18 November 2010

Di setiap butirnya

"Mari mampir, to!" setengah memaksa dimintanya kami mampir ke rumah beliau. "Monggo kalau mau lihat telur asin buatan saya"
Di bagian samping belakang rumah ada beberapa panci besar dengan gundukan berwarna hitam.
"Satu panci isinya kurang-lebih duaratus-tigaratus telur".
Lalu diceritakannya cara membuat telur asin yang bahannya telur bebek (itik) itu secara rinci. Juga di mana beliau beli telur mentahnya; " Yaaa sambil jalan-jalan dan silaturahmi ke desa sana sesekali. Biar ndak bosen di rumah terus"
Beliau sudah cukup lama pensiun. Tinggal berdua di rumah yang sebagian kamarnya disewakan sebagai kamar kost bagi para mahasiswa. Putra-putrinya sudah 'mentas', bekerja, menikah dan tinggal di tempat lain. Hari-hari panjang dilalui ke dua bapak-ibu ini antara lain dengan membuat telur asin sebagai sambilan.
Dicertakan behwa pengetahuan membuat telur asin ini ditiru dari almarhumah ibunya dulu sekali.
"Panjenengan ini telaten sekali, ya bu, setiap butir dibungkus dengan abu; padahal jumlahnya ratusan butir...."
"Ya sambil wiridan, nanti kan ndak terasa nglangut....." katanya.

Malam hari di rumah, ketika saya mencicipi telur asin buatan beliau yang dibawakan ketika kami pamitan, saya berpikir:

Di setiap butirnya, telur ini berbalur doa permohonan berkah dan keselamatan, di setiap panci gundukan telur itu: bertimbun-timbun doa penyerahan-diri yang ikhlas, di samping belakang rumah itu: bergema puja dan puji untuk kebesaran Allah swt yang terpantul pada dinding-dindingnya dan di rumah itu saya merasakan ada kehangatan, kedamaian dan ketulusan serta kepasrahan...


Semoga Allah swt senantiasa memberkati Pak Wien dan Ibu. Amien.


.