24 April 2008

Robohnya Surau Kami


Itu adalah judul dari salah satu buku wajib yang harus (pernah) dibaca atau paling tidak pernah dimengerti oleh para siswa SMP dan SMA dalam pelajaran Sastra Indonesia.
Saya pernah menyaksikannya dalam wujud yang lain.
Ambruknya sebuah BUMN.
Yang dua di antara beberapa episodenya membuat saya sangat-sangat terenyuh.

Episode satu:

Kantor itu terdiri dari dua lantai, lantai bawah digunakan untuk kantor, dan lantai atas sebagai mess atau wisma tamu. Sebuah kantor yang sederhana namun cukup rapih. Kantor Litbang dari BUMN, yang pada akhirnya diputuskan untuk dilikuidasi.

Hari itu adalah saat penyerahan SK pemberhentian dan pembayaran pesangon. Tim saya mendapat tugas untuk melakukan pembayaran di kantor satunya lagi yang berdekatandengan kantor Litbang tersebut, dan itu sudah selesai. Kami kembali ke mess untuk menunggu kendaraan jemputan guna pindah ke kota lain untuk melanjutkan tugas. Dari lantai atas (mess) saya menyaksikan wajah-wajah gelisah para karyawan yang sebentar lagi harus mengakhiri pengabdiannya. Sendu, menahan sejuta beban yang tak terbayangkan.

Beberapa di antaranya sudah berumur, mungkin sudah mendekati usia pensiun, tetapi beberapa lagi adalah karyawan yang masih muda. Kesemuanya duduk rapi berseragam kerja, seragam yang sebentar lagi sudah tak mempunyai arti selain kenangan bahwa itu adalah sebuah seragam yang menggambarkan status sebagai karyawan dengan segudang tumpuan harapan masa depan bagi seluruh keluarga. Ada sepasang karyawan suami isteri duduk bersisian rapat. Suami merangkulkan tangan ke pundak isterinya yang beberapa kali tampak menyeka air-mata dengan sehelai saputangan. Ia mengandung entah anak yang ke berapa. Suaminya menatap kosong ke depan, ke arah seorang teman kami yang sedang membacakan surat keputusan tentang penutupan operasi Perusahaan. Orang-orang diam mendengarkan dan menerawangkan pandang, mungkin sedang berbicara dalam hati dengan perasaan masing-masing.

Ketika satu demi satu dipanggil untuk menerima SK serta uang pesangon, suara isak tangis tertahan mulai terdengar bersahutan, para karyawati, bahkan beberapa karyawan melelehkan air-mata dengan kesedihan yang mendalam. Akhirnya semua benar-benar berakhir. Pergi satu demi satu ke luar kantor. Beberapa sempat berjabatan dan berangkulan erat antara sesama teman. Besok mereka sudah tidak lagi punya kantor, besok mereka sudah tidak lagi punya hari gajian di akhir bulan. Tidak lagi dapat berharap adanya promosi kenaikan pangkat atau jabatan. Kantor ini ditutup, sebagaimana kantor-kantor di tempat yang lain di lingkungan BUMN ini. Meja, kursi, lemari, kipas angin, kalkulator, bahkan jam dinding tak perlu lagi dilihat saat pagi atau siang hari, karena tak ada lagi jam kerja yang harus dijalani dan harus ditepati.

Langkah-langkah gontai meninggalkan kantor disertai helaan nafas panjang dan berat, untuk melepas sebagian beratnya beban pikiran ketika membayangkan isteri-isteri dan suami-suami di rumah. Membayangkan anak-anak yang masih di gendongan neneknya atau di dalam asuhan pembantu. Anak-anak yang hari ini masih bersekolah dan kuliah di luar kota. Membayangkan kata-kata yang akan diucapkan oleh para mertua atau orang-tua, adik, kakak, ipar dan kerabat lainnya, atau tetangga.
Masing-masing mengepit satu kotak persegi: Jam dinding elektronik sebagai kenang-kenangan dari bekas Perusahaan tempat mengabdi.

Besok pagi mereka tidak lagi bisa melakukan ritual berangkat kerja. Siangnya juga tak ada ritual pulang kerja.
Sedih. Hanya itu yang terbayangkan.

Episode dua:

Beberapa saat kami menunggu kendaraan jemputan datang, yang akan mengantar saya dan Pak Rachmad Djuhari melanjutkan tugas yang sama ke kota yang lain. Keberangkatan yang direncanakan pada jam tiga sore agak tertunda sampai lepas jam empat, ketika akhirnya mobil datang menjemput kami. Pak supir yang ramah ini adalah salah satu karyawan yang tidak ikut diberhentikan, sebagaimana sedikit karyawan lainnya yang masih diperlukan untuk mengurus asset Perusahaan yang ada.

Dalam perjalanan dia menyampaikan permintaan maaf atas keterlambatannya, karena dia terpaksa pulang sebentar menemui keluarga untuk berpamitan sehubungan dengan tugasnya mengantar kami berdua.
Kami sangat memahami keperluannya tersebut.

Di perjalanan dia bercerita, bahwa dia sudah dua puluh tahun lebih mengabdi di perusahaan ini. Sudut-sudut wilayah kerja sudah pernah didatanginya. Beberapa orang Bapak pernah dikenal dan dilayaninya, baik Bapak yang menjadi atasan-atasannya maupun ‘Bapak’ dari Kantor Pusat Perusahaan. Beberapa ‘Bapak’ dipujinya, dan beberapa yang lain diceritakan perilakunya sangat menyakitkan hatinya.

