31 Mei 2008

Kok Sepi?

Saya menerima beberapa kali SMS dengan kalimat seperti itu dari beberapa teman berbeda, seperti juga sering saya lakukan. Kebiasaan ber-SMS ria dengan topik-topik pendek dan ringan yang kadang-kadang berbuntut menjadi sebuah obrolan berseri telah mendatangkan keakraban dan kedekatan hati, sehingga ketika terputus untuk waktu yang panjang akan mendatangkan rasa rindu. Apa yang sedang terjadi dengan teman tersebut, sibukkah? sakit? atau hp beserta nomor yang ada di dalamnya sedang dalam masalah gara2 kecebur di kuah soto?
SMS adalah media yang cukup menarik untuk dipilih, karena kita dapat membaca kembali ungkapan-ungkapan yang lucu atau mengesankan, sesuatu yang tidak dapat dipenuhi melalui hubungan telepon (suara), kecuali pembicaraan tersebut direkam untuk dapat diputar kembali.
Silaturahmi di zaman sekarang ternyata tidak kalah gayeng (mengasyikkan) dengan dulu ketika dilakukan dengan tatap-muka atau bersuratan, karena sekarang tersedia fasilitas komunikasi yang cukup canggih.
Pada tahun 1970-an saya bertemu dengan teman akrab saya. Teman yang sudah seperti saudara ini sangat intens bersuratan dengan saya, karena tempat tinggal yang berbeda. Saya cukup terkejut ketika dia menawarkan kepada saya untuk mengajarkan sebuah cara komunikasi yang heboh. Katanya:
Kamu mau, bisa omong-omong lewat kemampuan batin dengan aku? Supaya kita dapat saling berbicara secara mistik(maksudnya supranatural), jadi kita tidak perlu lagi berhubungan dengan surat.
Teman saya ini memang ‘ngudi ngelmu jaya kawijayan’ atau gampangnya ilmu kesaktian, dan tampaknya dia menguasai ‘aji pameling’, sebuah kemampuan untuk menyampaikan pesan verbal kepada orang lain melalui media supranatural. Aji Pameling, semula saya kenal lewat cerita wayang dalam pementasan wayang wong atau wayang kulit yang disiarkan melalui radio. Biasanya seorang begawan, resi atau tokoh sakti ‘memanggil dan mendatangkan’ seseorang lainnya dengan mateg aji pameling ini, yang dilakukan dengan mengheningkan cipta dan melafalkan mantra tertentu, lalu beberapa saat kemudian tokoh yang diharapkan akan tiba atau merespon secara jarak jauh melalui aji yang sama. Di dunia nyata pada waktu itu (seperti juga sekarang), aji pameling dan beberapa kemampuan supranatural lainnya ada yang diiklankan melalui koran dan majalah untuk diajarkan dengan membayar sejumlah uang atau mengirimkan perangko ke alamat seorang guru atau lembaga tertentu.
Ketika saya ceritakan kepada ayah saya mengenai tawaran belajar dari teman itu, komentar beliau pendek saja: “Lebih banyak tidak manfaatnya daripada manfaatnya. Jadi tawarannya tidak usah diterima saja”. Dengan pertimbangan dari beliau seperti itu maka tawaran teman akrab saya itu tidak saya terima, tetapi komunikasi di antara kami tetap berlangsung melalui surat yang ternyata lebih mengasyikkan. Sampai pada suatu ketika surat-menyurat jadi terputus karena kami kehilangan alamat masing-masing akibat perpindahan tempat tinggal yang tidak terkabarkan.
Jadi seandainya saya dapat memperoleh nomor hpnya atau dia mempunyai nomor hp saya, mungkin kami akan berkirim sms : Kok sepi ?
Seperti juga kalau teman-teman tak kunjung posting tulisan baru di blognya masing-masing.

