30 Oktober 2008

Nasi Bau

( sebuah evaluasi tujuhbelasan)

Tujuhbelasan sudah lewat,

Kampung ini penduduknya multi-strata: strata pendidikan, pergaulan dan penghasilan, yang dapat dibayangkan dari profesi masing-masing. Ada beberapa profesor, pengusaha menengah, pengusaha kecil, karyawan, tukang bakso, tukang beca, pengrajin mainan anak, guru, dan lain-lain.
Semula, ini adalah kawasan pertanian di pinggiran kota, sehingga penghidupan asli warganya adalah petani, lengkap dengan kambing dan kerbau serta bebeknya. Namun sejak awal delapanpuluhan, hampir seluruh sawah berubah menjadi rumah-rumah KPR-BTN, yang rata-rata penghuni awalnya berusia antara duapuluh lima sampai empatpuluh tahun.

Sekarang,

Keramaian tujuhbelasan sudah selesai, panitia di RT Tiga melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi dilakukan. Salah-satu hasil evaluasi: nasi kuning yang dihidangkan untuk konsumsi pada malam syukuran ternyata sebagian bau.
Nasi kuning tersebut dipesan dari sebuah depot, sebanyak 250 kotak, dan dikirim oleh depot yang bersangkutan pada pukul 3 sore, dibagikan untuk makan bersama kurang lebih pukul 8 malam, pada saat acara syukuran tanggal 16 Agustus yang lalu. Sebagian warga (yang hadir bersama seluruh keluarganya) membawa pulang nasi tersebut ke rumah seusai acara yang berakhir kurang-lebih pukul setengah 10. Ketika dibuka: bau.
Komplain per telepon disampaikan ke depot yang bersangkutan pada pagi harinya oleh seorang ibu. Depotnya minta maaf.

Mengapa nasinya bau?
Hal itu mungkin terjadi karena proses memasak, mengemas, mengirim atau menyimpan sebelum dibagikan, atau bisa karena kesemua proses tadi.
Proses memasak nasi untuk 250 kotak tentu berbeda dengan proses untuk sebakul saja. Belum lagi kalau depot tersebut juga menerima pesanan serupa dari tempat lain, yang tentu jumlahnya menjadi lebih banyak lagi sehingga prosesnya lebih berat lagi.
Mengapa tidak dimasak sendiri?
Wah, untuk menyiapkan 250 kotak nasi, para ibu anggota PKK merasa berat. Mengaca pada pengalaman-pengalaman sebelumnya, kerepotan menyediakan konsumsi untuk event seperti ini ternyata menguras tenaga dan emosi. Tenaganya masih bisa dibagi-bagi ke banyak orang, tetapi ternyata mengakomodasi dan memanajemeni keinginan dan kebiasaan dari banyak orang untuk tujuan membuat hidangan itu memerlukan adanya seorang pengelola dan pemimpin yang memiliki kemampuan, disamping ‘pemimpin’ tersebut harus benar-benar diakui sebagai pemimpin oleh orang banyak.
Bayangkan (sukanya kok membayang-bayangkan sih!)
Sementara orang ada yang terbiasa menggunakan MSG, sementara yang lain ada yang ‘mengharamkan’nya. Ini sebuah potensi masalah.
Lagi: Sebagian ibu menganut “aliran” lauk tahu-tempe-daging-ikan dalam irisan besar yang sebagian menganut “mashab” irisan kecil. Masalah lagi.
Ada yang berangkat ke tempat memasak sesudah mandi, dengan badan, kaki dan tangan yang bersih, berhadapan dengan ibu yang datang ke tempat memasak tanpa memperhatikan kebersihan diri.
Orang yang lagi batuk ingin ikut membantu, yang lain tidak suka dibantu oleh orang batuk. Masalah baru.
Sampai dengan soal menata makanan ke dalam kotak dan mempersiapkan di tempat tertentu bisa jadi sumber masalah yang membuat tegang semua yang terlibat. Apalagi batas waktu persiapannya semakin lama semakin pendek. Friksi-friksi kecil yang berakumulasi menjadi besar berpotensi membuat emosi jadi meningkat naik.
Terkadang ada saja yang suka tengil. Melakukan sesuatu yang dianggapnya remeh padahal cukup mengganggu, misalnya (eh) menyisihkan sedikit lauk dibawa pulang untuk anak dan suami karena hari itu terpaksa tidak memasak, yang akhirnya berakibat adanya nasi kotak tanpa telur dan perkedel. Atau, ada yang mengingkari komitmen untuk membuat lemper pada hari yang ditentukan, karena pergi kondangan ke luar kota, sedangkan pemberitahuannya sangat mepet dengan D-day. Cappppek dehh....
Mungkin memang diperlukan pemimpin dan manajemen yang canggih. Tetapi secanggih-canggihnya pemimpin maupun sistemnya, kalau sumber daya yang terlibat kualitasnya tidak mendukung, juga apalah artinya.
Memang untuk menghindari kerepotan yang menguras energi dan emosi seperti itu, jalan keluar yang cukup pragmatis adalah memesan nasi kuning dalam kotak ke usaha depot atau katering yang terpercaya. Kalau perlu disurvey dan dibuatkan perjanjian dulu(!). Tapi kemungkinan tetap akan ada yang bau.
Mengurus konsumsi untuk orang se-RT saja begini ribetnya ya, apalagi mengurus Indonesia.

