14 April 2008

Petruk Grounded

Petruk ini memang punokawan yang ndak punya wedi. ndak punya rasa takut, tetapi dia juga seorang abdi yang taat dan setia pol kepada profesinya sebagai batur bagi para juragannya dari jaman ke jaman.
Kedudukannya memang cuma abdi alias batur alias kethiplak, alias begundal. Tetapi kalau diurut-urut, derajat aslinya jauh di atas semua juragan bahkan di atas rajanya sekalipun lho! Karena ayahnya adalah Semar, dewa paling senior. Semar adalah kakak dari raja para dewa di kahyangan yang bernama Bethoro Guru, sehingga meskipun Petruk tidak menggunakan predikat Bethoro tetapi cukup hanya Ki Lurah, namun aslinya dia adalah sepupu senior dari seluruh dewa generasi ke dua di Kahyangan Salendrobawono atau Kahyangan Suroloyo. Begitu.

Bermula dari keluhannya tentang sulitnya mendapatkan gas elpiji dan minyak tanah kepada juragannya yang tidak mendapat respon, lalu dilanjutkan dengan berkirim surat ke Kahyangan Suroloyo (agak jauh sedikit dari Suroboyo), juga disepelekan, Petruk Kanthongbolong merasa tidak diperhatikan hak dan kedaulatannya secara tidak semena-mena. Seorang diri dia menyatroni Istana para dewa, meminta penjelasan atas keluhannya, dan ketika penjelasan yang diterima dirasa tidak masuk akal, berdebatlah dia dengan seluruh dewa dan akhirnya berubah menjadi adu fisik. Singkat kata, Petruk menang, Bethoro Guru disandera di suatu tempat tersembunyi, dan Petruk menyamar menjadi Bethoro Guru (palsu), menjadi penguasa kahyangan. Lupa kepada tuntutan semula karena di kayangan ndak pernah ada krisis elpiji maupun minyak tanah, setiap hari para dewa disuruh menyelenggarakan pesta-pora, para dewa harus menyanyi dangdut dan para bidadari goyang ngebor. Di hari lain semua diajak wisata kuliner, ngicipi semua jenis makanan yang selalu maknyus, maknyesss, maupun maknyos. Terkadang pergi berwisata kliling-kliling naik segala macem tunggangan, mulai dari sepur kelinci, Adam Air sampai Jaguar dan Lamborghini. Suka juga ngundang artis manca kayangan, mulai dari Bon Jovi, Julio Iglesias sampai Siti Nurhaliza. Pokoke komplit-plit-plit-plit. Uenak tenaaan. Swargo kayangan. Ncen edddiiiaaaaan tenan kok Petruk ini.

Keadaan ini terdeteksi oleh kalangan intelijen, gara-garanya program inspeksi keliling dunia wayang yang biasanya dilakukan oleh para dewa pada akhir-akhir ini tidak berjalan sesuai jadwal. Para dewa sendiri sebetulnya merasa risih, tidak menjalankan misi tersebut, dan juga akhir-akhir ini merasa turun derajat kedewataannya karena instruksi Bethoro Guru yang serba nyeleneh nganeh-anehi. Goblognya para dewa, mereka tidak berusaha mengungkap keanehan ini dan tidak mengembangkan kecurigaan untuk membongkar misteri di baliknya. Dasar dewa, pikirannya terlalu lugu, ndak pernah mau mikir berat karena biasanya tahu beres. Mikirnya, sudah ada yang ngurus barang begituan.

Dari laporan intel dan serse yang masuk, ditemukan pola aneh yang berulang. Bethoro Guru pada saat akhir-akhir ini sering pesen ayam panggang bumbu rujak dari resto Paramasari. Semar di pusat komando operasi rahasia bersama Gareng dan Bagong yang mengkaji keanehan ini curiga, karena penggemar berat ayam panggang bumbu rujak Paramasari, di seluruh dunia wayang cuma satu, yaitu Petruk. Yang ke dua, Petruk sudah beberapa minggu absen, ndak kerja tanpa keterangan yang jelas. Hpnya mati seg, YMnya tidak diaktifkan blas.