30 Mei 2008

Ngepel lantai

“ Kegiatannya sekarang apa Pak ?”
“ Ngepel lantai”
“ Ah, Bapak ini becanda! Masa ngepel lantai....”
“ Lhooo, nggak percaya kaaaan? Ayoo ke rumah, kalau pengen tahu buktinyaa...”
“ Nah, pembantunya?”
“ Pulang. Semua.”
“ Tiga-tiganya ?”
“ Lha iyak, dan tidak kembali lagik! Aku ini sekarang tinggal berdua sama Ibu (maksudnya: isterinya). Untung saja Ibu sekarang ndak ikut, di rumah; makanya aku mesti cepet-cepet pulang”
Kok terdengar seperti sebuah keluhan yang dilucu-lucukan.
Tak terbayangkan andaikata yang disampaikan itu benar. Ibarat jendral, beliau ini sebelumnya menjadi pemimpin dari sebuah Perusahaan dengan duapuluh ribuan karyawan. Sekarang pensiun : ngepel lantai sendiri.
Yang jelas mesti bukan karena munculnya hobi atau kesenangan baru pasca pensiun, karena saya tidak pernah mendengar ada hobi ngepel lantai. Tentu ada musabab yang beralasan, mengapa ketiga pembantunya pulang untuk tidak kembali lagi.
Nah?!
Logical unit di pikiranku bekerja untuk mencari kemungkinan terdekat yang bisa menjelaskan kenapa ketiganya pulang.
Jaman beliau dulu masih berada dipucuk kedudukannya, paling tidak ada tiga orang yang bila dipanggil (bahkan kadang cukup dengan bunyi bel) pasti akan datang untuk siap mendapat perintah tanpa membantah. Yaitu sekretaris, pelayan dan drivernya. Di samping itu, belasan manajer yang akan meninggalkan apapun aktivitasnya bila beliau memanggil, di manapun mereka (para manajer itu) berada, dan kapan saja (duapuluh empat jam sehari dalam setahun). Sebuah wewenang yang teramat hebat. Disposisinya di sepotong kertas memo, sangat besar artinya bagi keberlangsungan aktivitas seluruh organisasi. Begitu terbiasanya beliau berpikir tentang hal yang besar, berdampak luas dan memberikan pengaruh yang dalam.
Lalu tiba-tiba semua harus selesai karena pensiun. Power harus diserahkan kepada yang sekarang berhak menggantikannya.
Saya percaya bahwa kematangan berpikir beliau sebagai “orang besar” tentu sudah lebih sempurna dibanding orang kebanyakan, apalagi kalau dikaitkan dengan usia beliau yang relatif lebih ‘sepuh’. Tetapi, manusia tetaplah manusia dengan segala keterbatasannya terutama dalam mengolah hati dan pikiran, sehingga perubahan keadaan sehari-hari yang demikian drastis mau tidak mau juga berpengaruh dalam cara menyesuaikan diri untuk menghadapinya. Demikian pula dengan mengelola perasaan tentang power yang sebelumnya dimiliki.
Mungkin, para pembantunya mendapat kejutan-mental, karena begitu ‘Bapak’ yang biasanya jarang di rumah atau jarang sempat memperhatikan hal-hal kecil di rumah, tiba-tiba ini seharian ada di rumah bukan sekedar karena libur, tetapi untuk seterusnya, atau sampai waktu yang tidak ditentukan (artinya, sampai beliau mendapatkan aktivitas lain yang kontinyu di luar rumah).
Maka dimulai dengan order-order tidak biasa, komentar-komentar yang tidak biasa terdengar, diteruskan dengan sentilan-sentilan yang semakin lama semakin mengganggu pendengaran dan perasaan, sampai dengan ‘kemarahan-kemarahan’ yang sebenarnya tidak perlu kepada para pembantu tersebut, yang akhirnya membuat mereka menjadi merasa tidak lagi nyaman bekerja. Dan karena mereka bekerja juga tanpa dilindungi oleh Surat Keputusan layaknya pegawai, maka pertimbangan untuk berhenti bekerja bukanlah hal yang sulit dibandingkan dengan kemungkinan-kemungkinan apabila tetap melanjutkan bekerja ‘ndherek’ atau ‘ikut’ Bapak dan Ibu. Kesetiaan dan rasa pengabdian yang selama ini telah terpupuk dan terpelihara menjadi goncang, sementara untuk pindah atau berganti majikan atau kembali ke tempat (desa) asal relatif tidak terlalu mengkawatirkan masa depan mereka.
Untuk berganti majikan, mereka telah mengantongi pengalaman sebagai PRT pada keluarga seorang eksekutif, sehingga calon majikan pasti akan lebih memilih mereka daripada calon pembantu yang belum berpengalaman. Untuk kembali ke tempat asal, bekal dan tabungan mereka relatif sudah lebih baik daripada kolega-kolega lain yang tidak sekelas mereka. Maka resign menjadi putusan terakhir yang lebih baik. Begitu perhitungan mereka kira-kira.
Syahdan,
Ketika serumah tinggal berdua, apalagi yang harus dilakukan sementara pembantu baru belum datang? Makan? Bisa di luar atau pesan-antar (call delivery). Tapi lama-lama bosan juga kan? Cuci-setrika? Masih gampang, ada jasa laundry. Menyapu, mengepel, membersihkan halaman, menata tempat tidur, merawat burung ikan ? Kalaupun bisa memanggil orang, maka tidak semudah itu menerima orang baru yang tidak dikenal, lalu tiba-tiba berseliweran di dalam rumah dan ruangan serta kamar-kamar. Berarti, selain cuci-setrika dan makan? Ya kerjakan sendiri lah. Termasuk mengepel lantai.

