15 April 2008

De Maas

Aslinya adalah nama sebuah sungai di Negeri Belanda sana, tetapi kemudian diboyong oleh meneer Belanda sebagai nama pabrik gula di Besuki, Jawa Timur. Pabrik gula ini sekarang sudah tidak beroperasi lagi, meskipun instalasi dan emplasemennya masih ada. Aktivitas di sana sekarang tinggal administrasi bahan baku berupa tebu yang kemudian pada musim giling akan dibawa ke pabrik gula Pandjie (ditulis namanya sebagaimana ejaan aslinya) yang berada di pinggiran timur kota Situbondo.

Pabrik gula (PG) De Maas adalah awal ‘persentuhanku’ dengan industri gula pada tahun 1975. ketika aku ditugaskan untuk stok-opname barang-barang di gudang tersebut kurang lebih satu bulan, tidur di mess bersama seorang senior.

Banyak hal baru mengawali perkenalanku di agro industri peninggalan Belanda ini, beberapa di antaranya:

Mess yang ‘angker’

Di antara anggota tim yang disebar ke enam PG secara serentak, aku paling yunior, seniorku yang paling muda berselisih 10 tahun di atasku sedangkan senior yang bertugas di PG De Maas bersamaku usianya sekitar 18 tahun di atasku, seusia pamanku.
Sebelum berangkat, beberapa teman senior ‘menakutiku’ bahwa mess PG De Maas adalah salah satu mess yang paling seru di antara keenam mess PG yang lain, terutama pada kamar-kamarnya di lantai atas. Wah, siap-siap mental nih. Aku bukan seorang penakut terhadap hal begituan, meskipun juga bukan pemberani pula. Yang jelas, kami harus tinggal di gedung tua yang umurnya lebih dari seratus tahun bekas tempat tinggal administrateur (boss) Pabrik Gula De Maas. Tetapi berhari-hari di sana kami berdua baik-baik saja. Memang ada yang aneh dan membuatku kikuk, tetapi ini adalah tentang pelayanan kepada kami.

Sebagai petugas dari Kantor Direksi (Kantor Pusat Perusahaan) kami mendapatkan pelayanan khusus. Nah, ini yang membuatku sangat kagok. Bayangkan, setiap saat makan, di meja makan sudah disiapkan satu seri piring beserta sendok, garpu dan pisau, dengan serbet makan yang terlipat kaku berdiri di atas piring makan, seorang pelayan mess akan membuka serbet itu, mempersilakan kami makan sambil mencedokkan sup ke piring paling atas, lantas dia akan mundur ke sudut, berdiri takzim di sana, bersiap kembali untuk mengambil piring sup, lalu melanjutkannya ke menu berikut sampai seri terakhir. Seniorku amat menikmatinya, sementara bagiku rasanya tak tertelan dengan sempurna semua makanan yang melewati tenggorokanku. Memandang pak pelayan yang usianya lebih tua dariku pun tak tega. Beginikah adatnya?

Pagi hari, sepasang sepatu kami telah tergosok mengkilap berjajar di ujung tempat tidur. Kapan pula mereka menggosoknya? Penderitaanku bertambah lagi ketika datang sore dari tempat kerja, pak pelayan sudah siap maju ke depan untuk melepas sepatuku ! Sehebat inikah diriku? Dan akan semenderita beginikah aku berhari-hari di sini? Ternyata keangkeran mess PG terletak pada diri kami, petugas dari ‘Direksi’ yang membuat mereka harus melipat derajatnya sebagai manusia di bawah bayang-bayang prosedur operasi standar sebagai pelayan mess.

Pada hari ke tujuh, aku memberanikan diri mengusulkan kepada seniorku untuk dimintakan dispensasi agar kami bisa kembali kepada jati-diri sebagai manusia normal yang boleh makan dengan sambal uleg dan menyuap pakai tangan telanjang. Bersyukur akhirnya usul dapat diterima oleh manajemen PG dengan catatan: Pak Pelayan masih menunggu di balik pintu ruang makan untuk bersiap menerima perintah darurat jika diperlukan. Takut kalau aku tersedak barangkali.

Setap dan Non-setap

Maksudnya karyawan yang berstatus Staff dan yang bukan Staff. Kedua kasta ini sangat berbeda derajatnya. Dalam jam kerja, si non-setap harus melaksanakan setiap tugas tanpa boleh bertanya, cukup: laksanakan dan lapor kalau sudah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Sedangkan di luar tugas, amat terlarang di antara kedua golongan ini berinteraksi, atau tepatnya: seorang setap dilarang berinteraksi dengan non-setap.

