16 Juli 2013

Padang Kurusetra


Pertempuran berlangsung dalam senyap dan gerakan lambat. Tak terdengar denting dan desing besi beradu atau suara geram dan raungan.
Besi roda kereta yang beradu dengan bebatuan dan benturan senjata bola besi bertali rantai dengan perisai tak ada bunyinya. Senyap.
Hanya bunyi lirih,sayup, jauh,  
degup jantung seperti ombak di pantai landai 
dan tarikan nafas seperti desau angin di pesisir yang berbukit. 
Senyap.
Medan laga diselimuti warna kabut, abu-abu.
Bendera perang tak terlihat berwarna-warni lagi. Teropong kepala yang bersalut emas seperti warna debu batu. Tak ada lagi aroma kemegahan warna-warna. Sirna.
Padang Kurusetra sedang menuju akhir pergelarannya. Permukaannya bukan lagi tanah berumput dan berbatu, tetapi kubangan darah, serpihan daging dan potongan besi. 
Dan para panglima bersiaga untuk saat-saat akhir ketika pertempuran sudah semakin dekat pada ujungnya, para panglima yang berdandan seelok-eloknya laksana pengantin hendak ke pelaminan, bersiaga menjemput takdirnya di medan laga.
Padang Kurusetra seperti bola debu yang sedang meluncur turun menuju ke dinding gunung batu. Semakin lama berguling semakin kencang, menyapu segalanya yang berada diperjalanan.
Padang Kurusetra seperti kumpulan sejuta badai bergerak lamban dengan mata badai seperti ujung belalai, menghisap apapun yang dilintasinya.
Padang Kurusetra yang sedang bertiwikrama dengan segala isinya,
tiba-tiba mengambang di atas awan tanpa cahaya, mengapung menjadi hanya sejumput kabut yang berkehendak menjadi titik air.

......

Hujan rintik datang bersama pelangi.

Perang sudah usai.
Warna-warni sudah kembali.
Bunyi sudah kembali lagi.

Damai.



12 Juli 2013

Becak Tandem untuk Mertua


“Saya beli becak ini biar mertua saya bisa kerja antar-jemput anak sekolah. Jadi dia tidak perlu lagi keluar malam untuk jualan mainan”.

Usia bapak mertuanya sudah lebih dari enampuluh tahun. Ibu mertuanya yang usianya lebih muda punya gangguan paru-paru. Laki bini itu sudah bertahun-tahun tinggal di rumah petak sewa, sejak anak mereka baru dua. Sekarang, anaknya yang ke lima -yang terkecil- sudah menjelang kawin. Sudah lama sekali mereka tinggal di tempat itu, dan sekarang sebagian dari anaknya yang sudah kawin juga tinggal di tempat yang hampir sama, berdekatan.

Malam itu, usai waktu tarawih, beberapa anak kecil riuh mencoba becak tandem. Becak empat roda dengan empat pedal kayuhan. Becak seharga empat juta kurang seperempat, yang dibawa pulang dari penjualnya dengan didorong sepeda motor sepanjang jalan ramai, sejauh lebih dari dua puluh kilometer. Didorong dan dikemudikan ganti-berganti oleh mertua-menantu, karena dengan cara itu akan lebih hemat daripada menyewa angkutan dengan ongkos seratus limapuluh ribu rupiah.

Mertuanya dulu juga menarik becak, dan ketika anaknya satu demi satu bekerja dan kawin tidak lagi menarik becak, tetapi berjualan mainan anak-anak, juga wayang karton yang dibuat sendiri.
Barang itu dijajakan di tempat-tempat rekreasi, di keramaian ketika ada pertunjukan, di bazaar-bazaar kampung dan sejenisnya. Laki-bini berangkat dan pulang bersama. dengan gerobak kayu seadanya yang ditarik motor. Bininya dibonceng dibelakangnya, dengan jaket tebal dan selendang melilit di lehernya.
Terkadang mereka berangkat sore dan pulang agak malam, Pakai jaket, terkadang jas hujan.

“ Kasihan mertua saya, pak, sudah tua, apalagi ibu mertua saya kurang sehat. Biar kerja antar-jemput anak-anak yang sekolahnya dekat-dekat sini saja”.

Di langit, awan tipis mengambang, bergerak pelan. Ini tarawih puasa yang ke tiga. 

05 Juli 2013

Blekok yang Bersyukur

Burung blekok menceritakan kepada burung hantu, betapa dia amat bersyukur atas nikmat yang diterima.

Anak-anaknya hidup sebagai blekok yang sukses, punya sarang sendiri-sendiri di lingkungan yang lebih bagus dan nyaman ketimbang habitat bapak dan emak blekok. Punya posisi cukup terpandang di kehidupan masing-masing, sehingga ada jaminan masa depan yang lebih baik di kelak kemudian.
Salah satu anak blekok, bahkan menjadi incaran head-hunter untuk didudukkan pada posisi strategis beberapa perusahaan multiblekok yang mempunyai jaringan seluas udara, darat, laut (dan kepolisian). Blekok muda yang lain mendapat jalan yang lapang untuk meniti jenjang akademiknya, dari S-3 yang pertama (SD-SMP-SMA) ke S-3 yang ke dua (doktor-sarjana sungguh sempurna).

Burung hantu  mendengarkan dengan mata menerawang jauh. Cerita berikutnya tentang blekok-blekok muda hanya masuk ke sebelah telinganya, sementara pikirannya teringat kepada (burung) hantu-hantu muda yuniornya. Para yunior yang mengusik hatinya, karena dia cemas masa depan mereka yang tidak akan sesukses (burung) hantu tua.
Sementara sebelah telinga mendengar cerita blekok muda yang ketika sakit mendapat fasilitas kamar VVIB (very very  important  birds) yang dibayar oleh Blekok Incorporated, sebelah pikirannya teringat bahwa ketika anaknya sakit, biaya berobat dan ngamarnya ditomboki oleh besan hantu.
Dan bla-bla-bla yang lainnya. Dan cerita ‘syukur’ burung blekok itu sudah didengarnya untuk yang kesekian kalinya sementara mereka bertemu di sore hari.

Burung hantu berpikir, andaikata sahabat blekok ini punya perusahaan koran atau TV, mungkin topik sebagian tulisan atau tayangannya  adalah tentang blekok muda. Burung hantu berpikir, adakah sahabat blekok ini lupa bahwa serial tayang-ulang cerita tentang blekok-blekok muda bisa jadi akan mengiris hati burung-burung yang lain ketika mereka mendengarkannya?

Dalam suatu kesempatan bertemu dengan sahabat senasibnya yang lain yakni  burung kucica, ternyata kucica juga punya teman perkutut yang juga termasuk golongan ‘perkutut yang bersyukur’. Kucica sendiri punya sakit sesak nafas, yang sangat gampang kambuh kalau pikirannya terganggu karena berpikir tentang kucica-kucica muda.  
Saking kerasnya berpikir tentang yunior blekok dan membandingkan dengan yunior hantu, gula darahnya meningkat……