29 Oktober 2009

The Killing-field



Untuk ke sekian kalinya, saya sampaikan kepada Anda sekalian bahwa saya merasa ngeri melihat perilaku sebagian (besar) pengguna jalan raya.
Main potong jalur secara tiba-tiba, bersilambat di lajur yang tanggung posisinya dan beberapa perilaku berisiko lainnya.
Kecelakaan yang berakibat kerusakan kendaraan, luka ringan, luka berat, cacat tubuh bahkan kematian, rupanya sudah bukan menjadi hal penting. Karena barangkali kita sudah dibuat kebal oleh segala macam pemberitaan di hampir semua media, lengkap dengan tayangan foto dan videonya. Tubuh yang tergeletak bersimbah darah, hancur berceceran, kendaraan ringsek berkeping-keping luluh-lantak. Tayangan tersebut mungkin hanya dalam bilangan detik mampu memancing emosi kita, dan lalu sesaat kemudian lewat dari ingatan.
Segala pemasangan rambu, penataan lajur jalan, perbaikan fisik permukaan jalan tidaklah cukup. Demikian pula dengan segala perbaikan tatacara administrasi untuk mendapatkan SIM maupun legalisasi dokumen kendaraan. Semua itu nyaris tidak berdampak pada perilaku seseorang berkendara.
Bahkan pengaturan pemakaian helm dan sabuk keselamatan, menyalakan lampu depan bagi kendaraan roda dua (R-2) di siang hari serta wajib lajur kiri bagi R-2 seakan hanya sebuah karnaval musiman, atau bahkan pesan sponsor yang lebih menonjol sponsornya ketimbang pesannya.

Mungkin sudah waktunya 'kekejaman' dilakukan oleh Yang Berwajib, dengan lebih aktif menindak pelanggaran yang berpotensi menjadi kecelakaan, sebelum terlambat dan nantinya jalanan berubah menjadi killing-field, di mana bukan saja etika diabaikan, tetapi hukum rimba yang dijalankan di depan mata, dengan manusia menjadi pelaku dan sekaligus calon korbannya.

Peran media?
Menayangkan sebuah kejadian kecelakaan sebagai 'hanya' sebuah berita (dengan segenap detilnya) patut dievaluasi kembali, dan untuk ini barangkali misi pemberitaan perlu dikaji ulang agar publik tidak sekedar mendapatkan informasi akan tetapi mampu menyerap nilai yang terkandung dalam berita yang dibaca dan ditonton, untuk kemudian memperoleh 'pencerahan', meskipun sekedar tentang berlalu-lintas yang etis.

Banyak faktor yang menjadi pendorong dan pemicu keganasan berlalu-lintas. Jadwal kerja, cuaca, kondisi jalan, pemakai jalan yang lain dan hal-hal lainnya. Tentu sangat dimaklumi, namun rasanya tidak dapat ditoleransi apabila hal-hal tersebut kemudian digunakan sebagai alasan yang mendorong timbulnya sikap 'lu kaga penting, urusan gua yang nomer satu'.

Semoga kita tidak pernah akan menjadi korban, apalagi berpikir untuk menjadi pelanggar etika dan aturan lalu-lintas, agar jalanan kita tidak menjadi the Killing-field.


.

7 komentar:

  1. Apa mau dikata, begitulah adanya...

    BalasHapus
  2. semakin terasa bahwa pelajaran budi-pekerti memang harus menjadi satu pelajaran yang eksklusif, bukan dinunut-nunutkan di mp lainnya

    BalasHapus
  3. Romo Kanjeng,
    Dua belas tahun lalu, 13 Dec 1997, anak saya bungsu tersayang, meninggal ditabrak kendaraan yang disopiri secara tdk bertanggung jawab dan ugal ugalan. Dia baru beumur 17 tahun dan dalam perjalanan pulang dri sekolah. Kejadiannya di dekat rumah tinggal kami. Sang penabrak dihukum sangat ringan. Itupun sesudah kami menyogok jaksa dan pengadilan. Jika tidak dia bebas.

    BalasHapus
  4. tentu sangat memilukan ki,
    apalagi ketika saya membayangkan ketika hakim memutus perkara, dia mengucapkan:
    ..... demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa .....

    BalasHapus
  5. Salam,
    Banyaknya kecelakaan itu emang disumbang juga dengan semakin banyaknya jumlah unit kendaraan, indonesia ini memang unik, ekonomi carut marut, katanya makin banyak jumlah penduduk miskin tapi pembelian unit krndaraan naik terus, dan lucunya tak dibarengi dengan infrastruktur jalan yang memadai, ditambah mental semau gw, pelaksanaan regulasi yang longgar, klop sudah. *eh aku ngomong kok ga ada bagus2nya ya :D

    OOT: soal taut menaut, dengan senang hati, kehormatan yang tak ternilai *menjura > 3x

    BalasHapus
  6. Pelanggaran lalu lintas sekarang dilakukan secara masal. Perlu tobat nasional untuk tidak melakukan pelanggaran, ayo kita mulai dari diri kita sendiri.

    BalasHapus
  7. nenyok:
    miskin duit, miskin mental, miskin disiplin, tapi: kaya dengan pemikiran. masih ada bagusnya kan, meskipun setelah mikir: tidurrrr lagee...
    (menjura lebih rendah untuk perkenan tautannya)

    mbah suro:
    yang lagi ngetren 'tomat', sekarang tobat besok kumat.
    setuju mulai dari diri sendiri, mbah, cuman mbok saya dikasi resep/jampi/mantra supaya gak gampang emosi kalo ada yang njarag di jalanan

    BalasHapus