Semula aku tidak tahu adanya norma-norma tak-tertulis seperti ini, sampai suatu kali pada saat break siang, beberapa pekerja aku ajak bicara. Biasa, pengen mengenal sedikit-sedikit lah, berapa lama sudah bekerja, di mana tinggal, ijazahnya apa dan lain-lain. Lalu, sore hari ketika usai kerja kami mampir ke kantor, seniorku bicara: dik, saya tadi ditegur pak ADM (maksudnya Administratur, big-bosnya PG) pesannya, adik ndak boleh lagi omong-omong dengan para kuli. Aku terkejut, beliau sampaikan norma tak-tertulis yang baru aku ketahui. Wah, penderitaan baru, nih!

Ketika sore aku ingin membeli rokok, beliau melarangku lagi : suruh pelayan saja dik ! Saya pengen jalan-jalan ke luar pak! Wah, jangan, suruhan saja, repot kita nanti kalau pak ADM tahu sampeyan ke warung beli rokok !

Susah, ya.
Pengkastaan ini juga menghilangkan sebagian keleluasaan komunikasi antara staf PG dan kami. Staf PG yang lain dilarang mengganggu saat istirahat malam kami di mess, kecuali Kepala Kantor Tata Usaha dan Keuangan (TUK) atau asistennya. Kalaupun mereka ini datang pada malam hari setelah makan malam, mereka datang dengan bersepatu dan pakaian resmi. Kamipun wajib mengenakan atribut serupa. Wahai ! Habislah kebiasaan burukku bersarung dan kaos oblong bertelanjang kaki seperti di rumah !

Biliar dan Tenis

Hiburan cuma ada dua: main biliar di Balai Pertemuan (biasa disebut Sos, mungkin kepanjangan dari Sociteit – tempat ajang sosialisasi jaman Belanda) atau main tenis sesama Staf pada sore hari. Yang lain tak ada. Sedang dua-duanya aku tak suka. Lebih celaka lagi: di mess tak ada pesawat televisi ! Jadi kami tak bisa nonton berita, acara Kamera Ria, atau Candra Kirananya mbak Diah Iskandar ! Untung aku bawa sebuah radio transistor saku. Yang tangkapan sinyalnya hilang-timbul dan cuma bisa menangkap siaran dari Jakarta (sayup-sayup) Surabaya atau Jember, itupun setelah mencari-cari gelombangnya dengan ‘teliti’

Karena rutinitas yang membuatku jenuh, suatu kali aku memprovokasi seniorku: Pak, di sini ada bioskop nggak? /
Ada, dik, dekat alun-alun./
Dekat?/
Yaaa, nggak terlalu jauh/
Bisa jalan kaki ? /
O, ya bisa !/
Bapak mau, kita nonton?/
Kalau ketahuan?/
Kita menyamar, pak !/

Lalu, akibat dari provokasiku itu, kami berdua diam-diam meloloskan diri dari mess, bersarung memakai peci berangkat ke gedung bioskop satu-satunya di Kawedanan Besuki. Filem Indonesia. Gedungnya penuh asap rokok dan bau pesing, bangku kayu, penontonnya berbahasa asing (madura logat Situbondo), banyak suit-suit dan teriak-teriak, filemnya banyak gerimisnya dan suka terputus, sound-sistemnya pakai corong TOA yang suaranya cempreng bikin sakit telinga. Dan kami kabur sebelum filem selesai karena amat tersiksa !

Sebulan tugas dan ‘petualanganku’ di pabrik gula ini ditutup dengan wisata bersama seluruh anggota tim yang tersebar di mana-mana, ke hutan Baluran. Nonton banteng, rusa dan burung merak di habitatnya. Beramai-ramai dengan konvoi empat jeep Willys. Kendaraan dinas resmi pabrik gula ketika itu.
Dan tiga minggu sekembaliku dari sana, aku masuk ke Rumah Sakit karena hepatitis A yang diikuti dengan malariaku yang kambuh. Opname tiga minggu ditambah cuti sakit tiga minggu, padahal aku baru bekerja di Perusahaan ini satu setengah bulan.

Pabrik Gula De Maas sekarang sepi. Tak ada lagi gemuruh mesinnya atau suara suling lokomotif penarik lori tebunya. De Maas menjadi sebuah pabrik yang tidur, atau lebih tepatnya koma. Tinggal keputusan ‘dokternya’ saja: diusahakan hidup kembali, dicabut selang infusnya atau disuntik mati saja agar sempurna nasibnya. Di sana aku punya nostalgia di dunia industri gula untuk yang pertama kalinya.

12 komentar:

  1. de maas? mungkin lebih cocok ''den mas'' saja. kalo siang manggilnya ''den'' malem2 jadi ''mas''.
    wah luar biasa walao feodal saya berani bertaruh pekerjaan disana pasti rapi dan teratur masing2 saling menjalankan peran dan posisinya. sayang kenapa pabrik itu harus mati. jangan2 kekeliruan ada di petinggi2 penentu kebijakan di pusat. atau mereka sudah terkena virus democrazy sehingga amburadul managemennya.

