Ini dongeng pada jaman ketika anak sekolah masih menggunakan batu-tulis (di Jawa disebut sebagai sabak). Alat tulis primitif ini berupa lempengan batu berwarna kehitaman setebal kurang lebih 5 mm, dengan ukuran panjang-lebar kira-kira 25x20cm. Tidak ada merek, tidak ada ukuran standar, apalagi SNI!! Alat untuk menulisinya juga berupa sebuah batang batu dengan diameter sekitar 4-5 mm dan panjang antara 10-15 cm. Anak batu-tulis ini (sering disebut grip) mudah sekali patah, jadi harus dijaga benar-benar jangan sampai terjatuh.
Di sekolah anak-anak mengerjakan tugas menulis, berhitung atau menggambar di atas batu-tulis masing-masing. Setiap ganti pelajaran, maka tulisan di atas batu-tulis tadi cukup dihapus dengan tangan lalu ditulisi kembali untuk pelajaran berikut. Tentu saja setelah bapak atau ibu guru memeriksa lalu membubuhkan nilai masing-masing dengan kapur tulis.
Karena rawan terhapus, maka ketika itu tidak ada yang namanya PR atau pekerjaan rumah.
Ada sebuah lagu anak-anak berbahasa Jawa, berjudul 'Aja ngewak-ewakake' yang bila diterjemahkan secara bebas adalah 'Jangan bikin sebel', begini syairnya:
Aja ngewak-ewakake
Petentang-petenteng, bijine diumukake
Bocah kok le ambeg-hm, sajak ngece-ece
Bocah kok le ambeg-hm, nggregetake
terjemahan bebasnya : jangan kau bikin sebel, pertentang-pertenteng nilaimu kau pamer-pamerkan, memang kau anak yang sombong, sepertinya kau meledek teman lain, dasar sombong, bikin orang geregetan saja....
Lagu tadi menceritakan seorang anak yang sepanjang perjalanan pulang dari sekolah memamerkan nilai berhitungnya yang mendapatkan angka sepuluh, dengan cara menempelkan angka 10 di atas batu-tulisnya ke pipi kanan atau kiri sehingga membekas terbalik, tetapi masih sangat jelas bahwa itu adalah angka sepuluh! Gaya ini sangat umum dilakukan anak-anak ketika itu.
Moral cerita yang terkandung dalam lagu itu adalah agar anak-anak jangan menyombongkan diri ketika merasa berprestasi, karena kesombongan akan mendatangkan masalah. Boleh senang, boleh bangga, tetapi kesenangan atau kebanggaan itu tidak perlu dipamer-pamerkan, karena akan mendatangkan rasa tidak senang pada orang lain, yang jangan-jangan kemudian dapat mendatangkan masalah.
Biasanya sejenak sebelum jam sekolah usai, bapak atau ibu guru merefresh pesan-pesan moral kepada anak-anak melalui berbagai lagu, di antaranya 'Aja ngewak-ewakake' tadi. Lagu dengan nada riang dan sangat sederhana itu sekarang barangkali telah terlupakan, bahkan oleh kaum tua yang dulu ketika masih kecil (masih lucu) sering menyanyikannya.
Saya berpikir bagaimana seandainya lagu ini dinyanyikan di Istana Negara ketika aubade pada upacara 17-an kemarin. Barangkali bisa meredam nafsu siapapun untuk ngewak-ewakake saudaranya yang lain, sehingga siapapun yang melakukan tindakan cari masalah dapat disadarkan melalui lagu ini secara arif.
Jaman lagi susah, sodara, enggak usah cari masalah, tapi kalau ada yang memang lupa tanpa sengaja, ingatkan dengan lagu itu saja.
Salam damai. MERDEKA!
.
salam pakde,
BalasHapusYang cari masalah itu merasa ga ada masalah jadinya nggretake mau bikin masalah, ga nyadar dia kalau sedang dalam masalah :D
Btw, theme blognya bagus Pakde, jadi bikin pengen naik gunung lagi.
oooooo..... ga nyadar ya?
BalasHapuspinter kok ga nyadar ya? **heran-heran**
tks ney, ke gunung kidul aja!
Kawontenan makaten menika kula lampahi seket tahun kapengker, uger angsal biji 8 minggah lajeng dipun tempelaken pipi kaliyan pethenthang pethentheng sajak "nggaya". Mas Paromo kados pundi caranipun ngengetaken Malaysia ingkang sampun "menculik" petugas Indonesia ?
BalasHapus