Saya sendiri adalah paman dari Duryudono, raja, sang pejabat tertinggi, karena adik saya kawin dengan bapaknya. Saya bisa dibilang orang ke dua dalam jajaran apapun, mulai dari eksekutif, yudikatif maupun legislatif.
Sebagai orang ke dua sebenarnya kekuasaan saya jauh lebih besar dari itu, karena hampir seluruh kebijakan berasal dari saya. Adapun Duryudono yang menjadi pejabat tertinggi secara formal dalam prakteknya adalah tukang stempel semata, karena setiap keputusannya sebenarnya terbit dari pikiran, pertimbangan dan perhitungan saya.
Durmogati, keponakan saya yang tukang menyela tadi adalah seorang keponakan yang baik, kesetiaannya kepada pamannya ( yaitu saya ) tidak perlu diragukan, selalu seratus persen komit. Apapun yang ditugaskan kepadanya akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, meskipun untuk itu dia harus pulang dari tugas dengan muka bengep dan tubuh bonyok babak-belur. Itu angka kredit utama untuk dia.
Kredit yang ke dua, dia tidak pernah suka berbantahan. Dalam kancah adu pendapat internal antar-pejabat, biasanya dia akan menyetujui pendapat apapun yang disampaikan oleh siapapun, pendapat yang berlawanan akan sama-sama didukung oleh keponakan saya ini, sehingga dia tidak pernah punya kawan atau lawan sekaligus. Keponakan saya yang satu ini memang teman bagi siapapun. Tetapi yang paling penting bagi saya, apapun kata akhir yang saya putuskan dia adalah pejabat yang paling dahulu akan menyatakan siap mendukung sepenuhnya, meski apapun risikonya.
Kredit yang ke tiga, dia sangat jarang mempunyai pemikiran orisinil, dengan demikian dia tidak pernah potensial menjadi pembangkang bagi kebijakan saya. Barangkali itu karena dia jarang mau berpikir dan menggunakan nalarnya dalam menyelesaikan tugas dan menghadapi masalah. Kalaupun terbentur masalah, dia akan datang kepada saya dan dialah pejabat yang paling sering melakukan konsultasi dan audiensi dengan saya. Kadang-kadang, belum lagi tugas dilaksanakan dia sudah datang kepada saya untuk bertanya bagaimana caranya melaksanakan tugas tersebut. Tapi tak apalah, toh dengan demikian saya menjadi sangat mudah mengontrol setiap gerakan dan langkah-langkah yang dilakukannya.
Berikutnya, angka kredit yang ke empat: dia adalah seorang pejabat yang paling transparan, dalam arti tidak pernah merahasiakan sesuatu kepada saya maupun publik. Apapun yang diketahuinya selalu disampaikan dengan utuh kepada saya. Dia adalah nara sumber yang sangat kaya informasi. Tentang apapun. Mulai dari info tentang kebijakan, gosip, maupun info-info yang lain. Saya tidak tahu, dari mana saja dia memungut info ini semua serta siapa saja nara-sumbernya. Kemampuannya mengimprove informasi ini sangatlah berguna bagi saya, karena sebagai pejabat paling penting di kerajaan, saya membutuhkan info-info seperti ini untuk mengamankan jalannya pelaksanaan kebijakan saya.
Seringkali tanpa saya minta, dia datang kepada saya membawa issue paling gres tentang sesuatu, tentu saja saya dengan senang hati memberikan kesempatan seluas-luasnya dan secukup-cukupnya, karena informasinya sangat luas dan sudah diolah secara matang sehingga siap santap. Saya terkadang terkejut dan heran, keponakan saya yang satu ini mestinya cocok menjadi pejabat intelijen, namun terpaksa tidak saya posisikan di sana karena seorang yang bekerja sebagai intelijen sebaiknya juga bekerja secara rahasia dan oleh karenanya sebaiknya tidak menjadi pejabat publik, sedangkan dia lebih suka menjadi pejabat.