Singkatnya ndalang (dalangnya molai pegel), Ki Lurah Semar Bodronoyo berangkat ke Suroloyo. Bethoro Guru yang hidungnya keliwat mancung dikabyuk, diithik-ithik, dikudang-kudang, terus dikentuti, dan akhirnya babar terbongkar bahwa itu memang Petruk, bukannya Bethoro Guru yang hidungnya dioprasi plastik. Petruk diblejeti kedoknya, penyamarannya dibongkar, para dewa dan widodari kaget-get-get kepati, selama ini ternyata dikadali oleh Petruk sang Gedibal elek.

Tak sampai seumur kecambah jadi raja kayangan, Petruk dijewer telinganya oleh Kyai Semar, ayahnya sendiri, dicengkiwing, dibawa turun kembali ke dunia wayang: Ngarcopodo. Karena lakonnya memang harus begitu seperti yang telah dipakemkan.

Alkisah skandal Petruk yang telah mengguncang dunia atas dan dunia bawah tadi di bawa ke sidang para petinggi di kasatriyan Madukoro, tempat Petruk mengethiplakkan diri.

Segala pertanyaan dalam sidang dijawab oleh Petruk dengan gamblang, suara dan sikap yang jelas. Kesalahan-kesalahan diakui, karena memang sesuai dengan keadaan sebenarnya dan cocok dengan hasil kesaksian. Di akhir sidang yang berjalan dengan lancar akhirnya putusan jatuh. SK dari Kasatriyan Madukoro diterbitkan : Untuk sementara waktu Ki Lurah Petruk Kanthongbolong gelar Belgeduwelbeh Thongthongsot dirumahkan. Dibebastugaskan sampai waktu yang tidak ditentukan. Petruk menerima sanksi tadi dengan baik, apalagi sekarang pasokan minyak tanah, gas elpiji, minyak goreng dan barang-barang lain di seluruh pelosok kampung dan kotaraja sudah menunjukkan tanda-tanda akan mulai lancar. Warung-warung dan aktivitas para kawulo alit secara berangsur sudah normal kembali, disamping dia juga sudah mblenger berpesta dan puas bisa ngadali para dewa yang goblog-goblog itu. Petruk legowo menerima hukuman.

Hari-hari grounded dijalani oleh Petruk di rumahnya, dukuh Pethuk Pecukilan dengan santai dan menyenangkan sekali.

Menanam sayur, kacang kedele, padi, beternak ayam-bebek-kambing kerbau dan sapi, memelihara perkutut-bekisar-puter dan burung oceh-ocehan lain. Memelihara tanaman kembang melati-mawar-seruni-kanthil-kenongo yang semuanya berbau wangi, juga beternak ikan wader-gurami-welut dan ikan lainnya.

Badannya yang tinggi besar semakin gemuk, meskipun kulitnya menjadi agak gelap karena hampir setiap hari berpanasan di sawah-ladang dan kolam ikannya.

Malam hari para tetangga berkumpul di halaman rumah kyai Petruk: hari Senin klenengan, Selasa belajar pencak, Rebo liwetan, Kemis mocopatan, Jumat boworoso, Sabtu berlatih menari, Minggu acara bebas yang sering diisi dengan pengalaman perjalanan kyai Petruk yang didongengkan secara menarik. Terkadang juga belajar tentang sejarah dan politik, hukum, pajak, sesekali juga yang lain, seperti ESQ dan komputer serta belajar ngeblog. Para tetangga dan penduduk desa senang bisa berdekatan dengan lurahnya, tidak seperti dulu, selalu ditinggal pergi dines tiba-tiba tapi ditinggali tugas yang sulit dan mboseni. Ndak pernah dimonitor lagi. Sekarang beda.

Ki Lurah Petruk senang, para tetangga dan penduduk girang. Sungguh sebuah komunitas dinamis dan harmonis.

Keadaan di dukuh Pethuk Pecukilan ini menarik perhatian para pengamat dan ahli dari kotaraja, mereka heran, seorang pejabat (padahal Petruk adalah abdi, kok katanya pejabat) yang dirumahkan kok malah menjadi lebih produktif ketimbang ketika menjabat. Fenomena apa ini ? Apa yang terjadi di sana?

