14 September 2009

Rejeki

Rejeki sering dikonotasikan secara pendek dengan penghasilan, atau uang. Padahal tidak selalu begitu. Lihatlah, seorang ibu muda yang menggendong bayi - anak dari temannya. Tiba-tiba bayi itu mengompol digendongannya, maka katanya: waah rejeki ini, bakal cepet ketularan punya momongan. Bahkan kadang seorang yang tiba-tiba terpijak kotoran ayam, sambil tertawa bilang: waah bakal dapat rejeki apa nih... padahal jelas-jelas kaki atau alas kakinya kotor dan bau.

Seorang guru saya pernah bilang setengah berfilosofi:
Rejeki dari Tuhan itu datangnya seperti hujan yang jatuh ke seluruh permukaan tanah. Setiap jengkal tanah akan mendapat curahan air yang sama banyak. Artinya, rejeki yang diberikan kepada setiap orang sebenarnya sama banyak.

Kalau kemudian masing-masing mendapatkan jumlah yang berbeda, masalahnya terletak kepada wadah yang disiapkan. Ada orang yang membangun kolam untuk menampungnya, orang yang lain hanya menyediakan ember untuk itu. Sedang orang yang lain lagi hanya menyiapkan cangkir. Jelas air yang akan tertampung di masing-masing wadah akan berbeda jumlahnya.
Sama-sama disiapkan ember pun, jumlah yang tertampung bisa berbeda, karena satu orang meletakkan ember terbuka ke atas secara datar, sedang pemilik lain ada yang menaruh embernya miring, dan yang lain lagi malahan menaruh embernya rebah, yang sampai kapanpun rejeki tak akan tertampung, paling-paling embernya hanya basah sebentar. Apa lagi kalau embernya ditengkurapkan.

Jadi bukannya sedikit atau banyak yang diberikan, tetapi seberapa besar kita telah menyiapkan wadahnya dan bagaimana wadah yang sudah disiapkan itu diletakkan secara benar.
Masuk akal juga kata guru saya tadi.

Yang berikutnya:
Berapapun besar kolam yang kita sediakan untuk menampung curahan rejeki, kalau dindingnya tidak dibuat secara benar, maka hujan yang tertampung pada akhirnya hanya akan terserap atau terbuang sia-sia tanpa pernah memberikan manfaat bagi pemilik kolam. Tetapi secangkir air, kalau kemudian direbus dan dimasukkan gula dan kopi, akan menjadi minuman yang lezat bagi pemilik cangkir atau tamu yang mendapatkan suguhan kopi tadi.
Menurut saya benar juga, lagi.

Jadi apakah wadah yang sudah saya siapkan? Jangan-jangan saya tidak pernah memikirkannya.

Ah, ada-ada saja guru saya yang satu ini.....

Apakah rejeki hanya semata-mata soal penghasilan? Jangan-jangan, membaca tulisan ini pun sebenarnya adalah rejeki? Mungkin tergantung bagaimana Anda mengaksepnya.
Permisi.

(kenang-kenangan dan sekaligus pelajaran dari pak Trianggono)

5 komentar:

  1. Aduh berat sekali, memahami istilah rejeki, yang gampang kalau kita dapat apa saja bentuknya, dan kita bisa menikmati dengan nyaman tanpa ada yang mengusik, ya anggap saja itu rejeki.

    BalasHapus
  2. Selamat menunaikan Ibadah Puasa, mari kita siapkan 'wadahnya' untuk menampung rejeki dari Sang Chalik. Semoga.....

    BalasHapus
  3. @mas pursito:
    simpel saja ya mas .......
    @mbah suro:
    monggo mbah, semoga ibadah puasanya diterima Allah swt

    BalasHapus
  4. Romo Kanjeng,
    Tetangga saya dulu di Solo tahun 1966 namanya Sri Rejeki. Semok setengah mati. Sayang ora isa tak wadahi. Putri Solo

    BalasHapus
  5. @ ki ageng:

    lho,
    lha kok panjenengan sing madahi, to
    opo ra kewalik?

    (mulane njur ono lagu sing judule: sri minggat)

    BalasHapus