12 Agustus 2009

Kemong

Kemong adalah sebutan gaya Suroboyo-an untuk sebuah tabuhan mirip gong dengan diameter antara 25-35 cm. Alat ini ditabuh atau dipukul bukan untuk iringan musik, tetapi sebagai penanda ketika sebuah kampung ada warganya yang meninggal.
Biasanya, ketika ada seorang warga kampung meninggal, maka kemong akan ditabuh berkeliling kampung, lalu warga yang mendengar akan keluar dari rumah untuk menanyakan kepada si penabuh atau pengiringnya - biasanya anak-anak atau beberapa anak muda yang ikut berkeliling – ikhwal tentang tetangga yang meninggal: siapa, kapan meninggal, karena apa, kapan dimakamkan, di mana dan sebagainya. Lalu kabar tersebut secara berantai ditularkan kepada tetangga lainnya. Duplikasi informasi yang simpel namun sangat efektif.
Untuk melengkapi informasi tentang rumah duka, maka di ujung jalan atau gang akan dipasang bendera putih bergambar palang-merah, yang ukurannya sekitar 40x40 atau 50x50 cm. Entah kenapa kok palang-merah, barangkali ada hubungannya dengan Surabaya yang pada jaman dulu pernah menjadi ajang perang perjuangan melawan Sekutu dan Nica di tahun 1945, di mana ketika itu lokasi perawatan korban yang berada di kampung-kampung diberi tanda dengan bendera palang merah.

Kembali dengan urusan kemong.

Peralatan yang sederhana ini sekarang sudah semakin jarang digunakan, barangkali kalah dengan sarana komunikasi yang baru: HP, yang tidak bising, tidak capek, praktis. Tinggal omong-omong atau pencet-pencet, kirim, habis perkara. Tetapi ternyata bukan hanya perkara yang habis. Nuansa kerukunan model kampung Suroboyo-an juga ikut menjadi terkikis.
Ketika dulu kemong ditabuh, warga kampung keluar rumah, omong-omong antar tetangga, bikin janji untuk ketemu, takziah, melayat, mengantar ke kubur, bertemu dengan tetangga lainnya sambil saling berkabar keadaan masing-masing. Sungguh sebuah model kehidupan bermasyarakat yang sejuk dan menyenangkan, sehingga terkadang membuat sebuah keluarga enggan meninggalkan kampungnya untuk pindah ke pemukiman baru yang jalannya lebih lebar dan lingkungannya lebih lega. Enggan kehilangan nuansa keakraban bertetangga.

Kemong juga sebuah alat ukur sederhana untuk mendeteksi tingkat partisipasi bermasyarakat seseorang. Ketika mendengar kemong ditabuh dan seseorang tidak keluar dari rumah (padahal tidak sakit) maka dapat dipastikan bahwa orang tersebut mempunyai masalah dengan kemampuan sosialisasinya, dan apabila tindakan seperti ini terjadi berkali-kali, maka para tetangga akan mencatatnya untuk kemudian disikapi bersama-sama ( kok agak mengancam, ya?! ).

Kemong sekarang sudah hampir musnah karena barangkali masyarakat menganggap penggunaan kemong sudah tidak layak-tayang lagi. Seiring dengan itu, saya pernah menjumpai sebuah keluarga yang ayahnya meninggal ( pada malam hari jam 9 ), di rumah duka itu hanya ada anak, pembantu, 2-3 orang famili dan 2-3 orang teman (yang notabene mereka semua bukan tetangga, yang semuanya tinggal jauh dari rumah tersebut) datang untuk takziah. Dari lingkungan sekitar rumah duka tersebut hanya hadir hansip/satpam, itupun karena mereka menggeser pos jaga ke arah yang berdekatan dengan rumah duka.

Semakin menghilangnya kemong di Surabaya apakah juga pertanda semakin menipisnya solidaritas sosial gaya Suroboyo-an, ya?

7 komentar:

  1. di jogja / jateng namanya kenong yo, kalau kemung agak besaran dikit nama lainnya bendé. sik kelingan bendé mataram to mas?

    BalasHapus
  2. sangaji, titisari ...
    ada yang bilang bende mataram adl saduran dr cerita silat cina klasik, mas

    BalasHapus
  3. Berita duka,
    Kalau dikampung saya, dulu kalau ada kematian, pak kaum segera ke Balaidesa dan menabuh kentongan sebanyak sembilan kali, sebutannya kentong songo, kalau sekarang disamping kentongan juga diumumkan melalui pengeras suara dibeberapa musola yang sudah mendengar berita duka. Bedanya kalau ketong songo sekedar ada berita duka, kalau diumumkan dimusola langsung disebutkan siapa yang meningal.

    BalasHapus
  4. @ massito:
    pengalaman2 dari masa lalu kok sepertinya selalu membuat kita rindu, ya?
    jangan-jangan memang itulah jaman yang lebih sejuk dibanding saat ini (menurut anggapan generasi kita)

    BalasHapus
  5. @ massito:
    pengalaman2 dari masa lalu kok sepertinya selalu membuat kita rindu, ya?
    jangan-jangan memang itulah jaman yang lebih sejuk dibanding saat ini (menurut anggapan generasi kita)

    BalasHapus
  6. Alat tradisional terpinggirkan bahkan tergeser dengan majunya tehnologi, termasuk golek iwak, jaman dulu orang nangkap ikan cukup pakai 'Jenu'. Sekarang pakai potas, strum bahkan Bom. Kenthongan, lesung? Wis lali..

    BalasHapus
  7. Yang lebih tragis seperangkat gamelan di balai RW saya tempo dulu, warga yang suka alat musik ini sering diprofokasi dengan cara dilempari batu, sekarang tidak tau nasib gamelan tersebut,jangan-jangan dicolong Malingsia......

    BalasHapus