Ah,
merdeka
(huruf kecil dan tanpa tanda seru, karena agak malu)

.

22 Oktober 2008

Gus Komar

(biarkan aku memanggilmu seperti itu)

Kau ajak aku berkelana di padang fata-morgana yang tiba-tiba menyentak menjadi padang surga
Semoga aku bisa ke sana pula meski cuma bersepeda

Aku selalu mencarimu di persinggahanmu berikutnya
Itupun kalau aku bisa menemukanmu
Dan berharap bertemu dengan Gus-gus lainnya
Mencicipi air surga penyejuk jiwa penghantar pulang kepadaNya

Jakarta-Surabaya November 2007

13 Oktober 2008

Bekerja Siang dan Malam



Ungkapan ini biasanya digunakan untuk menunjukkan sebuah usaha yang dilakukan sangat keras dalam mencukupi belanja keluarga.
Tetapi ternyata, pada beberapa tiang telepon dan tempat sampah  di gang saya diiklankan sebuah servis 24 jam oleh beberapa pebisnis yang terkadang sering dilupa-lupakan keberadaannya.



Bisnis sedot WC. Bukan main.
Dan bukan cuma satu atau dua perusahaan. Banyak. Anda tinggal kring, mereka akan datang.
Beberapa kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari mungkin untuk sementara bisa diatasi dengan menunda atau mengalihkan ke sumber yang lain, misalnya air bersih mampet. Anda dapat menunda untuk mencuci pakaian atau untuk kebutuhan memasak Anda dapat menggantinya dengan membeli makanan masak atau malah Anda akan makan di luar. Begitu pula ketika listrik mati, Anda dapat posting blog dari warnet yang listriknya menyala.
Tetapi kalau WC Anda mampet? Anda (dan keluarga) tak bisa bergantian numpang ke WC tetangga. Jasa sedot WC-lah yang harus segera Anda hubungi.
Bisnis sedot WC rupanya juga kencang dengan persaingan, meskipun lekat dengan kesan kotor dan bau. Ini terbukti dengan banyaknya stiker iklan yang ditempel tumpang tindih di tiang-tiang listrik, tiang telepon dan tempat-tempat strategis lainnya.




Anda pernah berkendara di belakang mobil tangki tinja?
Mungkin ketika itu Anda akan berusaha melambatkan jarak agar tidak berada persis di belakangnya, atau Anda akan berusaha mendahuluinya, karena kesan kotor dan bau tadi.
Tapi ketika WC di rumah Anda terkena musibah, Anda justru memerlukan kehadiran para pakarnya: ahli sedot WC beserta peralatan penunjangnya untuk mengatasi musibah tersebut.



Posting ini jorok, ya?
Maaf.

09 Oktober 2008

Sekolah Saya, Guru-guru Saya

Guru Geometri saya di SMP bernama pak Sutikno. Tinggi, kurus, dan konon terkenal kejam nian dalam memberi nilai.
Soal-soal yang diberikan di kelas, sebagai PR maupun dalam ulangan, harus diselesaikan dalam format baku, yaitu:

Diketahui : Segitiga ABC; sudut B= 90derajat; AB = 3cm; AC=5cm
Hitung      : BC
Jawab       : .................. (hitung sendiri!)

Beliau sangat disiplin dalam mengharuskan para muridnya menggunakan format seperti ini. Bahkan penempatan tanda titik-dua (:) harus lurus dengan tanda di atasnya! Batas antarunsur harus ditulis dengan titik-koma. Di luar standar baku tersebut, meskipun jawaban akhirnya mutlak benar, nilai yang diberikan tetap akan dikurangi, bukan sepuluh tetapi sembilan.
Memberi nilai juga demikian tegasnya, tidak ada nilai dalam bentuk bilangan antara nol dan seratus, tetapi nol sampai sepuluh, tanpa tengah-tengahan. Jadi jangan berharap ada nilai empat setengah atau tujuh setengah. Empat atau tujuh. Tegas sekali.
Waktu berlalu, dan saya sebagai murid ketika itu belum mampu menangkap maksud beliau, mengajar dengan gaya yang demikian lurus dan kakunya. Ternyata yang dilakukan beliau adalah mengajarkan sebuah model : konsistensi dan format. Juga habit. Itulah yang diajarkannya disamping kompetensi beliau mengajar ilmu eksakta.
Murid, eh, siswa disamping diajarkan untuk menguasai ilmu eksakta juga dibiasakan untuk berperilaku tertib, mengikuti aturan, rapi, menghargai nilai dan banyak hal lain lagi.
Beliau (ketika itu) sedang memproduksi dan menduplikasikan sebuah model sikap: lugas.
Bukan main!
Saya pikir tadinya hanyalah beliau seorang diri, guru yang melakukan hal tersebut, tetapi setelah saya rewind memori saya, hampir seluruh guru saya ketika itu mempunyai pola yang sama, meskipun disampaikan dalam cara yang berbeda-beda.
Bahkan, demikian pula guru saya yang lain, pak Djiwanto dalam pelajaran budi pekerti. Pelajaran ini disampaikan dalam bentuk dongeng serial Siegfriedo dan Putri Joharmanik. Pelajaran yang paling menyenangkan ini, diberikan pada dua jam pelajaran terakhir di siang hari menjelang pulang. Setidaknya ada beberapa generasi kakak-kelas dan adik-kelas saya mendapatkan dongeng tersebut. Drama berlatar belakang perang, kekuasaan dan percintaan. Yang satu dengan setting Eropa dan satunya Timur Tengah.
Dalam menyampaikan cerita ini, pak Djiwanto memompa pikiran para murid dengan nilai-nilai patriotisme, heroisme, tanggung-jawab, kesetiaan dan banyak hal lain yang intinya adalah keteladanan.
Saya pikir, sekolah ini adalah sebuah percetakan, tetapi yang dicetak adalah format berperilaku. Sebuah format yang diharapkan dapat digunakan sebagai alat untuk menjawab tantangan zaman oleh para muridnya di kelak kemudian hari, ketika mereka sampai pada masanya untuk berhadapan sendiri dengan kehidupan masing-masing.


