10 April 2008

Air Mata

Konon, air-mata tercipta secara amat luar-biasa untuk berbagai kepentingan. Sebagai akomodasi agar pelupuk dan bola mata tidak iritasi karena berkali-kali bergesekan karena harus berkedip, juga sebagai indikator emosi, ketika otak mendapatkan rangsangan yang memilukan hati atau sangat menggelikan. Bayangkan seandainya kita tidak memiliki air mata. Kacaulah sebagian hidup kita karena penderitaan pada indera penglihatan ini.

Pada waktu sekolah, pada pelajaran sastera Indonesia, sering kita membaca ungkapan : sudah habis air mata ini ....

Wah, sebuah ungkapan dramatis untuk menunjukkan bahwa seseorang sudah sampai ke dasar jurang rasa derita, sehingga menangispun sudah tak mampu lagi. Sayangnya, ungkapan cantik ini tidak pernah disertai penjelasan, lantas ke mana perginya si air mata ketika dia tidak lagi dicucurkan atau dilinangkan oleh mata ? Jawabnya ternyata ditemukan di pertunjukan bioskop.

Begini ceritanya:

Di istana diputar sebuah filem yang katanya sangat bagus. Filem genre baru. Sebuah filem yang diangkat dari sebuah novel super laris, yang royalti pengarangnya konon lebih dari dua koma delapan miliar. Begitu haibatnya.
Pada pertunjukan tersebut hadir para petinggi negri, dan singkat kata, filem tersebut mendapat pujian. Sebuah filem yang sangat bagus dan layak ditonton – tentu begitu buntutnya.
Pagi harinya, beberapa koran menulis yang intinya:

Kepala Negara melelehkan air mata menyaksikan filem tersebut.

Demikian menyentuh hati filem tersebut, sehingga sejenak, media dipenuhi berita tentang tumpahnya airmata keharuan karena sebuah filem.
Ya, filem yang mengharukan banyak orang mulai dari Kepala Negara yang mbrebes-mili sampai rakyat kebanyakan, mulai yang nangis beneran sampai yang dari rumah sudah siap-siap mau nangis karena diberitahu teman bahwa filemnya mengharukan sekali.

Di tempat lain di negeri yang sama,
Sudah berhari-hari dan bermalam-malam di sudut-sudut daripada rumah, ibu-ibu mbrebes mili sembunyi-sembunyi memprihatinkan daripada keadaan keluarganya yang mungkin akan menjadi semangkin sengsara hidupnya karena keadaan daripada ekonomi yang mangkin menghimpit. Warung nasinya yang buka pagi-siang-sore-malam di kakilima pojok kantor kecamatan sudah diobrak, mereka terpaksa pindah. Warung sekaligus tempat berteduh anak-beranak digeser ke sepetak kecil tanah yang sedikit menjorok ke dalam kuburan di samping kantor kecamatan.

Besok mereka mungkin tidak bisa berjualan nasi lagi, karena tak ada minyak-tanah. Habis. Kosong. Sudah tiga hari suaminya terpaksa tidak mendapat uang dari menarik becak karena harus berkeliling berburu minyak tanah, itupun tak pernah kebagian. Tidak narik becak, tidak jualan nasi, tidak ada uang, tidak ada minyak tanah. Itu artinya adalah: tidak makan.

Si suami yang sangat bertanggung-jawab pun, diam-diam terlihat meneteskan mata ketika pada malam hari menyaksikan anak-bininya tidur melipat tubuh di hamparan tikar. Entah apa yang dimakan tadi sementara dia berburu minyak. Suami yang seperkasa itu menangis tanpa ada yang tahu. Menetes airmatanya deras di malam yang baru berjalan sepertiga. Dan akan lebih deras lagi nanti di tengah malam, ketika dia bersujud di pojok musala kantor kecamatan.

Begitu siang mulai merambat naik, rupanya airmata sudah habis karena naik ke kepala, dibakar panasnya pikiran, menguap lewat banyak ubun-ubun yang terpanggang matahari di antrian minyak tanah.
Lalu terdengar serapah :

Sudah butakah mata, tulikah telinga melihat keadaan seperti ini ?

Entah kepada siapa kekesalan itu ditujukan, dia sudah tak peduli lagi, serapahnya adalah akumulasi dari airmata yang sudah menguap, dan tak lagi bisa mengalir lewat matanya.

Sementara,
Berjuta-bermilyar rupiah terbaca di koran mengalir kemana-mana, di ruang-ruang sejuk ber-ac, kamar-kamar hotel, tunai maupun dalam bentuk deretan angka seiring dengan derasnya aliran airmata ketika semakin banyak orang menonton filem yang tiketnya berlipat harganya dari sekaleng minyak dan setabung gas elpiji.

Negeri berangkat menuju sore, mendung, redup, sebentar lagi gelap, hujan, dan banjir. Airmata.

5 komentar:

  1. Air mata hanyalah pelepasan himpitan kesedihan. Bukan alat pemecahan, bukan solusi. Jika bisa menjadi solusi, semua warga akan dengan sedang hati menangis demi perbaikan. Air mata untuk mereka yang tak mampu bersuara, adalah jelmaan ketidak mampuan untuk mengungkapkan beban kesulitan yang tak kunjung berhenti. Biarlah air mata mengalir, selama kesulitan ini bisa meninggalkan semua warga.

    BalasHapus
  2. kita sudah menyaksikan panggung sejarah dunia,
    dan sekarang kita akan menjadi aktornya
    dalam sebuah lakon tragedi,
    bila seseorang tak segera menarik tali
    untuk menurunkan layar panggungnya,
    lalu kemudian membukanya dengan lakon baru

    masihkah kita menyaksikannya
    meski dengan luka menganga
    atau harus pergi
    dengan tanda di dahi
    sebagai biang keladi?

    BalasHapus
  3. Kenapa kita jadi cengeng begini? ayo bangkit, bangsaku !! Jangan larut dalam titik nadir kesulitan kita? mari semangat, tumbuhkan kreasi dan inovasi pada diri kita masing2... Semangat !!!!!

    BalasHapus
  4. Pagi ini air mataku benar2 meleleh , betapa tidak tiba2 di dalam hpku kutemukan sebuah lagu yg dinyanyikan oleh sobatku terdekat yg baru 3 minngu lalu meninggalkan kita semua didalam sebuah kecelakaan dimana mobilnya menabrak pohon..
    Di hpku dia menyanyikan sebuah lagu dalam format mp3 yg berjudul ''kucoba bertahan'' ciptaan pance pondag. Entah kenapa dibulan nopember tahun lalu dia memberikan lagu itu padaku dengan mentransfer ke hpku. biasanya sih suaranya pas2an saja tapi karena dia berhasil memproses dg sintesizer/mixer suaranya jadi bagus mendayu. Dan itulah kenangan yg dia berikan padaku.
    Kenangan lain yg bisa di akses adalah blog dia yakni
    www.frustrasi.blogspot.com
    Oke itu tadi salah satu ''tetes airmata seorang kawan'' buat temanku dr Arief Susetiyo.
    Selamat jalan kawanku semoga engkau mendapat kebahagiaan disana. DisisiNya.

    BalasHapus
  5. mas Indro,
    semoga kedekatan hati
    memperderas do'a untuk beliau di sana
    agar almarhum dikaruniai kedamaian
    di tempatnya

    BalasHapus