Sayangnya, fragmen-fragmen dari informasi konfidensial ini sering bocor di luaran. Ada yang persis plegg, ada yang sudah berkembang dan ada yang bahkan kontoversi. Semula saya mengira itu berasal dari sumber primer (yang memberi info kepada Durmogati), tetapi setelah saya usut dengan cara saya, ternyata sumber kebocoran ini berasal dari Durmogati sendiri yang selalu berpesan “ sssst, jaga rahasia ini ya, buat kita berdua saja” kepada setiap orang yang diberitahunya. Yang kurang-ajar memang orang-orang itu, mestinya mereka benar-benar mentaati pesan, bukan kok malah saling membocorkan rahasia yang sama, yang akhirnya membuat rahasia bukan lagi sebagai rahasia. Tetapi tak apalah, toh pada akhirnya masih lebih berkuasa saya daripada Durmogati atau siapapun.
Sebenarnya sebagai paman saya harus bisa mendidik Durmogati, agar citranya sebagai pejabat benar-benar baik. Bagaimanapun dia adalah keluarga saya, keponakan saya sendiri yang harus saya jaga dan asuh sebaik-baiknya, dan bukan saya manfaatkan untuk kepentingan saya pribadi. Tetapi, rasanya cukup sulit bagi saya untuk menjaga dia secara khusus, karena keluguan dan keterbukaannya itu. Jangan-jangan nanti malah dia bicara kepada umum bahwa saya mengistimewakan dia, atau setidak-tidaknya dia akan menyampaikan kepada setiap orang “ sssst, jangan bilang kepada siapapun lho ya, paman itu sangat percaya dan dekat kepada saya, lho, karena sayalah keponakan yang paling disayangi dan paling sering diajak omong-omong penting”. Kalau begitu, mampuslah saya nanti diprotes oleh pejabat yang lain, sementara saya mengajak dia bicara adalah karena saya ingin mendidiknya secara khusus dan intens.
Yang mungkin menderita dari keadaan kepribadian Durmogati yang seperti ini barangkali adalah para pejabat bawahannya dan para anak-buahnya. Mereka seperti anak elang yang diasuh bebek. Tidak bersarang di pucuk pohon tetapi di sudut semak, bukannya diajak terbang tetapi malah berenang-renang ria. Anak-anak elang ini tidak akan tumbuh sebagai elang meskipun paruhnya bengkok dan setajam pisau, badan tegap sayap kuat tetapi tak pernah melihat angkasa. Durmogati tidak pernah mengajari dan mendidik dengan baik, meskipun sebenarnya dia pintar. Bagaimana tidak pintar kalau dia adalah seorang pejabat, dan bagaimana dia tidak pintar kalau dia bisa memiliki anak-buah.
Saya sering berpikir bahwa ini adalah kesalahan saya juga karena yang ikut memilih dan menempatkan bawahan-bawahannya adalah saya, yang menyetujui dan mengesahkan kebijakan-kebijakan minornya adalah saya. Dan saya sering menjadi takut andaikata suatu saat terjadi hal yang buruk dalam kerajaan ini akibat keteledoran dari Durmogati yang berjalan sendiri tanpa sepengetahuan saya. Saya juga sering khawatir pada suatu saat dia lengah dan terjerumus ke dalam kesulitan akibat kelakuannya. Saya akan merasa sangat bersalah, karena bagaimanapun dia adalah keponakan saya, anak dari kakak saya, dan bagaimanapun sayalah yang mengasuh dan membesarkannya, yang mengangkat dan menempatkannya pada posisinya sekarang.
