Namaku Dityo Kolokemaki, nama alias baru yang belum semenit lalu digelarkan oleh dhalangku untukku.
Sebenarnya aku punya nama dan gelar lain, tergantung pada siapa aku bekerja, aku kan seorang profesional.
Di tempat kerjaku yang lain, aku bernama Gendirpenjalin, terkadang juga bernama Klanthangmimis, dan ketika pada saat-saat awal karier profesionalku, namaku Kolomarico. Tetapi, oleh sebagian kenalan, aku biasa dipanggil dengan julukan Cakil. Buto Cakil.
Jujur, aku paling tidak suka disebut sebagai buto, karena dari semua tanda-tanda fisikku tak satupun ada yang mirip dengan tanda fisik sebagai buto. Posturku biasa, tidak guedhe-mbadag seperti buto, kulitku juga sehalus wayang satria yang lain, bukan mbesisik kadhasen seperti kulit buto, atau garing kisut seperti kulit wayang yang ndak kopen, malah mungkin lebih halus kulitku, karena aku seminggu dua kali ke salon untuk luluran. Rambutku juga halus bak sutera, ndak kalah lembut dengan rambutnya mbak-mbak yang berprofesi sebagai manekin, rambutku tidak nggimbal dan penuh kutu seperti rambut buto alasan.
Pakaian dan aksesoriku ? Wayang biasa bajunya pasti kalah jauh dengan pakaianku, yang selalu dilondre licin lembut karena berbahan nomer satu dan bikinan rumah mode langganan para wayang selebriti.
Salah satu ciriku yang menyebabkan aku disebut buto mungkin cuma rahang bawahku, yang sejak dari sononya sudah dicetak maju lebih jauh ketimbang rahang atasku, sehingga sebagian besar gigi bawahku berada di luar atap bibir maupun hidung. Tapi biarkan saja. Aku pede, kok. Dan aku samasekali tak pernah punya maksud untuk merevisi konstruksi uwangku ini. Biar saja, aku syukuri, toh juga pemberian dari yang mbikin aku. Justru aku punya kekhawatiran kalau asetku yang satu ini dibentuk seperti pada umumnya, karierku bisa hancur. Karena dengan bentuk rahang seperti inilah aku dikenal oleh publik. Unik, tiada duanya.
Tapi aku juga punya aset yang lain, yaitu karakter yang aku miliki. Aku ini wayang yang over PD. Berhadapan dengan siapapun aku tak gentar. Sikapku cenderung agresif, termasuk juga caraku berbicara. Inilah barangkali yang menyebabkan dhalangku yang paling baru memberiku julukan Kolokemaki. Kemaki, menurut dia adalah suatu sikap sok menang dan cenderung merendahkan orang lain. Aku setuju dengan stetmennya, karena menurutku komunikasi yang paling cocok bagiku adalah komunikasi yang transparan tanpa tedheng aling-aling:
Sampeyan ini siapa, punya mau apa, punya duit berapa, dan sebagainya sesuai dengan jenis kasus yang ditugaskan kepadaku untuk aku selesaikan. Dan aku adalah tipe profesionaL yang suka menyelesaikan tugas secara cepat dan bersih.
Aku sangat tidak suka kepada orang yang peragu. Suka berlama-lama mengukur segala sesuatu yang semestinya bisa dilakukan lebih cepat, misalnya mengukur maunya orang lain. Bagiku, gak perduli dia itu kesatria pejabat tinggi, kalau datang ya langsung saja ditanya : sampeyan ini siapa, ke sini mau apa, KTP atau ID cardnya mana, tanpa perlu gentar dengan gaya, lagak dan penampilannya atau menggentari para pengawal dan ajudannya. Kalau identitasnya tidak jelas, maksud kedatangannya tidak jelas, ya tolak saja. Nggak usah mbulet-mbulet. Kalo ngeyel, ya usir saja. Kalo nglawan ya kepruk saja. Beres.
Gayaku yang seperti ini sering menjadi bahan pergunjingan di lingkungan kerjaku. Ada yang terus-terang bilang bahwa aku kemaki (eh, betul 100% juga dhalangku ini). Sok pinter, sok berwenang, sok nyepelekan peran orang lain dan sok-sok-sok nggak enak yang lain. Di belakang punggungku ada pula yang bilang kalau aku ini ambisius, suka njatuhin kolega di depan pimpinan dan publik, suka cari muka, dan macem-macem lagi. Ah, acuhin, aja. Emang gue pikirin. Bagiku semua kesan di belakang punggung tentangku itu salah. Kerna mereka sirik saja. Kerna mereka tidak mampu tampil sepertiku, sehingga mengembangkan ketidaksukaannya padaku dengan mengarang hal-hal yang dimiring-miringkan.
Faktanya, keberadaanku tetap diperlukan oleh para bos yang membayarku dengan bayaran tinggi, meskipun kerja dan kemunculanku relatif cuma sebentar. Itu bukti bahwa aku memiliki kualitas nomer satu sebagai wayang yang dibutuhkan eksistensinya di dunia perwayangan. Nomer satu dalam segala hal. Bahkan andaikata bosku kemampuannya cetek, bisa-bisa malah kalah pamor dengan keberadaanku.
Jangankan itu, siapapun dhalang yang olah-sabet dan olah-vokalnya cuma pas-pasan, pasti akan dibilang dhalang bodo ketika tidak trampil memainkanku di depan kelir. Karena aku adalah salah satu tolok ukur kepiawaian seorang dhalang dalam memainkan wayang-wayangnya, meskipun aku cuma dimainkan pada adegan perang kembang saja. Sebagai wayang-wong pun, tarip atau honor bermain sebagai Cakil juga cukup menggiurkan, malah lebih banyak ketimbang sebagai Patih atau Dewo sekalipun. Adegan pada saat kemunculanku adalah adegan paling dinamis dan bersemangat, penampilanku, gendhing pengiringku, dialogku, semuanya.
Terbukti, kan. Jadi, apanya yang salah denganku ?
Kalaupun pada setiap saat aku harus berhadapan dengan kesatria seperti Arjuno atau Ongkowijoyo lalu kemudian aku roboh tertusuk keris senjataku sendiri, bagiku bukan soal, wong memang pakemnya begitu. Orang terkadang bilang habislah aku, matilah aku. Padahal sebenarnya tidak. Aku tetap ada dan dibutuhkan di dunia wayang dari setiap lakon ke lakon, dari setiap jaman ke jaman wayang apapun.
Tapi akhir-akhir ini, dhalang yang memberiku julukan Dityo Kolokemaki membisikiku:
Le, awakmu harus berhati-hati. Kamu harus mulai belajar agar kamu nanti benar-benar menjadi satriyo seperti yang kamu idamkan. Kalau kamu mampu merubah diri dari kebiasaan-kebiasaan ‘kasar’, merubah watak-wategmu menjadi lebih elegan, kamu ini bakal menjadi satriyo yang kualitasnya bahkan akan mengalahkan Raden Janoko, lho Le...
Apa kamu ndak kepengin ?
Hal itu disampaikan ketika kami sedang bersantai di Cafafafeserera Pararadisoso minum Capuccino berdua sambil ndengerin musiknya Balawan.
Katanya lagi:
Potensi luar-biasamu ini rasanya sayang kalau tidak dikembangkan dan diprogram dengan lebih baik lagi. Seharusnya kamu ini tidak cuma muncul sak-keplasan terus mati terus masuk kotak, tetapi lebih dari itu.
Rubahlah gayamu, tinjau lagi paradigmamu, niscaya kamu akan jadi tokoh yang ‘mateng’ dan bukan hanya jadi sekedar wayang yang numpang lewat.
Wah, jadi mikir nih.
Tapi sebenarnya secara sengaja aku sudah mulai melakukan sesuatu, berupa perubahan gaya rambutku lho. Sekarang tak model kriting papan.
Eh,lama juga ya, aku bicara dengan diri sendiri ini, hehehe, kebiasaan yang aku lakukan setiap aku nongkrong di kloset.
Udah, ah nongkrongnya, Cakil udah selesai, klosetnya gantian mau dipakai .....
Kulonuwun, nderek ngiyup...
BalasHapusMerubah penampilan okeylah, tetapi merubah kebiasaan perlu perjuangan, contoh kecil: berhenti merokok, merubah sifat dan karakter bawaan angeel tenaan Mas, aku sendiri lagi berjuang kepingin berubah menjadi orang penyabar. Donga dinonga Mas, Semoga....
Minggir2.. minggir.......
BalasHapusDua pendekar lagi turun gunung........ bahayyyyya. Awas gendring penjalin n mbah soero sama2 berilmu tinggi dan mumpuni........
Slamat bertemu.... eyang2.....di cafafafefe pararadiso...... ngobrol bersama bethoro indro.
Tapi aku wis pesen dhalange sing damai2 wae.....
mestinya malah ngerubung kok,
BalasHapusono bethoro jagongan sama pendekar dan dhalang .....
(pengennya gitchu kan?)
hihihi....ditya kolo menjangan nya mana?????
BalasHapusditya = butho?
mbak wieda,
BalasHapusditya = buto, raksasa
aditya, raditya, radite = matahari
kolo= roh jahat, kecuali kolomenjing, kolojengking