Saya merindukan sekolah ini, tempat saya pernah belajar menjawab PR dari pak Tikno tentang berapa panjang BC, juga tempat saya menyaksikan teman-teman saya dengan pandangan terpukau menyimak cerita dan membayangkan Siegfriedo ketika pak Djiwanto mendongeng.
Sekolah saya yang sungguh menyenangkan, dengan tanah-lapang berumput hijau dan pohon cemara yang berjajar dan juga kolam-kolam ikannya, sekolah saya yang terletak di sisi Kali Lamat, Muntilan.
...............................

Beberapa hari lalu, saya datangi sekolah itu. Tampak luarnya masih tetap seperti sekian puluh tahun yang lalu. Dan ketika saya masuk ke dalam kompleksnya, amboi, umur ini rasanya mundur sekian puluh tahun. Melihat selasar dan tiang-tiang penyangganya, tanah lapang, sudut tangga, jendela-jendela, jalan aspalnya ....

08 Oktober 2008

Mlebetipun Medal Pundi?

Pak Agus Yani, seorang senior sepuh saya dahulu, yang masih mengalami sekolah Londo, bahasa Inggris dan Belandanya bagus sekali.
Tapi bahasa Indonesianya ternyata ada yang bolong. Suatu ketika, beliau sambil senyam-senyum berdiri dari kursinya dan bertanya kepada saya dan teman-teman:
“Dik,  dik; bahasa Indonesianya ‘lemah jeglong’ itu apa ya?”

Melihat ekspresi beliau dan mendengar pertanyaan ‘aneh’ tersebut, semua tertawa. Saya mencoba untuk meng-Indonesiakannya:

“Tanah jeglong adalah sebidang tanah yang permukaannya turun lebih rendah dari bidang di sekelilingnya”
“Lho kalau panjang begitu, saya juga tahu. Maksudku yang ringkas saja, dik, dua atau tiga kata saja”

Sampai sekarang, ketika beliau sudah pensiun lama sekali, terjemahan itu tak pernah bisa saya selesaikan.

Lain lagi senior saya yang satunya, Pak Karyoso, seorang yang “sangat Jawa”. Yang ini memang banyolannya suka bikin kaku perut pendengarnya.

“Hayo, siapa bisa meng-Indonesiakan : Mlebetipun medal pundi?”
Dijawab oleh seorang teman:
“Masuknya lewat mana”
“Salah, to, kalau itu kan : Mlebetipung langkung pundi. Bukan seperti pertanyaan saya tadi: Mlebetipun medal pundi”
“ Masuknya ... keluar .. mana”
“He he he....., bingung kan? Kok jadi lucu!”

Bahasa memang unik. Penterjemahan secara kata-per-kata terkadang menjadikan aneh, apalagi kalau dilakukan secara plesetan. Demikian pula dengan kata-kata kiasan.

Mas Slamet, teman kakak saya, suatu kali secara guyonan bertanya:
“Dik, ada kata kiasan yang terkenal di jaman perjuangan, bunyinya : Wahai Pemuda, kalian semua adalah tiang negara. Begitu kan?”
“Terus?”
“Lha kalau Pemuda adalah tiang negara, lantas Pemudi bagaimana?”
“??? Mbuh, yo!”
Ketawa ngakak dia melanjutkan: “Pemudi adalah tiyang estri”

Semprul!!!


Kepada seluruh teman baik, pembaca blog ini,
usai Puasa Ramadhan ini perkenankan saya mohon maaf setulus-tulusnya atas segala kekhilafan dan kekurang-nyamanan yang diakibatkan oleh kejahilan saya ...
(yang barangkali akan berkelanjutan,
tapi mudah-mudahan, kedepan saya bisa lebih berhati-hati)