Andai bisa, saya akan panggil dia, dan saya akan berbicara kepadanya begini:
O alah Duuur, Dur, Durmogati naaak, keponakan paman yang sangat paman sayangi, bagaimana lagi paman harus mengasuhmu nak, sementara kamu ini sudah gede-tua, punya tanggung-jawab kepada keluarga, kerajaan dan anak buah. Sadarlah kamu tholeee, anakku, pamanmu Sengkuni ini sudah capek ngurus kalian semua. Kamu dan saudara-saudaramu yang banyak ini, jaga diri ya naaak, hati-hati. Jaga perilakumu, jangan sampai mencelakakan dirimu, mencelakakan keluargamu, pamanmu, kerajaan di mana kamu hidup, jangan sampai mencelakakan anak-buahmu, jangan sampai menghancurkan integritasmu. Kamu ini pejabat lho leee, jaga sikapmu, jangan jadi bahan tertawaan di antara para pejabat dan saudaramu, apalagi di antara para bawahanmu. Janganlah engkau memalukan aku, pamanmu ini.
Tetapi saya tidak bisa dan tidak akan melakukannya, khawatir dia akan bercerita kepada semua orang bahwa saya, Mahapatih Sengkuni, memanggilnya dan kemudian tampak menangis dihadapannya. Bisa jatuh martabat, kewibawaan dan kehormatan saya di depan rakyat dan para pejabat, bila hal itu terjadi dan lalu didramatisasi serta disebarluaskan demikian oleh Durmogati keponakanku itu.
Demikianlah para pembaca yang budiman, hal yang terjadi ketika Mahapatih Arya Sengkuni, perdana menteri kerajaan Astinapura memanggil saya dalam audiensi khusus di kepatihan. Saya dipanggil pada suatu sore, beliau menghendaki untuk berbicara empat-mata dengan saya, yang ternyata beliau mencurahkan isi hatinya dan saya memperhatikan dengan baik semua kata-katanya. Kami berbicara atau tepatnya, beliau yang berbicara dan saya mendengarkan dengan takzim, sambil menyeruput wedang kopi jahe hangat beraroma kapulaga, ditemani gorengan tempe gembus iris tipis terbalut pohung parut dibumbui bawang-uyah dan sedikit ketumbar, yang disuguhkan oleh abdi-dalem. Sementara di bangsal samping, bunyi gending ladrang Sri Rejeki mengalun lamat-lamat ditabuh para nayaga kepatihan, ditingkah gemericik air kolam berisi ikan waderbang yang di tengahnya bermekaran kembang teratai putih.
Sore yang cerah, di kepatihan Astinapura, dan di hadapan saya seorang Mahapatih yang mencurahkan uneg-uneg dari dalam hatinya. Kasihan sekali Mahapatih Sengkuni, telah memendam rasa begitu dalam atas perilaku keponakannya. Dan lebih kasihan lagi Durmogati, yang sudah gede-tua masih belum mengerti juga dampak dari segala yang telah dilakukannya.
Saya pulang senjahari, ketika halaman kepatihan mulai sepi, dan pelita mulai dinyalakan di pintu-pintu rumah. Bulan limabelas hari sebentar lagi akan terbit, bulat keemasan. Dari balik pintu rumah yang saya lewati, terdengar tembang sayup-sayup. Megatruh, mengantar Astinapura menjalani malamnya. Mengantar Durmogati berangkat tidur nyenyak, seperti tak pernah ada apa-apa.
Bulan limabelas hari menerangi sepanjang jalan saya pulang ke rumah. Di sana nanti, saya akan cerita tentang pertemuan saya dengan Mahapatih Sengkuni kepada para kerabat .
Pertemuan luarbiasa yang pernah saya alami sepanjang pengalaman hidup hingga saat ini.
Wah gendingnya kok medeni mas... megatruh... Ruh kok dipegat... lak yo amblas. ngernes, ngeres tur ngenes nang ati.
BalasHapusgendhing ndak usah ditakuti mas,
BalasHapusmbah2 kita memang pinter membuat isyarat
kita2 saja yang barangkali harus belajar supaya agak lebih pinter sedikit lagi dan lagi dan lagi
durmogati adalah juga bagian dari yang ada dalam diri saya, selain gareng, cakil, arjuna dan yang lain
mereka semua memberi pelajaran kepada saya untuk memilih, mana yang 'luwih utomo'
PTP bangets he he he
BalasHapus