Kemudian, berangkatlah serombongan tim yang terdiri dari para pakar, pengamat, peneliti dan lain-lain, pokoknya orang-orang pinter lah, ke Pethuk Pecukilan untuk melihat dari dekat apa yang sebenarnya sedang terjadi di tempat ini. Dan yang terpenting, bagaimana Ki Lurah Petruk menyikapi pembebasan-tugasnya.

Tujuh hari tujuh malam seluruh anggota tim bekerja mengikuti segala aktivitas di tempat ini. Mereka berbagi tugas, memonitor setiap aktivitas Petruk, mengamati komunitas, mengkalkulasi cash-flow, meneliti dampak interaksi langsung Petruk dengan komunitasnya, mengukur perubahan sosial-ekonomis antara sebelum dan sesudah Petruk dirumahkan berbekal seabreg perangkat dan sistem untuk monitoring dan evaluasi.

Tidak ada yang dihambat oleh Ki Lurah Petruk. Semua dipersilahkan, bahkan seandainya mau meneliti aktivitas Kyaine dalam kamarpun dipersilahkan, asal tahan, karena Petruk kalau tidur ngoroknya bikin horeg piring-cangkir di lemari dapur.

Hari ke delapan, seluruh anggota tim menjadwalkan untuk wawancara akhir dengan lakone. Petruk. Sepuluh-limabelas orang duduk berkeliling mengepung Petruk yang jadi point of interest. Para tetangga duduk bersila ditikar menyaksikan kejadian luar-biasa yang baru sekali ini terjadi. Disiapkan alat rekam audio-video beserta lightingnya, lengkap lah pokoknya. Back-drop bertulisan “Perumahan Ki Lurah Petruk” terpampang di belakang tempat duduk Petruk yang jejer dengan ketua tim. Mungkin tepatnya seharusnya Pengrumahan Petruk.

Pertanyaan pertama dibuka oleh ketua tim:

... Bagaimana kyaine menyikapi penonaktifan ini?
... Biasa saja, ndak ada masalah
... Tidak merasa ‘tidak terpakai’ ?
... Babar-blas
... Kenapa ?
... Kalaupun ndak dinon-aktifkan, saya malah akan minta untuk nonaktif kok

... Kok aneh? Ya terserah lah, faktanya ki lurah dinon-aktifkan to ?
... Bukan gitu. Faktanya adalah, sebenarnya saya diselamatkan
... Kok ?
... Lha dengan gitu kan saya jadi orang mandiri seutuhnya, ndak ngrusuhi negoro

... Tapi kan kyaine terus tidak bisa mengabdi pada skala yang lebih tinggi dan mulia ?
... Ya rapopo, kan juga dengan begini saya ndak bisa korupsi lagi ...
... Kok ekstrim ?
... Pas kerja terpaksa jagongan, karena ndoro Janoko rapat. Pas saya mengikuti rapat para batur, saya ngrasani Werkudoro yang ganti potongan rambut. Kadang-kadang saya juga ngambil kertas yang utuh buat ngelap mejo karena mejane kotor ndak dibersihi sama OB. Pernah juga nyuruh OB ngurus sekolahnya anak saya. Daaaan lain-lainnya lagi. Wah pokoke banyak kalo mau diomongkan...
... ???

... Sampeyan kok kamitenggengen ? Mau tanyak apa lagi ?
... Jawaban kyaine ekstrim dan vokal, menyakitkan
... Lho, wong saya ini ngomongke awakku dewe kok sampeyan bilang gitu ?
... Itu nusuk prasa’an, kyai
... Sik,sik, sik kosik. Ngko disik. Nantidulu. Sampeyan kan tanya, saya jawab. Terus-terang. Blak kotang raono sing tak tutupi. Salahnya di mana ? Kalo jawabannya seperti ini ditamggapi emosional, penelitian sampeyan nanti ndak utuh lho, presentasi sampeyan ndak komplit lho, laporan sampeyan ndak valid lho. Ini kan penelitian tentang Petruk to, bukan tentang Bagong, Gathutkoco, Sengkuni atau tentang Kolobendono to ?
... ??? !!! xzxzxz ffffff bbbbppppp ****

... Apa sampeyan pengen : saya sambat minta bantuan untuk disudahi skorsingnya? Njut saya mbrebes-mili minta maaf sama juragan ? Lha tema penelitian sampeyan kan bukan itu, kok. Cobak judulnya ‘Penyesalan Petruk’ lha ya lain lagi. Betul to mas ? Cumak, dalam hal ini bagi saya tiada penyesalan dihati, kok.

