Pada waktu sekolah, pada pelajaran sastera Indonesia, sering kita membaca ungkapan : sudah habis air mata ini ....
Wah, sebuah ungkapan dramatis untuk menunjukkan bahwa seseorang sudah sampai ke dasar jurang rasa derita, sehingga menangispun sudah tak mampu lagi. Sayangnya, ungkapan cantik ini tidak pernah disertai penjelasan, lantas ke mana perginya si air mata ketika dia tidak lagi dicucurkan atau dilinangkan oleh mata ? Jawabnya ternyata ditemukan di pertunjukan bioskop.
Begini ceritanya:
Di istana diputar sebuah filem yang katanya sangat bagus. Filem genre baru. Sebuah filem yang diangkat dari sebuah novel super laris, yang royalti pengarangnya konon lebih dari dua koma delapan miliar. Begitu haibatnya.
Pada pertunjukan tersebut hadir para petinggi negri, dan singkat kata, filem tersebut mendapat pujian. Sebuah filem yang sangat bagus dan layak ditonton – tentu begitu buntutnya.
Pagi harinya, beberapa koran menulis yang intinya:
Kepala Negara melelehkan air mata menyaksikan filem tersebut.
Demikian menyentuh hati filem tersebut, sehingga sejenak, media dipenuhi berita tentang tumpahnya airmata keharuan karena sebuah filem.
Ya, filem yang mengharukan banyak orang mulai dari Kepala Negara yang mbrebes-mili sampai rakyat kebanyakan, mulai yang nangis beneran sampai yang dari rumah sudah siap-siap mau nangis karena diberitahu teman bahwa filemnya mengharukan sekali.
Sudah berhari-hari dan bermalam-malam di sudut-sudut daripada rumah, ibu-ibu mbrebes mili sembunyi-sembunyi memprihatinkan daripada keadaan keluarganya yang mungkin akan menjadi semangkin sengsara hidupnya karena keadaan daripada ekonomi yang mangkin menghimpit. Warung nasinya yang buka pagi-siang-sore-malam di kakilima pojok kantor kecamatan sudah diobrak, mereka terpaksa pindah. Warung sekaligus tempat berteduh anak-beranak digeser ke sepetak kecil tanah yang sedikit menjorok ke dalam kuburan di samping kantor kecamatan.
Besok mereka mungkin tidak bisa berjualan nasi lagi, karena tak ada minyak-tanah. Habis. Kosong. Sudah tiga hari suaminya terpaksa tidak mendapat uang dari menarik becak karena harus berkeliling berburu minyak tanah, itupun tak pernah kebagian. Tidak narik becak, tidak jualan nasi, tidak ada uang, tidak ada minyak tanah. Itu artinya adalah: tidak makan.
Si suami yang sangat bertanggung-jawab pun, diam-diam terlihat meneteskan mata ketika pada malam hari menyaksikan anak-bininya tidur melipat tubuh di hamparan tikar. Entah apa yang dimakan tadi sementara dia berburu minyak. Suami yang seperkasa itu menangis tanpa ada yang tahu. Menetes airmatanya deras di malam yang baru berjalan sepertiga. Dan akan lebih deras lagi nanti di tengah malam, ketika dia bersujud di pojok musala kantor kecamatan.
Lalu terdengar serapah :
Sudah butakah mata, tulikah telinga melihat keadaan seperti ini ?
Entah kepada siapa kekesalan itu ditujukan, dia sudah tak peduli lagi, serapahnya adalah akumulasi dari airmata yang sudah menguap, dan tak lagi bisa mengalir lewat matanya.
Berjuta-bermilyar rupiah terbaca di koran mengalir kemana-mana, di ruang-ruang sejuk ber-ac, kamar-kamar hotel, tunai maupun dalam bentuk deretan angka seiring dengan derasnya aliran airmata ketika semakin banyak orang menonton filem yang tiketnya berlipat harganya dari sekaleng minyak dan setabung gas elpiji.
Air mata hanyalah pelepasan himpitan kesedihan. Bukan alat pemecahan, bukan solusi. Jika bisa menjadi solusi, semua warga akan dengan sedang hati menangis demi perbaikan. Air mata untuk mereka yang tak mampu bersuara, adalah jelmaan ketidak mampuan untuk mengungkapkan beban kesulitan yang tak kunjung berhenti. Biarlah air mata mengalir, selama kesulitan ini bisa meninggalkan semua warga.
BalasHapuskita sudah menyaksikan panggung sejarah dunia,
BalasHapusdan sekarang kita akan menjadi aktornya
dalam sebuah lakon tragedi,
bila seseorang tak segera menarik tali
untuk menurunkan layar panggungnya,
lalu kemudian membukanya dengan lakon baru
masihkah kita menyaksikannya
meski dengan luka menganga
atau harus pergi
dengan tanda di dahi
sebagai biang keladi?
Kenapa kita jadi cengeng begini? ayo bangkit, bangsaku !! Jangan larut dalam titik nadir kesulitan kita? mari semangat, tumbuhkan kreasi dan inovasi pada diri kita masing2... Semangat !!!!!
BalasHapusPagi ini air mataku benar2 meleleh , betapa tidak tiba2 di dalam hpku kutemukan sebuah lagu yg dinyanyikan oleh sobatku terdekat yg baru 3 minngu lalu meninggalkan kita semua didalam sebuah kecelakaan dimana mobilnya menabrak pohon..
BalasHapusDi hpku dia menyanyikan sebuah lagu dalam format mp3 yg berjudul ''kucoba bertahan'' ciptaan pance pondag. Entah kenapa dibulan nopember tahun lalu dia memberikan lagu itu padaku dengan mentransfer ke hpku. biasanya sih suaranya pas2an saja tapi karena dia berhasil memproses dg sintesizer/mixer suaranya jadi bagus mendayu. Dan itulah kenangan yg dia berikan padaku.
Kenangan lain yg bisa di akses adalah blog dia yakni
www.frustrasi.blogspot.com
Oke itu tadi salah satu ''tetes airmata seorang kawan'' buat temanku dr Arief Susetiyo.
Selamat jalan kawanku semoga engkau mendapat kebahagiaan disana. DisisiNya.
mas Indro,
BalasHapussemoga kedekatan hati
memperderas do'a untuk beliau di sana
agar almarhum dikaruniai kedamaian
di tempatnya