Pada saat sebagian besar karyawan berkumpul untuk memerima SK pemberhentian dan uang pesangon pagi dan siang tadi, dia ada di garasi menyiapkan mobil yang kami pakai ini, agar kondisinya siap untuk perjalanan jauh. Dia mempunyai anak yang masih usia TK, yang ketika dia pulang untuk berpamitan tadi, menjemputnya di pintu pagar rumah dan bertanya kepadanya:

  • Pak ! Mana jamnya ?

  • Jam apa nak ?

  • Lho bapaknya si Anu, si Anu dan si Anu semua pulang bawa jam. Punya kita mana ? Bapak kok nggak bawa ?

Terhenti langkahnya. Ya Allah, ya Rabbi, polos benar pertanyaanmu nak. Mungkin kalau Bapak pulang membawa jam seperti bapak-bapaknya temanmu, emakmu justru akan sangat bersedih. Dipeluknya anaknya, digendong sambil diciuminya masuk ke dalam rumah. Kulo ambungi anak kulo, pak, mboten saged mbayangaken upami kulo katut kenging PHK. Tak terbayangkan seandainya saya ikut ter-PHK, demikian katanya. Isterinya meneteskan air-mata sembunyi-sembunyi sambil berdiri di ambang pintu rumah.


Siapa yang bersalah?
Sebuah BUMN dibentuk dengan misi tertentu sebagaimana diamanatkan dalam anggaran dasarnya. Tetapi di antara misinya pasti terkandung di dalamnya : untuk meningkatkan kesejahteraan stake-holder secara berkesinambungan. Tugas inilah yang harus dijalankan oleh para pengurusnya yakni para Direktur, yang dibantu para pejabat yang memiliki kompetensi di bidang masing-masing.

Dalam pelaksanaannya, tak jarang beberapa misi khusus harus dijalankan atas perintah pemegang saham, yakni Pemerintah melalui putusan dalam Rapat Umum Pemegang Saham di setiap tahun, atau dapat pula berkelanjutan sampai sasaran tercapai. Tugas yang teramat berat (namun mulia), yang harus dilaksanakan sebaik-baiknya, melalui serangkaian pelaksanaan strategi yang dikemas dalam beberapa kebijakan dan program yang terukur dan selalu dikawal setiap saat dengan ketat. Kajian-kajian terhadap risiko bisnis (BUMN !) perlu dilakukan, dan kebijakan-kebijakan harus bersih dari sekedar ambisi pribadi untuk ‘menonjolkan diri’. Apalagi menggunakan kesempatan sebagai tunggangan untuk sebuah kedudukan yang lebih besar berikutnya.

Kelalaian kendali terhadap sistem yang seharusnya dijalankan dengan baik dan cermat akan dapat mengambrukkan Perusahaan, yang terdiri dari kumpulan manusia, benda dan uang dalam jumlah yang sangat besar. Apalagi kalau sistem sudah dibengkak-bengkokkan secara sengaja.


Residu dari peristiwa yang terjadi pada seputar tahun sembilan puluhan tersebut sampai sekarang masih terasa. Puing-puingnya masih berdiri bisu di beberapa tempat. Kedukaan pada beberapa keluarga dan dampaknya saya yakin masih bersisa. Siapa yang bersalah ? Mungkin banyak orang yang sebelumnya ada di dalamnya. Orang-orang yang seharusnya berbuat tetapi tidak melakukannya dengan baik, orang yang berbuat melebihi kapasitasnya, orang-orang yang membiarkan sesuatu dilakukan tidak semestinya, orang-orang di luar sistem yang campur-tangannya tidak dapat dibendung, atau yang lain lagi.

Tetapi siapa yang paling bertanggung jawab?
Barangkali sekarang kita perlu belajar dari sejarah serupa, mempelajarinya agar hal yang sama tidak terjadi.

Bekerja dengan hati secara lebih berhati-hati di tempat kita masing-masing, karena hati(nurani) kita adalah instrumen yang jujur dan tak pernah lupa.

(mengenang perjalanan bersama pak Rachmad Djuhari, teman baik)

6 komentar:

  1. Kisah anak manusia... sesaat sedih sesaat gembira. dibalik kesedihan tentu ada hikmahnya.. demikian sebaliknya.. asal semuanya dijalani dengan tawakal.
    Dibalik kesulitan ada kemudahan... Insyaallah jika tuhan menghendaki.

    BalasHapus
  2. andaikata pada momen itu pak direkturnya ada, kira2 responnya seperti apa ya, ketika menyaksikan drama di antara para bekas karyawannya?

    BalasHapus
  3. Kadang2 keputusan memang tidak manusiawi. Yang lebih tak manusiawi kalau para penguasa publik atau BUMN menggunakan kewenangannya menyelewengkan sesuatu yang sebenarnya untuk rakyat banyak. Aparat DOLOG mengeskpor beras tersubsidi untuk rakyat miskin ke Malaysia ? Negara secara administratif tetap menerima pembayaran, tetapi rakyat miskin tak memperoleh beras yang sebenarnya untuk mereka.
    Salam
    BS

    BalasHapus
  4. Pembangunan yang perlu dilakukan , menurut BK ada dua :
    karakter manusianya dan bangsanya.
    Menurut WR Seopratman (lagu Indonesia Raya):
    jiwanya dan badannya.
    Kedua beliau berkata tentang moral dan fisik.
    Dan sekarang baik moral maupun fisik sedang terabrasi oleh gairah akan kekuasaan.

    BalasHapus
  5. sori pak, P3 GI yah yang tadi itu....

    BalasHapus