30 Agustus 2010

Dasamuka

Huru-hara diplomatik dengan Malaysia semakin memicu sentimen kebangsaan hampir seluruh rakyat Indonesia. Entah apakah nota protes yang dikirim oleh Presiden kepada PM Malaysia mampu meredam emosi masing-masing fihak, atau justru akan menjadi angin yang meniup bara kemarahan. Kita lihat saja. Sementara masih saja ada bendera yang dibakar dan diinjak-injak.
Di belahan dunia yang lain ada yang melakukan kampanye untuk membakar kitab suci agama tertentu sebagai pertanda protes keras atas terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh pemeluk agama tersebut.
Di pojokan dunia yang lain lagi, sekelompok remaja melempari stasiun kereta dan lingkungan di sekitarnya dengan batu, karena pasukan bola mereka dan mereka sendiri 'didolimi' oleh warga kota itu.
Di lain tempat, di depan kantor tertentu sekelompok jurnalis melakukan aksi protes, karena anggotanya mendapat tekanan keras ketika sedang melakukan tugas peliputan.

Di sini ada identitas yang dibela atau sebaliknya: dilawan. Yaitu negara, keyakinan, klub atau kelompok.
Pembelaan atau perlawanan terhadap kelompok kaum (komunitas yang beridentitas) hampir sepanjang sejarah manusia selalu saja terjadi. Fir'aun dan pasukannya mengusir Nabi Musa dan pengikutnya. Dua negara di Amerika Latin berperang gara-gara permainan bola. Penduduk dua desa tawur gara-gara salah satu warganya dilecehkan. Sebuah tempat ibadah disegel karena ritusnya diklaim sesat oleh yang lain.

Ada yang aneh.
Ketika kesebelasan Jepang turun di Afsel sebagai wakil Asia; kita, orang Indonesia yang juga warga Asia (dan kebetulan punya memori sekaligus setori masa lalu dengan Jepang) ikut merasa bangga. Dan ketika Jepang kalah, kitapun merasa kecewa. Dalam hal ini kita cs-an dengan Jepang. Tetapi ketika satu pabrik Jepang yang ada di Indonesia diputuskan untuk tutup dan pindah ke negeri lain, sakiiiit hati ini rasanya. Apalagi disertai dengan alasan kondisi perburuhan yang tidak baik, kebijakan ekonomi yang kurang mendukung, dsb, dsb, dsb; nyerinya kepada Jepang sampai keubun-ubun rasanya. Mau melawan saja rasanya, bersama-sama.
Ketika sedang mau bersama-sama, datanglah masa pemilu. Kita yang tadinya serasa satu, mulai terkotak jadi kaumnya partai A, partai B, partai C, dll. Kaum A bersitegang dengan kaum B gara-gara ada yang mencuri start kampanye; kaum D dengan kaum S gara-gara pemanfaatan anggaran dan fasilitas yang tidak semestinya.
Ternyata partai MGDSJGVDS menang pemilu, jadilah dia partai berkuasa di parlemen. Beberapa waktu kemudian ada pemilihan ketua partai. Pengikut si O dan si E saling sindir, pengikut si U dan si A perang iklan.
Demikian seterusnya keanehan ini berlanjut. Dan ini melahirkan pertanyaan: apa sebenarnya identitas kita? Seberapa besar kekuatan identitas itu memberi warna dalam kehidupan (interaksi) sosial kita; dan sebaliknya: mengapa sekarang identitas-identitas itu (apapun) terasa demikian mudah mengelupas hanya karena identitas atau sub-identitas lain yang kita punya?

Kalau sudah demikian, masihkah kita perlu simbol?

Jangan-jangan kita membakar bendera karena memang kita sudah tidak menganggap bendera sebagai simbol; atau bahkan demikian pulalah anggapan kita tentang bendera negeri sendiri? Yang kita kibarkan di rumah dengan tiang seadanya dan warna kusam, itupun masih pula lupa untuk menurunkan pada waktunya? Atau bahkan sudah lupa pula saat harus mengibarkannya? Atau barangkali identitas itu kita anggap tidak permanen; sewaktu-waktu bisa berubah, suka-suka hati kita.

Masih mending Dasamuka, tokoh raja dari negeri Alengka yang dikisahkan memiliki sepuluh wajah, tetapi ketika masing-masing wajah ditanya namanya, jawabnya tetap: Dasamuka raja negeri Alengka. Dengan tegas.

(benar-benar merdeka.........)


.

7 komentar:

  1. Sepertinya didunia ini tidak lengkap kalau tidak ada yang aneh.Ditempat lain, pimpinan suatu daerah tidak mau menjumpai tamu yang datang/atasannya, karena yang berkunjung adalah lawan politiknya dst...dst.

    BalasHapus
  2. Salam
    Mungkin karena identitas yang ada berdiri di atas fondasi ideologi yang rapuh Pakde, ga ada yg betul2 menggetarkan hati bahkan sebuah rasa kebangsaan sekalipun, krn nyatanya bangsa ini bukan bangsa yang serasa memiliki rakyat, pemimpin kemana..rakyat kemana..
    *nyambung ta...
    Nun di pojok bumi yang lain ada yang lagi kena flu berat dan kerjaannya cuma depan laptop hehehe, seraya bergumam "ini kan negeri sandiwara, so what.." :D

    BalasHapus
  3. pak pur:
    saya masih ingat ketika Presiden mampir ke Surabaya..... itukah?
    nenyok:
    hati bisa bergetar bilamana ada rasa cinta yang dalam di sana... *nyambung kan?

    BalasHapus
  4. Nampaknya saat kita harus mencontoh Dasamuka. Dia punya sepuluh wajah tetapi tetap berkata "Akulah Dasamuka " daripada punya satu wajah tetapi tidak pernah mengatakan siapakah dirinya.

    BalasHapus
  5. pak ugeng:
    gemi, nastiti, ngati-ati, itu baik, tetapi akan lebih baik lagi kalau dalam bekerja disertai semangat bat-bet, cekat-ceket, blas-blas-blas...
    saya memimpikan pemimpin yang mampu membawa bangsa ini benar-benar bermartabat sekarang dan di masa depan ....

    BalasHapus
  6. Romo Paromosuko
    Kehidupan politik sebenarnya adalah upaya manusia untuk mengatur secara kolektif berbagai identitas ini untuk membela kepentingan bersama. Ini yang kadang dilupakan orang. Kepentingan bersama yang paling hakiki adalah kesejahteraan. salam Ki Ageng

    BalasHapus
  7. betul ki ageng, masalahnya batas-batas kebersamaan itu seperti karet gelang, bisa untuk ngikat jari kelingking tapi bisa juga untuk ngikat rambut gondrong, bersama ditafsirkan oleh mr x dengan 'antara dua orang saja' dan oleh MR X dengan 'antara dua bangsa saja' dan oleh yang lain lagi 'antara sesama manusia yang berada dalam dua milenium saja'...

    BalasHapus