Pertempuran berlangsung dalam senyap dan gerakan lambat. Tak terdengar
denting dan desing besi beradu atau suara geram dan raungan.
Besi roda kereta yang beradu dengan bebatuan dan benturan senjata bola besi
bertali rantai dengan perisai tak ada bunyinya. Senyap.
Hanya bunyi lirih,sayup,
jauh,
degup jantung seperti ombak di
pantai landai
dan tarikan nafas seperti desau angin di pesisir yang berbukit.
Senyap.
Medan laga diselimuti warna kabut, abu-abu.
Bendera perang tak
terlihat berwarna-warni lagi. Teropong kepala yang bersalut emas seperti warna
debu batu. Tak ada lagi aroma kemegahan warna-warna. Sirna.
Padang Kurusetra sedang menuju akhir pergelarannya. Permukaannya bukan lagi
tanah berumput dan berbatu, tetapi kubangan darah, serpihan daging dan potongan
besi.
Dan para panglima bersiaga untuk saat-saat akhir ketika pertempuran sudah
semakin dekat pada ujungnya, para panglima yang
berdandan seelok-eloknya laksana pengantin hendak ke pelaminan, bersiaga
menjemput takdirnya di medan laga.
Padang Kurusetra seperti bola debu yang sedang meluncur turun menuju ke
dinding gunung batu. Semakin lama berguling semakin kencang, menyapu segalanya
yang berada diperjalanan.
Padang Kurusetra seperti
kumpulan sejuta badai bergerak lamban dengan mata badai seperti ujung belalai, menghisap
apapun yang dilintasinya.
Padang Kurusetra yang sedang bertiwikrama dengan segala isinya,
tiba-tiba mengambang di atas awan tanpa cahaya,
mengapung menjadi hanya sejumput kabut yang berkehendak menjadi titik air.
......
Hujan rintik datang
bersama pelangi.
Perang sudah usai.
Warna-warni sudah
kembali.
Bunyi sudah kembali lagi.
Damai.