    BalasHapus
  2. keadaan sudah jauh berubah
    generasi berganti
    norma dan pola hidup bergeser
    kemampuan dan kemauan semakin senjang
    dan setiap putusan akan diuji oleh sejarah
    oleh generasi berikut

    BalasHapus
  3. sampeyan kok komentar gitu, nim? salah tulis atau sampeyan ini dulur saya sendiri, kok komennya spt yg mau saya jawab untuk mas indro?

    BalasHapus
  4. Gak bisa mbayangin kalo perlakuan feodal tahun '75 itu masih terpelihara sampe sekarang. Wah, ngalahin kraton, deh.

    Kayaknya nuansa sejarah dan kekunoan di De Maas bisa lebih terasa kalau ada gambar atau foto2nya. Kasih gambar dong, bapak...

    Salam

    BalasHapus
  5. maunya sih gitu mas ronny,
    malah videonya sekalian,
    tapi siapa yang bisa download dr memori saya ya?
    saya simpan di sana sih!

    BalasHapus
  6. Salam pak paromo

    Membaca blog bapak tentang PG De Maas seakan membuka kembali lembaran-lembaran lama kehidupan saya. Perkenalkan nama saya Eko Herman Susilo, sekarang tinggal di Bandar Lampung dan Tugas di Kota Jambi. Sejak lahir di tahun 1977 hingga tahun 1995 saya tinggal di sekitar PG De Maas, bahkan almarhum ayah saya adalah pensiunan karyawan "non setap". Walaupun hidup sederhana masa kecil saya sangat indah di pabrik gula ini. Mencuri tebu, mengambil bunga tebu, naik "loko" dan "lori" adalah kenakalan saya lain. Mengenai perlakuan feodal memang saat itu nyata terjadi, sampai kalau acara-acara di pabrik anak-anak karyawan setap dan non setap juga dibedakan. Tapi hal inilah yang memacu saya untuk berpendidikan tinggi untuk meretas mitos anak karyawan setap gak bisa kuliah dan berhasil. Walau saya sekarang jauh di tanah Sumatera memori indah itu seakan bapak bangkitkan lagi dengan ulasannya

    BalasHapus
  7. tepangaken, masa kecil saya dulu di de Maas.
    de Maas, menyimpan banyak memori, saya mengalami pendidikan TK sampai SD (kelas V) di de Maas, banyak memori - tentang hantu, tentang drakula, tentang bagaimana pergaulan dengan teman-teman masa kecil medio 70-80an ..

    hahahaha ...

    BRAVO pak Suko!!!!!
    njenengan saya link-kan ke blog ayahanda saya ya .... di http://trilaksito-saloedji.blogspot.com/

    Salam

    BalasHapus
  8. Pasti menyenangkan banget mengalami masa kecil di PG De Maas. Yang jelas saya merindukan lok uap menarik tebu dari ladang.

    BalasHapus
  9. Sedih kalau mengenang tempat masa kecil kita hanya karena kebijakan atau apapun istilahnya, dihancurkan..karena saya juga kecil di PG. di jawa barat, narik tebu dari lory (ngarorod istilah lokalnya), membuat pisau dari paku dengan menaruhnya di rel saat loko/lory lewat,..semuanya hanya bisa tergambarkan dalam angan....huft (andy wg)

    BalasHapus
  10. pak. tambahain cerita yang lain donk. menarik buat di simak pengalaman bapak.

    BalasHapus
  11. Betapa Mulia orang bisa menghidupkan kembali PG. DEMAAS yang sudah tutup. karena akan banyak orang yang hidupnya bergantung disana.

    BalasHapus
  12. sedikit banyak saya juga ada pengalaman di PG Demaas ini, kebetulan kakak saya dapat istri (yg sudah Almarhumah) yg anak eks pegawai Demaas. kalau melihat hobby tennis nya org tua kakak ipar saya, sepertinya dari pensiunan staff, pak Sumadi namanya. Saat resepsi pernikahan kami diizinkan memakai salah satu gedung yg ada di Demaas.. ketika itu saya baru 18 thn, berasal dari kota Balikpapan Kaltim dan baru kali itu melihat bangunan bergaya belanda. awalnya sangat menakutkan karena keluarga kami ditempatkan di salah satu rumah atau mungkin mess kary Demaas dulu, struktur jendela, ruangan dan lain2 sangat menyeramkan pd awalnya.. tapi setelah dua hari saya akhirnya sangat menikmati pengalaman ini.. sempat melihat dari depan pabrik yg mati suri ini, sangat disayangkan... semoga ada keajaiban utk bangkit kembali agar ekonomi sekitar jg tergerak

    BalasHapus