06 Mei 2008

Pilkada

Sebuah lagu bagus yang sering dipakai sebagai bahan olok-olok adalah Indonesia Pusaka. Ketika beberapa kali kesebelasan sepakbola nasional kalah dalam beberapa kejuaraan regional maupun dunia, dikatakan memang sudah cocok dengan lagunya (Indonesia Pusaka):
...... Eeeendoooneeeeeesya sejak dulu kaaaaalaaaahhhhh........
Asem betul, memang.
Lagu itu semakin terlupakan karena tertimbun oleh berbagai puing-puing persoalan yang semakin hari banyak bermunculan di tanah air, di negeri yang masih sangat dicintai oleh banyak orang ini.

Pemanasan menjelang pilkada di segenap penjuru negeri yang ulang-berulang, riuh-rendah dengan berbagai poster, bendera dan kaos serta janji-janji bagaikan bubble yang bermunculan di sekujur tubuh negeri, dilanjutkan dengan segala keramaian jalan santai (kampanye), pawai motor (kampanye), pengobatan dan sunatan gratis (kampanye). Semua seolah-olah tampak seperti luapan sukacita perayaan seperti ketika lebaran tiba. Semacam standar baku : semakin heboh semakin bagus, semakin jalanan macet semakin membuat kompetitor keder, semakin rakyat berbondong-bondong sebayi-bayinya semakin tinggi kans untuk terpilih. Semakin peserta bersemangat semakin bagus, semakin garang mereka, yaa semakin hebat pula kita. Semakin gila pantat penyanyi dangdut diputar-putar membelakangi muka dan wajah orang dari atas panggung semakin meriah pula acara kampanye ini. Semakin kelenger pak polisi mengatur jalanan berarti acara ini sukses.
Lupakan urusan orang-lain yang bukan simpatisan, jangan hiraukan pengguna jalan, persetan kelancaran distribusi minyak, sembako dan komoditi lain. Lupakan bunyi sirine ambulans, jangan urusi supir angkutan umum yang rit-nya terhambat karena jalanan macet. Biarkan orang pingsan kepanasan di lapangan.
Semakin macet semakin bagus. Persetan urusan lain. Momentum ini milik kita. Dan berapa hari lagi kita bikin yang lebih heboh.

Ini semua untuk apa?
Demi pembangunan ?
Demi kemajuan ?
Demi perbaikan ?
Demi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran ?
Atau demi dapat terpilih oleh rakyat ?
Sedangkal itukah ?

Tak usah terlalu muluk dan jauh. Kata ustad, do’a orang teraniaya lebih didengar oleh Tuhan. Ribuan orang lewat yang terhalang berikut para stake-holdernya menggerutu panjang-pendek. Para pemasok sayur, sembako, ayam, telur dan lain-lain kebutuhan dapur dan seluruh pelanggannya di pasar dan di kampung-kampung, supir bus beserta kernet dan seluruh penumpangnya dan para keluarga yang ditinggal di rumah, para bisnismen yang sedang mengejar jadwal kereta, pesawat dan janji negosiasi, supir ambulans, pasien dan perawat yang berpacu dengan maut, semua merasa bahwa penyebab kemacetan ini pantas untuk tidak diberi simpati.
Tetapi toh selalu saja terjadi serta dilakukan model seperti ini.
Berliter-liter bensin dan solar terbuang dalam kemacetan yang berderet panjang dari berbagai arah. Pemborosan besar-besaran sementara konon BBM sedang diusahakan untuk dihemat.
Dan kalaupun akhirnya segenap daya dan upaya ini memberi hasil dengan terpilihnya kontestan sebagai kepala daerah dan wakilnya, apakah dijamin bahwa janji-janji pasti akan dapat ditepati ? Karena bukankah segenap kebijakan yang dijanjikan masih perlu dukungan legislatif serta dijalankan dengan penuh tanggung-jawab oleh para bawahan yang bertugas membantunya ? Dijaminkah bahwa segampang itu menunaikan janji setibanya mereka di tampuk kekuasaan ?
Saya tidak mampu membayangkan lagi seperti apa yang ada dalam pikiran para kontestan yang kampanyenya memacetkan jalanan beberapa hari yang lalu, karena saya hanya dapat merasakan bahwa keadaan sudah sangat tidak membahagiakan bagi banyak orang, bahwa saya sudah sangat meragukan keberhasilan cara-cara seperti ini untuk membangun negeri, kota maupun daerah menjadi tempat yang sejahtera dan makmur.
Bahkan saya ngeri membayangkan kalau eksesnya dapat berupa pertikaian antar-pengikut.

Tetapi saya juga tidak tahu, ke mana pertanyaan-pertanyaan ini harus saya tujukan, seperti juga saya tidak tahu andaikata pertanyaan ini didengar akankah saya mendapatkan jawaban yang masuk akal.

...... Eeeendoooneeeeeesya sejak dulu kaaaaalaaaahhhhh........
Tetapi kali ini bukan lagi dalam sepakbola, melainkan dalam menjaga nilai-nilai sebagai bangsa yang cerdas dan bermartabat.

3 komentar:

  1. Proses....... proses.............proses.
    Nanti akan jenuh dan muak juga.
    Percaya deh selagi dunia berputar nasibpun akan berputar. Suatu saat kita pasti jaayaaaa.......... Boleh kan jadi pechayal ?

    BalasHapus
  2. saya juga bekhayal
    ada putra bangsa yang cerdas
    sedang bekerja untuk mencerdaskan bangsa

    BalasHapus
  3. Duit dari semua kontestan tak tompo kabeh, soal memilih atau abstein rahasia? Hach.... Aku jadi mata duitan ya.... Nderek langkung Mas..

    BalasHapus