20 November 2009
Benang Kusut
Kalo benang sudah kusut, cuma ada tiga cara :
1. buang yang kusut, cari benang baru yang tidak kusut
2. yang kusut diputus dan dibuang, sisa yang tidak kusut gunakan untuk menjahit
3. uraikan dan gulung kembali dengan rapi, lalu lanjutkan menjahitnya
Setidaknya itulah ke tiga pilihan yang bisa diambil salah satu agar dapat segera menjahit kembali. Masing-masing pilihan membawa konsekuensi finansial, waktu dan tenaga. Mana yang harus dipilih juga sangat tergantung seberapa mendesaknya kebutuhan untuk menjahit. Semakin mendesak mungkin pilihan no. 1 yang layak untuk dipilih. Itupun kalau duitnya cukup untuk membeli benang baru.
Kekusutan yang terjadi di negeri ini tidak sesederhana benang yang kusut. Sudah kusut, masai pula (apakah itu masai?), super-kusut, biang-kusut, mbahne kusut, sehingga pantaslah kemudian banyak orang dan pemimpin terjebak di dalamnya. Dan lalu hanya terbengong-bengong, lalu malah berputar-putar di tengah benang, menjadikan keadaan yang sudah kusut jadi mangkin kusut lagi.
Musyawarah serta diskusi dengan adu argumentasi yang kalau di forum-forum akademik/kajian dilakukan secara beradab (adab intelektual), di sidang-sidang parlemen serta forum-forum publik sudah dilakukan secara vulgar dan memalukan. Suara makin keras, tangan jepaplangan (apa ya bahasa Indonesianya?), bahasa santun dilupakan, komunikasipun menjadi ikut kusut. Dan hasilnya seringkali tidak dapat disimpulkan. Tidak ada secuilpun yang dapat menjadi pelajaran dan contoh baik bagi penonton maupun pengamat, apalagi bagi generasi muda, kecuali sebuah pertunjukan sirkus: otot itu perlu, ngotot itu penting, macan itu bisa dijinakkan dengan kerangkeng, daging segar dan latihan dipukul sejak ketika masih bayi.
Ketika Profesor Arif Rahman diminta menyampaikan tanggapan oleh Andy Noya pada acara Kick Andy yang menampilkan beberapa guru dan pustakawan, pak Profesor bertanya: berapa banyak di antara kita yang lebih mudah mengeluh dibanding dengan yang bersyukur? Ternyata lebih banyak yang mengeluh.
Saya menarik kesimpulan sendiri: barangkali oleh karena itu maka keadaan menjadi semakin kusut karena sebenarnya pikiran kita yang terjebak dalam pola pikir yang kusut.
Mengapa harus tetap menjahit ketika benangnya ternyata kusut? Toh baju bisa dibeli atau suruh orang untuk menjahit tanpa harus menjahit sendiri?
Memang bisa, tetapi cukupkah uang untuk membeli? Dan lagi, fit-kah baju kodian dengan tubuh kita?
.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Salam,
BalasHapusJangan cuma dibuang Pakde ntar ada yng mungut lagi, tuh benang kusut masai bakar juga, sekalian tukang jahitnya dipecat, ganti yang baru yang bisa jahit. :D
Ini nie msalahnya adalah persoalan "mengakar" "mendarah daging" "melekat selekat-lekatnya"
Benang mudah kusut, karena nariknya buru2, begitu juga keruwetan yang terjadi saat ini, orang mengutamakan persepsinya sendiri, tanpa menghargai persepsi orang lain, jadinya saling silang. Sama demi hukum ternyata hasilnya sering bertolak belakang.
BalasHapusYa sudahlah kita hanya bisa narik napas panjang.
MATUR NUWUN
Menapa panjenengan rumaos dados peranganipun benang ingkang ruwet punika ? Menawi inggih, tegesipun panggalih panjenengan sampun wiwit ruwet. Pramila punika, kawula aturi panjenengan mardikaken panggalih panjenengan. Tiyang mardika boten badhe kablenggu saking wujud punapa kemawon. "Bebas dari segala bentuk penajajahan. Apapun itu "
BalasHapusBenang kusut.....mengapa terjadi? Karena benang yang semula rapi, setelah digunakan dicampakkan begitu saja, tanpa memperdulikan bahwa benang tersebut sewaktu-waktu dipakai.Mungkin juga karena benangnya bagus, saling berebut untuk merapikan, sehingga seperti inilah situasinya tanpa memperdulikan fungsi benang.Setelah menjadi kusut masing-masing saling menyalahkan, sikut-sikutan kawan menjadi lawan, lawan menjadi kawan.....barangkali inilah yang terjadi dewasa ini, nuwun.
BalasHapusgimana kalau benangnya di 'jur' dulu lalu di 'ulet2' kemudian di pintal lagi??? buat njahit kantong sampah....
BalasHapusnenyok:
BalasHapusmendarah-daging? bung hatta puluhan tahun lalu mengatakan (dan diprotes sana-sini) bahwa korupsi sudah menjadi budaya
mas sito:
dalam pelajaran geometri, sudut yang bertolak belakang besarnya sama
pak ugeng:
saya sedang menderita karena harus mengurai benang kusut perilaku dalam organisasi
semoga saya tetap dapat memerdekakan hati
maturnuwun untuk inspirasinya
pak pur:
mungkin bukan saja peduli kepada benangnya, tetapi lebih harus peduli kepada sesamanya ya pak
eyang bethoro indro:
senyum saja eyang, benangnya nanti dipake jahit kadaver setelah diotopsi