Tiga handicam yang diakses lewat note-book sudah menginjak angka dua gigabytes lebih, tiga orang kameramen merekam ekspresi setiap orang dengan cermat, close-up, long-shoot, berganti-ganti, terkadang juga kliwernya kalong untuk aksentuasi. Para tetangga diam tertib manggut-manggut geleng-geleng. Ada yang ndomblong ada yang takut. Untung ndak ada wartawan. Senyap. Tintrim. Semua tergambar lewat rekaman kamera.

... Bagaimana ?
... Anu kyai, kita sudahi dulu saja, dua minggu lagi saya kesini lagi, kita ganti topik
... Lhaaaa, gitu lebih baik, tapiiii ...
... Gimana kyai ?
... Ini jangan tersinggung ya, betul-betul saya ini cobloko. Opo anane, ndak pake rahasiaan-rahasiaan. Gini. Seminggu rombongan sampeyan di sini ndak usah mbayar apa-apa. Semua akomodasi sampeyan di sini tanggungan saya. Uang penelitiannya sampeyan bikin untuk yang akan datang di tempat lain saja. Pokoke kalo ke sini dua minggu lagi sampeyan tetep gratis. Toh kedatangan sampeyan juga memberi kontribusi besaaar buat membuka wawasan bagi sedulur-sedulur di sini, anak-anak di sini. Mereka jadi ngerti, jadi punya cita-cita yang lebih tinggi, yaitu jadi orang pinter seperti sampeyan semua. Bukannya saya semugih, tapi ini adalah sebuah bentuk penghargaan saya yang tulus dari dalam nurani saya yang dalam atas jerih-payah sampeyan semua datang ke sini.

... Wah, ya jangan nggunggung gitu to kyai, kita-kita ini apa to, ya orang-orang biasa seperti yang lain juga tooo ...
... Sampeyan ini gimana, jangan merendah-rendah to, saya ini ngomong beneran, lho, kok seperti ndak kenal Petruk saja
... Nggih, nggih kyai, cuma itu ??
... Samaaaaa... itu; tulung saya dikasih copinya hasil rekaman sampeyan, anak saya mau minta duplikatnya buat bahan tesis atau opo gitu namanya, saya ndak seberapa mudheng

... Lho tapi penelitian ini lak batal to kyai
... Tapi lak sudah diteliti dan sekarang direkam to ?
... Lha baaatal, je....
... Lak tentang Petruk to ?
... Iyyyyyyaa, tapiiiii
... Yo wiiis, nek ndak boleh ya sudah
... *&^%$#@!?><~`;’:”..... saya kasih tapi jangan dipublikasikan ya kyai ???!!!
... Kenapa ? sampeyan takut ?

Petruk ngawur pol, ra urus, dasar udelnya bodong, wis, jan edan tenan kok.
Tahu gitu ndak usah saya tulis.
Tapi ya embuh gimana tadi kawitannya kok jadi ndak karuwan gini ....

(Inspirasi :buku Tuhan Tidak Tidur, Sukardi Rinakit – Penerbit Kompas Maret 2008)

4 komentar:

  1. Wah dalange jan sip markusip tenan...
    Saya nunggu lakon berikutnya.
    Buat bang petruk, ayo suarakan terus suara kawulo cilik..........

    BalasHapus
  2. pesan ndiko sdh sava teruskan ke petruk, katanya:
    ... ya den, saya kan cuma wayang, itupun wayang klas batur, tapi mudah2an pengalaman mbatur saya bisa saya tularkan, cuma, panjenengan jangan katut jadi batur seperti saya, atau kebawa kenthir seperti dhalangnya, den ....
    gitu katanya ...

    BalasHapus
  3. wah..ceritanya OK bangets.. top markotop makan sop. membawa cerita wayang tanpa pada masalah2 sosial masa sekarang sepertinya jauh lebih menghibur ya?

    BalasHapus
  4. dhalangnya makan kembang, mbak
    bukan sop,
    kalo makan sop, lakonnya biasa2 saja

    BalasHapus