29 April 2010

Bergunjing

Berada di antara para senior yang telah pensiun, saya merasa 'diadili'. Ceritanya:

Lima-enam orang senior saya yang sudah pensiun lebih dulu, sekarang sering kumpul-kumpul di rumah salah-satu dari mereka. Acara rutinnya bersepeda-ria. Dan itu telah berjalan intens kurang lebih empat tahunan ini. Kelompok 65++ ini dulu berasal dari angkatan kerja yang sama, sekitar tahun 1966, di mana ketika itu Perusahaan lagi berada pada zaman 'keemasannya', sampai-sampai beberapa di antara karyawan pada era itu berasal dari para karyawan bank dan akuntan yang akhirnya memilih menyeberang untuk bekerja di industri gula.
Pada saat itu, jaminan kesejahteraan relatif sangat baik bila dibanding dengan instansi lain. Dibandingkan dengan 'instansi' karena Perusahaan Perkebunan dan Pabrik-pabriknya masih sangat kental bau 'pegawai' semacam pegawai negeri. Pesaing yang lebih bergengsi paling-paling adalah Pegawai Kantor Pajak. Atau Colibri (begitu Unilever biasa disebut ketika itu). Gaji bagus, jaminan kesehatan sip, fasilitas kerja aduhai. Contoh:
Seorang Kepala Tata-usaha Pabrik Gula pernah cerita: ketika menerima amplop gaji bulan ini, amplop gaji bulan sebelumnya masih utuh dan belum dibuka! Kalau dinas ke Kantor Pusat (jaman itu mereka menyebutnya : dines ke Direksi) maka dipilih kendaraan dinasnya pick-up, bukannya station atau jeep, karena selesai urusan dengan Kantor Pusat mereka akan belanja kulkas, tape-deck yang segede kulkas juga, itupun masih harus belanja titipan pesanan serupa dari kolega-kolega yang lain.
Sakit dan opname juga membanggakan. Aneh ya! Ketika sebagian tetangga yang pegawai biasa sakit diopname di RSU milik Pemerintah, mereka dirawat di RS Swasta yang terkenal, yang lantainya kencang bau lisolnya. Yang 'bezoek'nya amat disiplin, yang tempat makan pasiennya bukan baki ompreng aluminium dengan cekungan tempat bubur, sayur dan daging, dan sendok bebek; tapi disajikan di atas baki beneran, dengan piring, mangkuk dan sendok 'alpacca'. Kebanggaan tuh, bagi yang sakit dan keluarganya, dan layak dipamerkan ketika sanak famili serta beberapa tetangga datang menyambangi.
Berangkat kerja juga keren. Sementara yang lain berangkat bersepeda (jaman itu motor belum banyak) atau naik angkutan umum, mereka dijemput dan diantar pulang dengan bis pegawai yang catnya abu-abu terang (warna yang lagi ngetren saat itu) dan sisi kanan kirinya ada tulisan "BIS PEGAWAI". Berangkat rapi, pulang tetap rapi ( gak kerja kali, ya) karena kantornya gedung kuno warisan Londo, yang bersih mengkilat megah sampai ke kakus-kakusnya. Sejuk dengan plafon tinggi ventilasi lebaar ditambah 'waier' (entah gimana nulisnya yang benar, maksudnya adalah 'fan' alias kipas angin.

Pantesan, beberapa karyawan bujangan lelaki ketika itu mencadi calon mantu idaman, tempat calon mimpi digantungkan oleh para calon mertua. Para bachelor ketika itu pesaingnya cuma satu: kadet, calon perwira angkatan laut yang masih dididik di AAL, Akademi Angkatan Laut, yang kalau malam minggu 'pesiar' dengan seragamnya yang menarik hati, jalan dengan langkah rapi berdua-dua. Cuma itu kompetitornya.

Tapi ternyata keadaan berubah. Pelan dan pasti. Pasti berubah, maksud saya. Sangat mengejutkan bagi mereka, senior-senior saya ketika mereka tiba-tiba harus dibangunkan dari mimpinya oleh gegap-gempitanya kenyataan. Saya adalah salah satu produk yang berada pada era sesudah mereka, ketika perubahan drastis datang.

Kok melantur ya; diadilinya kapan? Sabar dulu ah, capek!
Bikin minum anget dulu yuk! disruput pelan.... segaaaaaar.
Semoga Anda semua dalam keadaan sehat, doakan juga saya.

.

5 komentar:

  1. Perkara "kapan" kita tunggu saja datangnya waktu. Walau tidak kita tunggu waktu akan datang juga. Kata mbah, "keadaan" silih berganti seperti cakra manggilingan, kadhang di atas dan juga kadhang di bawah. Hanya saja posisi kita berada di mana .

    BalasHapus
  2. Salam,
    aih, gantung gini ceritanya bikin penasaran ajah, eh tapi nyimak cerita Pakde berasa kek nonton film tahun 7O-an yak, hmm tp ngomong2 soal perubahan, saya setuju banget, bahwa itu suatu hal yg pasti hanya saja ga tahu akan sprti apa tapi intinya bahwa kita mesti siap dengan segala kemungkinan tul ndak Pakde? :)
    *sambil sruput kopi panas*

    BalasHapus
  3. wah.. ambtenaar banget nih. sepatunya pasti kinclong pakai polkah putih jas safari putih pake lidah dibahu rokok pipo londo bawa teken kacamata bunder sambil klepas klepus. Sayangnya penulis ada di jaman peralihan jadi ya serba susah kebelakang diadili kedepan di hakimi.... he he.
    wassalam.

    BalasHapus
  4. @pak ugeng:
    saya sudah 'diadili' kok, pak! tapi ketawa-ketawa saja, krn yang mengadili ndak pakai pasal-pasal normatif
    @nenyok:
    ndak usah terlalu dipikir, anggap saja sbg ujian sekaligus referensi apakah yang sdh kita persiapkan dan lakukan sudah benar atau masih perlu perbaikan
    dongeng bersambung, nyaingin sinetron (alih-alih nulisnya menyelinap di antara kerjaan lain)
    @yang bthoro:
    londonya sekarang bebas rokok, spy budidaya dan industri tembakau indonesia mampus! (aku gak trimo tenan lho!)

    BalasHapus
  5. Romo Kanjeng,
    Jaman dulu istilahnya dokter gula pasti makmurnya.

    BalasHapus