23 November 2009

Dua Puluh Ribu

Tahun 1995.
Joni, seorang karyawan sebuah perusahaan Negara pagi-pagi sudah menunggu di kursi tamu bagian SDM. Di tangannya ada dua lembar kertas, kuitansi pembelian obat dan copy resep dari apotek. Siapapun di kantor itu akan segera sadar bahwa Joni menunggu kedatangan bu Janti di bagian SDM agar kuitansi pembelian obatnya dapat memperoleh penggantian.
Beberapa saat kemudian ketika bu Janti dating, Joni segera menghampiri dan menyerahkan dokumen yang dibawanya. Bu Janti segera faham maksud si Joni. Tentu minta agar hari itu juga penggantian dapat dicairkan. Nilainya Rp 20 ribu. Bu Janti berkata agar kuitansi tersebut dimasukkan ke map “Kuitansi” dan Joni diminta meninggalkannya. Ketika Joni membuka map tersebut, dia sempat melihat ada sekitar tujuh atau delapan kuitansi serupa. Hatinya terkesiap, jangan-jangan kuitansinya tidak bisa dicairkan hari ini, padahal sebelum berangkat tadi isterinya sudah wanti-wanti berpesan agar diusahakan uang tersebut dapat dibawa pulang hari ini, karena besok harus dibayarkan untuk SPP anak sulungnya. Uang yang tersisa di rumah hanya cukup untuk belanja tiga hari lagi.
Joni dengan lemas meninggalkan ruangan SDM. Dia tahu betul watak bu Janti yang galak. Namun harapannya tidak padam. Nanti jam sepuluh dia akan menengok nasib kuitansinya. Mudah-mudahan sudah diselesaikan oleh bu Janti.
Jam 10 lebih sedikit, Joni melongokkan kepala di sela pintu ruangan SDM. Bu Janti sedang makan di mejanya berhadapan denga bu Nelly. Ketika melihat Joni mendekat, bu Janti berkata: Beluuuuum, nanti!
Joni balik dan berencana nanti setelah jam istirahat dia akan kembali.
Ketika usai jam istirahat, bu Janti berkata: Belum sempat. Besok saja. Aku hari ini repot sekali. Sambil berdiri di sebelah meja bu Syane yang sedang mendisplai baju anak-anak, dagangan yang dibawa dari rumah.
Pandangan Joni gelap sesaat. Ia harus memutuskan: meminta penjelasan dari bu Janti atau mencari jalan lain untuk mendapatkan uang Rp 20 ribu.. Putusannya, daripada berdebat yang tak akan menang dengan bu Janti, dia memutuskan untuk mencari pinjaman kepada bosnya sendiri.
Bosnya dengan senyum meminjamkan uang Rp 20 ribu kepada Joni. Meskipun di kantongnya sendiri tinggal tersisa Rp 5 ribu.
( to be continued)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar