Secara diplomatis saya jawab : Menurut penglihatan sampeyan, saya ini kelihatan seperti itu atau ndak ?
... Kok ndak kelihatan ya
... Lha kok nanya ? saya balik tanya sambil ketawa di telepon.
Saya tidak tahu kenapa tiba-tiba masalah ini menjadi pertanyaan teman saya tersebut, teman yang baru saya kenal tatap-muka kurang lebih dua jam, ditambah omong-omong lewat telepon sejam.
Mungkin dalam bayangannya, saya dulunya adalah power rangers. Orang yang punya power, orang yang bekerja dengan power, atau orang yang bekerja memanfaatkan power, atau lagi orang yang sebelumnya hidup tergantung power yang disandangnya. Sehingga ketika pensiun “biasanya” mengidap post-power syndrome.
Mungkin juga mas Santo melihat adanya orang-orang yang masih ngebos ketika pensiun, atau dia punya pengalaman di-bos oleh orang yang seharusnya bukan lagi bos bagi dia, atau melihat ada bekas bos yang sekarang nggak laku. Dan mereka membuat ribet suatu urusan dengan sikapnya itu.
Banyak sekali kemungkinan.
Mungkin juga mas Santo ingin mengkonfirmasi kebenaran hipotesisnya pada diri saya, bahwa seorang yang baru saja pensiun biasanya terkena sindroma itu. Agar untuk selanjutnya beliau dapat tetap berkomunikasi dan berinteraksi dengan saya secara aman, tidak menyinggung atau tersinggung. Suatu sikap yang sangat bijak dan terus-terang. Dan saya hargai sepenuhnya.
Tapi diam-diam saya mikir dan merenung, karena pertanyaan dari mas Santo itu. Benarkah saya TIDAK mengalami post-power syndrome ?
Bagian kanan hati saya mengatakan pasti tidak.
Bagian kiri, bisik-bisik bilang : iya juga sih, cuman ditutup-tutupin.
Bagian tengah tegas: YA
Bagian atas bilang : yang perlu kan aktingnya
Bagian bawah : ngapain diurus
Lha kok jadi rame begini ?
Sepertinya ada hal penting yang harus dikaji dan dicermati. Pensiun bukan berarti masuk ke dalam kapsul kemudian dilempar ke ruang angkasa, mengorbit di atas sana dan putus komunikasi dengan sesama.
Pensiun cuma berarti putusnya hak formal atas segala kewajiban dan tanggung-jawab pada tempat kerja sebelumnya. Yang mengikuti biasanya adalah perubahan sumber dan jumlah penghasilan dari saat ketika bekerja. Selain hal-hal tersebut, semua seharusnya berjalan seperti biasa dan dikelola sebagaimana mestinya. Waktu, energi, pikiran, kesehatan, potensi dan kompetensi, network dan semuanya.
Yang tadinya bersemangat harus tetap bersemangat.
Yang tadinya sehat, harus tetap sehat.
Yang tadinya rajin, harus tetap rajin. Pintar, harus tetap pintar. Kocak, ya tetap kocak. Merdu, jangan sampai hilang.
Kalau bisa, yang baik-baik ditingkatkan, yang nggak baik dikurangi atau dihilangkan, yang sempat tertinggal dikejar, yang tadinya terlupakan diingat-ingat kembali dan sebagainya-dan sebagainya.
Dulunya suka tetapi nggak sempat bersepeda sehat, nah ini kesempatan, senang masak tapi terlalu capek sepulang kerja, sekarang waktunya berdapur-ria, dan seabreg keasyikan baru lainnya.
Whaduh, ternyata pertanyaan mas Santo cukup asyik untuk diseminarkan. Atau malah dijual !!
Saya malah punya dugaan, jangan-jangan ‘post-power syndrome’ adalah sejenis hantu atau monster yang populer di kalangan para calon pensiunan, sehingga malah menakutkan diri-sendiri karena percaya hal itu akan ada karena : Banyak orang cerita bahwa ..... dst-dst
Ketika masih bujang dulu, mas guru Slamet, teman kakak saya pernah punya guyonan:
Barang-siapa berbicara tentang ular, berarti dia sudah menginjak ekornya !
Jadi kalau post-power syndrome ini ibarat ular :
yang takut itu sampeyan
atau saya
sih ?
Terima kasih mas Santo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar