16 September 2009

senja esok lusa

engkau datang dan sekian lama ada bersamaku
kutatap kau, apa gerangan yang ada padamu
isyarat demi isyarat kau sampaikan padaku dalam senyap dan penuh damai
tanpa kata-kata

senja esok lusa habis waktumu
lalu
adakah selama ini hadirmu berlalu sia-sia
dan nanti cuma tinggal cerita
bahwa aku pernah bersamamu di suatu ketika
dan aku tak berbuat apa-apa


ramadhan,
berjuta berebut kasih-sayangmu
berabad waktu berlalu dan senantiasa bakal tetap tiba
hari-hari ini kutatap kebesaran dan kelembutanmu


Tuhanku,
dibawanya kasih-sayangMu
berlimpah-ruah berkah dan ampunan bagi umat yang melihat keMahabesaranMu
ampuni aku
ketika Kau utus waktu ramadhan sebagai pembawa tanda kebesaranMu

ramadhan
ketika dia tiba kembali nanti
ijinkan aku masih di sini, Tuhanku
ijinkan aku menjadi hambaMu
sampai ramadhan dan ramadhan dan ramadhan
dan
ramadhan
sampai aku tak hanya menatap ramadhanMu, amin.


surabaya 2003-2004

.

14 September 2009

Rejeki

Rejeki sering dikonotasikan secara pendek dengan penghasilan, atau uang. Padahal tidak selalu begitu. Lihatlah, seorang ibu muda yang menggendong bayi - anak dari temannya. Tiba-tiba bayi itu mengompol digendongannya, maka katanya: waah rejeki ini, bakal cepet ketularan punya momongan. Bahkan kadang seorang yang tiba-tiba terpijak kotoran ayam, sambil tertawa bilang: waah bakal dapat rejeki apa nih... padahal jelas-jelas kaki atau alas kakinya kotor dan bau.

Seorang guru saya pernah bilang setengah berfilosofi:
Rejeki dari Tuhan itu datangnya seperti hujan yang jatuh ke seluruh permukaan tanah. Setiap jengkal tanah akan mendapat curahan air yang sama banyak. Artinya, rejeki yang diberikan kepada setiap orang sebenarnya sama banyak.

Kalau kemudian masing-masing mendapatkan jumlah yang berbeda, masalahnya terletak kepada wadah yang disiapkan. Ada orang yang membangun kolam untuk menampungnya, orang yang lain hanya menyediakan ember untuk itu. Sedang orang yang lain lagi hanya menyiapkan cangkir. Jelas air yang akan tertampung di masing-masing wadah akan berbeda jumlahnya.
Sama-sama disiapkan ember pun, jumlah yang tertampung bisa berbeda, karena satu orang meletakkan ember terbuka ke atas secara datar, sedang pemilik lain ada yang menaruh embernya miring, dan yang lain lagi malahan menaruh embernya rebah, yang sampai kapanpun rejeki tak akan tertampung, paling-paling embernya hanya basah sebentar. Apa lagi kalau embernya ditengkurapkan.

Jadi bukannya sedikit atau banyak yang diberikan, tetapi seberapa besar kita telah menyiapkan wadahnya dan bagaimana wadah yang sudah disiapkan itu diletakkan secara benar.
Masuk akal juga kata guru saya tadi.

Yang berikutnya:
Berapapun besar kolam yang kita sediakan untuk menampung curahan rejeki, kalau dindingnya tidak dibuat secara benar, maka hujan yang tertampung pada akhirnya hanya akan terserap atau terbuang sia-sia tanpa pernah memberikan manfaat bagi pemilik kolam. Tetapi secangkir air, kalau kemudian direbus dan dimasukkan gula dan kopi, akan menjadi minuman yang lezat bagi pemilik cangkir atau tamu yang mendapatkan suguhan kopi tadi.
Menurut saya benar juga, lagi.

Jadi apakah wadah yang sudah saya siapkan? Jangan-jangan saya tidak pernah memikirkannya.

Ah, ada-ada saja guru saya yang satu ini.....

Apakah rejeki hanya semata-mata soal penghasilan? Jangan-jangan, membaca tulisan ini pun sebenarnya adalah rejeki? Mungkin tergantung bagaimana Anda mengaksepnya.
Permisi.

(kenang-kenangan dan sekaligus pelajaran dari pak Trianggono)