03 April 2008

Horeeee, Bapakku selalu di depan

Jantung ini serasa mendadak mengerut tiba-tiba, ketika sebuah sepeda motor dengan cepat menyilang jalan di depan kendaraan saya yang sedang melaju. Sangat mendadak, sangat di luar dugaan. Klakson saya pencet secara reflek, dan saya pencet beberapa detik kemudian sebagai kompensasi atas kekagetan saya. Pak Polisi yang sedang berjaga di rambu pemisah lajur di depan saya matanya melotot memperhatikan saya, yang saya sambut dengan beberapa kali geleng-geleng kepala. Maksud saya, saya sangat tidak suka atas kejadian tadi, yang beliau juga melihatnya sendiri. Pak Polisi itu mungkin heran melihat ekspresi saya, tetapi sekejap kemudian dia kembali kepada tugas rutinnya dan membiarkan saya lewat di sampingnya.
Pagi itu lalu-lintas di seputar Tugu Pahlawan sangat padat. Mobil, motor, bus, semua seakan tumpah menderu pada saat bersamaan, tepat ketika lampu lalulintas berubah hijau. Jalan lapang di hadapan seolah-olah menantang sekaligus memberi peluang bagi siapapun untuk bersicepat menuju tujuan masing-masing. Motor bersilangan meraung beradu depan, persis seperti suasana balapan di sirkuit Jerez, atau seperti di iklan-iklan motor dalam televisi yang menanamkan sugesti : gesit, paling depan, tak tertandingi, lincah dan seabreg sugesti yang menggambarkan kecepatan.
Motor yang menyilang jalan saya tadi, dikemudikan seorang bapak berseragam kerja kantor, membonceng puteranya yang menurut pengamatan saya sekitar kelas tiga sampai lima Sekolah Dasar. Si bapak mengenakan helm, anaknya tanpa helm.
Tadinya, rasa terkejut bercampur marah masih menyesakkan dada saya, tetapi ketika kemudian di depan sana saya lihat beliau menurunkan puteranya di depan gerbang sekolah, dan puteranya menyalami tangan bapaknya seraya mencium tangan itu, buyarlah kemarahan saya berganti dengan rasa takut dan kasihan.
Andaikata,
Motor tadi menyerempet kendaraan saya atau kendaraan lain, lalu mereka terjatuh di jalanan ramai .....
Saya atau seseorang lain dibelakangnya tidak cukup cepat mengerem lalu melindasnya ....
Mereka jatuh, berdarah,
Tangan, kaki,
Kepala ....
Tidak sadar ....
Tewas ....
Rasanya saya kemudian menjadi sangat bersyukur masih dapat melihat adegan cium tangan anak-bapak di depan gerbang sekolah. Sebuah sekolah yang telah dipilihkan bapak untuk anaknya, dengan harapan agar anaknya mendapat pendidikan terbaik, mempunyai jiwa religius, pintar, berbakti kepada orang-tua, taat kepada hukum dan aturan, dan sebagainya-dan sebagainya.
Rasanya saya melihat bapak anak itu bertatapan dengan bangga, ketika si anak kemudian dapat menyelesaikan sekolahnya dengan angka-angka yang bagus, dan si bapak bersyukur, tidak sia-sia dia telah memilihkan sekolah yang baik untuk anaknya, membiayai, dan mengantarnya setiap pagi beberapa tahun sejak kelas satu. Berusaha tepat waktu, sebelum gerbang sekolah ditutup.
Kalaupun dia bersicepat di jalanan, tujuannya hanya satu, agar si anak tidak terlambat sekolah. Itulah pula pertimbangannya membeli menggunakan motor, karena dapat lebih gesit mencari jalan luang di tengah sesaknya lalu-lintas pagi hari. Dan sore hari, anaknya menunggunya dijemput sepulang bapaknya dari kantor, sementara sekolah selesai beberapa jam sebelumnya. Yang terpikir hanyalah: segera sampai di rumah, agar si anak dapat segera makan dan beristirahat. Diapun melakukan adegan ulang kembali, bersicepat, kali ini di jalanan pulang.
Saya tidak dapat membayangkan, akankah saya secara otomatis akan bertindak seperti bapak itu ketika berada pada kondisi dan situasi serupa?
Ngeri.
Andaikata saya adalah Bapak itu, dan dia adalah saya, dan kecelakaan itu terjadi,
sungguh, saya tak mampu membayangkannya.
