24 November 2009

Demi Sebuah Tanggung-jawab (lanjutan)

Sebelum berangkat isterinya berpesan: “Usahakan bisa dapat uang ya pak, Si Didi sudah ditagih SPP-nya, paling lambat besok harus dibayar, kalau tidak, dia nggak boleh ikut ulangan”
“Pagi ini aku ngga jadi kulak gula sama sabun, duit warung udah terpakai, lagian si Roni kan musti ditungguin, badannya masih panas” Ya, sepulang dari dokter semalam Roni sempat bisa tidur, tapi lepas tengah malam panas badannya naik lagi dan muntah sampai tiga kali.
Joni berangkat kerja dengan harapan uang ganti obat bisa didapat, meskipun dia tidak yakin. Hari ini tadi dia tidak bisa bekerja dengan konsentrasi yang baik, apalagi ketika ternyata uang yang diharapkannya tidak diproses oleh bu Janti. Untung saja bosnya memahami kebutuhannya yang sangat mendesak tadi. Baru kali ini dia curhat masalah ’kebutuhan’ kepada bosnya. Terpaksa.

Sesampai di rumah uang Rp 20 ribu dia berikan kepada isterinya, yang menerima dengan ekspresi datar-datar saja. Barangkali isterinya berpikir bahwa demikianlah seharusnya, tanpa tahu proses di balik uang Rp 20 ribu tadi. Si Roni panasnya sudah turun, mulai mau makan dan sekarang tidur nyenyak.

Petang itu, Joni duduk berdua dengan isterinya di beranda rumahnya yang sempit. Tanpa saling bicara, tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Joni masih berpikir tentang bu Janti.
Perempuan ’penguasa’ yang mengurusi penggantian uang dokter dan obat di kantornya. Hampir semua karyawan tahu bahwa tidak gampang mendapatkan pelayanan yang baik dari bu Janti, bahkan kebanyakan pernah disemprot dengan kata-kata yang tidak enak didengar. Konon suaminya seorang adalah seorang staf dengan pangkat lumayan di BUMN lain, yang tentunya dengan gaji yang lebih dari cukup untuk hidup layak meskipun bu Janti tidak usah bekerja. Rupanya bu Janti bekerja bukan semata-mata untuk mendapatkan penghasilan, namun lebih karena dia seorang sarjana hukum yang memang sudah bekerja sejak sebelum menikah, sehingga baginya bekerja adalah sebuah kebutuhan untuk mengisi waktunya dan melanjutkan kebiasaannya di luar rumah.
Bu Janti tidak pernah merasakan sebagai seorang ibu rumah-tangga yang kekurangan uang dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, belanja, bayar SPP anak-anak, listrik, iuran kampung, amplop ketika diundang teman dan tetangga hajatan dan lain-lain. Beliau tidak punya tolok ukur terhadap hal semacam itu, karena baginya hal-hal semacam itu tidak pernah terjadi dalam kehidupan kesehariannya.
Sehingga empatinya nyaris tidak ada ketika dalam melakukan tugasnya dia banyak berhadapan dengan karyawan kecil macam si Joni.

Joni memandang isterinya dan membayangkan, andai saja yang berada di kantor itu adalah perempuan macam isterinya, maka ketika pagi-pagi tadi Joni datang dengan kuitansi tentu akan disegerakan memprosesnya, karena isterinya faham benar bahwa kedatangan Joni sepagi itu pasti demi sebuah tanggung-jawab. Dia membayangkan lagi perusahaan di mana dia bekerja penuh dengan orang-orang baik, lurus, penuh tanggung-jawab, dan ...... Ah, tentu akan menjadi tempat bekerja yang menyenangkan, bukan semata-mata karena penghasilan yang diterimanya.

.
salam untuk peserta KMPM Angkatan 23/1995

.

9 komentar:

  1. Nuwun sewu mas Paromo, menawi ngersakaken link, sumangga.

    BalasHapus
  2. balada seorang suami...
    maju terus
    pantang menyerah

    BalasHapus
  3. Romo Kanjeng
    Nuwun sewu Bu Janti menapa ndeblah ageng utawi langsing injih? Ndak kleru le mbayangke

    BalasHapus
  4. pak ugeng:
    matur nuwun
    yang indro:
    balada joni balada sebakul nasi
    ki ageng:
    antara tamara blezshinsky dan demi moore (duluu)

    BalasHapus
  5. Tenang Pak Joni, bu Janti akan segera pensiun..( hik2 sok tahu .. )

    Pak, salam aku hadir lagi nih, ayo bikin blog yang ramai..

    Raf

    BalasHapus
  6. lebih mantap mbaca tulisanne kanjeng romo daripada ngebaca negeri 5 menara.
    ayo mas saya tunggu posting yang baru.

    BalasHapus
  7. Bu Janti menika sampun kagungan putra punapa dereng? Manut kacamata kula anggenipun krama radi telat, piyantunipun lema, ngendikanipun judes,dereng kagungan putra lan ingkang kakung namung sendika dhawuh.Menika manut kaca mata kula mas Suko, iya ta ......kaca mata ....... walah neng ngendi kacamata iki, ngapunten radi bandel tur pinter ndhelik.

    BalasHapus
  8. Nderek nimbrung... Bu Janti sajake "setulegi" setengah tua lemu ginuk-ginuk..... nerasaken ngendikane Pak Budi lan Pak Pur, hallo Pak Pur apa khabar?

    BalasHapus
  9. @mas raf:
    sudah pensiun, benar! tapi duplikatnya sudah muncul
    @eyang:
    waah, ya ndak ada apa-apanya kalo dibanding negri 5 menara to yang!
    @pak pur:
    sajak kok panjenengan sampun tepang, to?
    @mbah suro:
    ngatos-atos, yen pinanggih mangke malah kesengsem lho!

    BalasHapus