
Untuk ke sekian kalinya, saya sampaikan kepada Anda sekalian bahwa saya merasa ngeri melihat perilaku sebagian (besar) pengguna jalan raya.
Main potong jalur secara tiba-tiba, bersilambat di lajur yang tanggung posisinya dan beberapa perilaku berisiko lainnya.
Kecelakaan yang berakibat kerusakan kendaraan, luka ringan, luka berat, cacat tubuh bahkan kematian, rupanya sudah bukan menjadi hal penting. Karena barangkali kita sudah dibuat kebal oleh segala macam pemberitaan di hampir semua media, lengkap dengan tayangan foto dan videonya. Tubuh yang tergeletak bersimbah darah, hancur berceceran, kendaraan ringsek berkeping-keping luluh-lantak. Tayangan tersebut mungkin hanya dalam bilangan detik mampu memancing emosi kita, dan lalu sesaat kemudian lewat dari ingatan.
Segala pemasangan rambu, penataan lajur jalan, perbaikan fisik permukaan jalan tidaklah cukup. Demikian pula dengan segala perbaikan tatacara administrasi untuk mendapatkan SIM maupun legalisasi dokumen kendaraan. Semua itu nyaris tidak berdampak pada perilaku seseorang berkendara.
Bahkan pengaturan pemakaian helm dan sabuk keselamatan, menyalakan lampu depan bagi kendaraan roda dua (R-2) di siang hari serta wajib lajur kiri bagi R-2 seakan hanya sebuah karnaval musiman, atau bahkan pesan sponsor yang lebih menonjol sponsornya ketimbang pesannya.
Mungkin sudah waktunya 'kekejaman' dilakukan oleh Yang Berwajib, dengan lebih aktif menindak pelanggaran yang berpotensi menjadi kecelakaan, sebelum terlambat dan nantinya jalanan berubah menjadi killing-field, di mana bukan saja etika diabaikan, tetapi hukum rimba yang dijalankan di depan mata, dengan manusia menjadi pelaku dan sekaligus calon korbannya.
Peran media?
Menayangkan sebuah kejadian kecelakaan sebagai 'hanya' sebuah berita (dengan segenap detilnya) patut dievaluasi kembali, dan untuk ini barangkali misi pemberitaan perlu dikaji ulang agar publik tidak sekedar mendapatkan informasi akan tetapi mampu menyerap nilai yang terkandung dalam berita yang dibaca dan ditonton, untuk kemudian memperoleh 'pencerahan', meskipun sekedar tentang berlalu-lintas yang etis.
Banyak faktor yang menjadi pendorong dan pemicu keganasan berlalu-lintas. Jadwal kerja, cuaca, kondisi jalan, pemakai jalan yang lain dan hal-hal lainnya. Tentu sangat dimaklumi, namun rasanya tidak dapat ditoleransi apabila hal-hal tersebut kemudian digunakan sebagai alasan yang mendorong timbulnya sikap 'lu kaga penting, urusan gua yang nomer satu'.
Semoga kita tidak pernah akan menjadi korban, apalagi berpikir untuk menjadi pelanggar etika dan aturan lalu-lintas, agar jalanan kita tidak menjadi the Killing-field.
.