Sudahkah kehidupan kota tidak memberi kesempatan bagi kita untuk ‘menjadi manusia yang baik’ secara utuh, dalam arti, bukan hanya baik terhadap keluarga, anak, tetapi juga peduli terhadap orang lain meskipun orang itu tidak dikenalnya ?
Apakah baik kepada anak, dengan peduli kepada jam sekolah anaknya, dan juga dengan taat kepada aturan sekolah anaknya berarti yang lain kemudian menjadi nomor dua dan bahkan tidak perlu bernomor ?
Pada pikiran saya, oke lah, keterkejutan dan kemarahan saya sekarang sudah hilang, tak ada lagi, tetapi bukankah bapak itu tadi secara tidak sadar telah ‘merusak’ pemahaman anaknya dengan melakukan tindakan yang kontroversial, karena di saat berusaha tertib agar sampai di sekolah, secara bersamaan dia membahayakan diri-sendiri, diri anaknya dan orang lain dengan perilakunya yang tidak tertib dalam berlalu-lintas ?
Bukankah kemungkinan akan timbul persepsi pada anaknya, bahwa aturan lalu lintas tidak terlalu penting karena yang lebih penting adalah sampai di sekolah sebelum gerbangnya ditutup ? Yang akan disimpulkan bahwa, kepentingan ‘saya’ yang paling utama, kepentingan dan kenyamanan ‘anda’ bukan urusan saya.
Inikah generasi masa depan yang sedang dicetak di sekitar saya ?
Saya jadi cemas, jangan-jangan besar pula andil saya dalam mengacaukan dan menjungkirbalikkan tatanan yang semestinya. Cuma saya tidak merasa bahwa saya telah, sedang dan bahkan masih terus melakukannya ....
Saya membayangkan, si anak, ketika bapaknya mengebut berliku-liku di jalanan, dia suka dan bangga: Horeee, bapakku jagoaaaaan ...!!! Ayooo ....
Sementara si bapak sebenarnya dalam hati sedang menggerutu: ini gara-gara kamu terlambat bangun ...
Sesuatu yang sangat berbahaya, bukan sekedar apabila terjadi kecelakaan, tetapi karena racun persepsi bengkok, yang menyusup ke bawah sadar anak-anak, hasil dari tindakan rutin sehari-hari yang kita lakukan, tetapi tidak pernah kita renungkan bagaimana yang seharusnya, karena kita tidak pernah merasa punya waktu untuk merenung diri, karena waktu untuk merenung telah tersita oleh kegiatan sehari-hari, sedang sisanya untuk melepas penat, agar besok badan segar untuk bekerja lagi.
Tampaknya kita sedang menggali sebuah lubang yang sangat besar untuk mengubur peradaban kita, sekaligus diri kita sendiri ke dalamnya.
Indikasinya, tindakan-tindakan brutal yang sedang terjadi di mana-mana di antara elemen-elemen masyarakat, antara sesama warga dan saudara dengan baku-pukul dan baku-serang. Belum lagi yang telah dilakukan secara ‘elegan’ dan ‘lebih beradab’ melalui baku-bantah lewat lidah-lidah berapi yang terkadang secara tendensius memang tampak ditujukan untuk membakar emosi siapapun yang mendengar dan menyaksikannya, dan bukannya untuk membuat kita benar-benar menjadi lebih beradab.
Benarkah kita sudah belajar secara benar dari ajaran-ajaran baik kita masing-masing ?

6 komentar:

  1. jaman lagi kacau, barang salah jadi benar, benarjadi salah.
    bingung dong.
    kenapa kita jadi permisif ya?

    BalasHapus
  2. Kita sedang hidup di negeri yang miskin sikap beradab. Respek yang tulus adalah sebuah kemewahan luar biasa untuk dapat dinikmati, selebihnya: palsu, karena harus serba dibeli dengan uang.
    motor, sekolah, kenyamanan, bahkan senyumpun ada taripnya.

    BalasHapus
  3. wah.. nyindir niiiihhhh. ☺

    BalasHapus
  4. lho
    sampean to sing motong kendaraan saya?
    ngapunten yaaa

    BalasHapus
  5. Lho sanes pak Kyai PSK (paromosuko), nyindir niku lo konco ndiko sik senyam senyum entuk duwik. nopo malih nek ditambahi dehem wah jan taripe terus lipet2. Tapi nggih pancen leres senyum niku sakniki mahal. ☺

    BalasHapus
  6. kata yang senyam-senyum:
    ojo ngguyu! gigimu ada lomboknya!

    BalasHapus