkin juga buat sindiran bagi pejabat KAI yang nggak mau pindah dari rumah dinas "harga rumah dinasmu bisa buat ngecat ini kereta
kalau negara ini sudah demikian berat untuk memberi makan rakyatnya,
BalasHapuskenapa pula membuka diri untuk dimakan orang?
daging pula yang diberikannya
sementara
keelokannya tetap mempesona siapapun juga
Sampeyan wis nate krunggu enek "spoor hantu" yang melaju dari Bogor ke Manggarai tanpa Masinis dan Penumpang. Aneh bin ajaib.... Waktu itu kabare santer lho....
BalasHapuslebih seru dan fakta:
BalasHapusrangkaian sepur barang dr bangil-suroboyo (depo sidotopo)
dijalankan n disupiri wong edan! dewekan !
Dhemit ketemu wong eduan dolananne sepoor......... ☺
BalasHapusUntunge mung dolanan Spoor, lha kalo yang buat mainan negoro, rakyate dadi korban?
BalasHapuscian yah....mbeli sepoor bekas dari negeri jepun......
BalasHapusmosok ndak mampu minta Inka untuk mbikinin baru seh? padahal kan harusnya yaa menghidupkan pabrik sepoor e dewek yah?
pasti duite tinggal yg receh2 saja, kakehan di embat kaleeeeee
mas mas...aku jadi melok2 nembang menthog...menthog.....hihihi...aku apal buanget tembang kui ...ndisik ndek aku isih cilik diajari ibuku tembang2 dolanan kui....dadi nganti saiki isih sok rengeng2
BalasHapus> mas indro: aku aja malu, mestinya yang berwajib harus lebih mualuw
BalasHapus> pak bud: yang ngurus minta sepur secang sudah pangsiyun, ilmunya nggak dipake sama anak-cucunya
> mbak endang: ra trimo ngono, mumpung lemah kesempatan untuk diserbu
> mas ayok : wis pikiren dw kiro2 carane ngatasi yok-opo
> mbah suro: dolanan negoro? njenengan sebhul, mawon mbah
> mbak wieda: ojok kaget, akeh sing ngisini-ngisini koyok menthog