07 Juli 2009

Kepengin Miskin ?



Beberapa bulan lalu, ketika nonton TV dan nyasar ke sebuah acara, pas ada dialog tentang empat tahun pemerintahan SBY-JK.
Ketika moderator menanyakan kepada empat orang tokoh tentang rapor pemerintahan SBY-JK, salah satunya memberi angka sembilan. Tetapi tokoh yang lain memberi angka EMPAT, lalu ditambah setengah menjadi empat setengah setelah mendengarkan beberapa poin prestasi. Salah satu indikator yang digunakan untuk memberi nilai rendah tersebut adalah fakta bahwa tidak ada perubahan daftar dan jumlah penerima BLT sejak penerimaan BLT periode sebelumnya, sehingga meskipun dalam pidato disebutkan menurunnya angka kemiskinan, fakta tadi menggugurkannya.
Biarlah dalam acara yang disiarkan TV tersebut mereka berdiskusi, berdebat dengan pendapat masing-masing, atau yang lain lagi.

Saya lebih tertarik kepada tulisan yang gambarnya ada di atas tadi, yang dipasang di depan konter apotek dan beberapa tempat lain, di Rumah Sakit Haji Surabaya.
Ketika itu kurang lebih jam sebelas malam, saya mengambil obat untuk isteri saya yang kuku jempol kakinya harus dicabut gara-gara nyeri tak tertahankan, luka kejatuhan gayung berisi air sewaktu mandi sore (mandinya pake gayung, mak! lebih segerrr).

Yang saya pikir,
rupanya fihak Rumah Sakit tidak suka jika mereka harus membiayai orang yang mengaku miskin ( padahal tidak benar-benar miskin), sementara orang yang benar-benar miskin tidak berani ke Rumah Sakit karena tidak siap kalau sampai ditarik ongkos berobat meskipun sudah dikenai tarip murah. Atau bahkan tak punya ongkos untuk berangkat ke Rumah Sakit.

Saya pernah mendengar obrolan ketika jagongan dengan pak RT dan warga kampung saya, bahwa para warga yang berkategori ‘miskin’, yakni yang mendapatkan Beras untuk Orang Miskin (raskin), penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT), pemilik kartu Asuransi Kesehatan untuk Orang Miskin (Askeskin), dan kin-kin yang lain, di pintu depan rumahnya bakal dipasang papan bertuliskan KELUARGA MISKIN.
Mana tahaaaaaaannnnnn.....

Bingung ya,
Lebih lagi saya, ketika saya berpikir:
• Berapa duit diperlukan untuk membuat tulisan sebanyak sekian juta lembar atau keping?
• Siapa yang bakal ditugasi memasang tulisan tersebut dengan konsekuensi bakal dipukul pemilik rumah yang tersinggung karena merasa dipermalukan secara terbuka?
• Berapa lama tulisan tersebut akan bertahan di tempatnya terpasang?

Sibuklah saya dengan berbagai pikiran, sementara luka di jempol kaki isteri saya mulai sembuh dan kuku jarinya berangsur tumbuh kembali.
Semoga tak ada lagi gayung jatuh menimpa jari kakinya ketika mandi.

Eh, kami berobat di sana bayar sendiri lho! (khawatir dianggap miskin padahal tidaklah kaya)

4 komentar:

  1. selamat ngeblog lagi hehehehe

    sampai segitunya yah..saya jadi ikutan bingung mikirnya, kata nya seh orang miskin ga boleh sakit...
    Klo didaerah saya "miskin tuh pilihan", orang jadi gelandangan itu pilihan hidupnya...laah pemerintah sini ngasih wellfare, shelter, tapi dasar mereka ga mau kerja makanya jadi glandangan, dan duit dari pemerintah dibelikan drug

    gayungnya dibuang aja pak...biar ngga makan korban lagi...

    BalasHapus
  2. gayung makan korban ......
    itulah kalau gayung bergaya jadi anjing,
    jempol kaki majikan dimakan

    BalasHapus
  3. hebat lho, maskinnya tak jarang menenteng hp dan bukan naik sepeda onthel lagi tapi naikannya kuda jepang dan mereka dengan bangganya menyandang gelar maskin.

    BalasHapus
  4. di jombang cintaku banyak kisah maskin yo mas? ceritain dong

    BalasHapus