Demikian logika saya menjelaskan sebab-musabab kenapa beliau akhirnya mengepel sendiri lantai rumahnya. Mudah-mudahan yang seperti ini cuma sehari-dua hari saja, sehingga cukup menjadi ‘kenangan manis’ bagi beliau, sebagai bahan gurauan semata di kala hati sedang bergembira. Dan mudah-mudahan logika saya cuma isapan jempol semata yang terproses karena kejahilan pemikiran saya sendiri.

29 Mei 2008

Waktu Dulu Saya Masih ...

Di selasar belakang kantor, saya bertemu dengan seorang senior yang sudah pensiun beberapa tahun yang lalu. Wajah dan perawakannya tak jauh berubah, senyumnya juga. Saling bersapa dan menanyakan kabar masing-masing, lalu : “ bagaimana dik, tahun ini labanya berapa ?” – “ cukup bagus, pak, kecuali kalau nanti cuaca berubah menjadi tidak seperti yang diperkirakan”
Perusahaan di tempat kami bersama bekerja bergerak di bidang agrobisnis (atau agribisnis?), yang sangat dipengaruhi oleh cuaca, terutama pada saat awal pertumbuhan tanaman dan saat panen.
Beliau melanjutkan : “saya dengar sekarang ditanam jenis varitas xxx ya ?” – “ begitulah yang saya tahu dari teman-teman bidang produksi, dan ditanam pada lahan yang masih terbatas”, “ lho! varitas itu sebenarnya kurang cocok lho, untuk ... dan seterusnya.
Lalu : “ waktu saya dulu masih memimpin bidang produksi dik, varitas ...” dan seterusnya, berlanjut : “ siapa sekarang yang jadi boss-nya “, saya jawab “ yunior bapak dulu, ....”, - “mestinya dia kan tahu, kalau ...” dan seterusnya.
Senior saya ini, untuk ilmu teknisnya saya beri nilai delapan bulat. Pengetahuan teknisnya jempolan, alur pikirnya jernih, sehingga sebagai seorang yunior di lintas-bidang, saya merasa bahwa beliau adalah guru yang sangat baik bagi saya dan saya mendapatkan pengantar tentang ilmu budidaya tanaman secara cukup sehingga berani untuk ‘bicara’ dan berdiskusi dengan teman-teman yang kompeten di bidang ini.
Mungkin pengaruh dari kedudukannya sebagai ‘kepala’ ketika masih bekerja, sehingga pada saat kami bertemu tersebut banyak disampaikan komentar (sebenarnya: kritik) terhadap kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pengganti-penggantinya yang notabene sebagian besar adalah para bekas yuniornya, yang notabene pula pernah di bawah perintahnya ( bahasa feodalnya: dibinanya).
Saya beranggapan ini adalah salah satu wujud post-power syndromme, mengkritik kebijakan penggantinya karena dianggap bertentangan dengan pola pikirnya atau dianggap tidak melanjutkan dasar-dasar kebijakan yang pernah dirintis dan digunakannya ketika masih menjabat. Saya mencoba untuk melunakkan kritiknya : “jamannya sudah berganti, pak. Kondisi eksternal dan internal sudah tidak sama lagi. Paling tidak, pemerintahnya juga sudah berganti, sehingga kebijakan pemegang sahamnya juga berbeda” “Tapi mestinya ..... “ beliau masih tidak bisa menerima rayuan saya, dan dengan semangat 45 masih ngotot melanjutkan “ apa bedanya, tanaman jaman saya dengan sekarang? cara menanamnya, siklus musimnya?... samaaa dikk! Saya jadi kawatir kalau adik-adik saya ini tidak .....” dan seterusnya.
Wah. Ternyata kebiasaan menjadi bos yang di tangannya melekat power cenderung membuat orang lupa bahwa ketika power itu sudah tanggal dari tangannya maka bahkan berkomentarpun tidak akan membuat situasi akan berada pada kendalinya lagi.
Itu menjadi catatan saya, sehingga ketika senior tersebut akhirnya berpamitan pulang setelah saya puas-puaskan beliau menyampaikan isi perut dan kepalanya (sadis amat, ah, bahasanya), dan sebagai yunior yang baik saya doakan semoga beliau tetap sehat dan kami dapat bertemu lagi (untuk saya dengarkan lagi hal yang sama darinya).
Kembali ke ruang kerja saya, dengan bergurau saya bicara sambil berdiri di tengah teman-teman kerja yang saya sayangi : “Wahai sekalian teman-teman, kalau tiba saatnya saya nanti pensiun ( mereka senyum-seyum dan ketawa), tolong ingatkan saya, kalau sampai saya nanti ketemu Anda sekalian dan lalu saya bicara begini : jaman saya dulu, dik...”. Pecahlah tawa di siang hari itu dalam ruangan kami. Karena,
beberapa kali kami ketamuan senior pensiunan yang biasanya saya persilakan duduk di depan meja saya, saya ambilkan minum sendiri (segelas plastik air mineral) lalu sebagai adat sopan santun dan penghargaan, teman-teman lain pada mendekat untuk say hi!
Nah, ketika tamu senior tersebut sudah mulai bicara : “waktu saya duluuu... “ maka satu-persatu teman-teman pergi diam-diam atau pamit dengan alasan melanjutkan kerjanya. Tinggallah saya yang musti bersabar hati mendengarkan uraian repetitif tersebut.
Maka ketika siang itu saya berbicara ingatkan saya, tawa pecah berderai.
Mudah-mudahan ketika saatnya tiba, teman-teman nanti tetap tega untuk mengingatkan saya, dan saya akan berusaha mati-matian mengingatnya untuk tidak bicara seperti itu, meskipun barangkali akan lebih banyak lupanya daripada ingatnya.
(Posting ini saya pikir mestinya judulnya Post-power Syndromme, dan saya tiba-tiba ingat bahwa ada hubungan antara post-power syndromme dengan PRT alias pembantu. Nanti diceritakan lagi)

28 Mei 2008

Sampai Setengah Tiga

Para pensiunan sedang bercengkerama di teras samping rumah yang teduh di siang pukul 10 itu. Lima-enam orang yang rambutnya putih dan kelabu duduk menghadapi cangkir minuman dan tahu-tempe goreng di atas piring.
“ Kita harus bisa menikmati masa pensiun ini dengan sebaik-baiknya. Jangan banyak berpikir tentang sesuatu yang sudah tidak mungkin kita lakukan, apalagi berangan-angan dan berpikir untuk mencapai sesuatu yang sifatnya materi. Salah-salah jadi makan hati dan malah berakibat stress atau sakit. Nikmati saja.”
“ Bisa saling bertemu seperti ini saja, senangnya luar-biasa. Ngobrol, ketawa-ketawa, cerita tentang masa lalu, pengalaman-pengalaman....”
“ Soal anak-anak, mereka sekarang sudah dewasa. Coba kita ingat kembali. Ketika kita masih seusia mereka, pernahkah kita berpikir bahwa orang-tua kita berpikir tentang kita ? Toh nyatanya kita bisa menjalani hidup kita sampai dengan saat ini ...”
“ Kita bisa mengisi hari-hari ini ...”
“Dengan apa, ya ? Bisnis ? Kita kurang pengalaman, dan itu perlu modal serta risiko yang belum tentu kita siap menghadapinya. Kerja ? Ah, bagaimanapun tenaga kita sudah tidak sepenuh dulu, dan pikiran kita sudah tidak cocok untuk menyelesaikan dan menangani hal-hal yang terjadi sekarang. Salah-salah keberadaan kita di tempat kerja justru akan mengganggu yang lainnya..”
...... Bagaimana dengan kerja sosial semacam membacakan buku-buku di lembaga-lembaga tunanetra, misalnya? Atau membantu pak Lurah mengatur filing data penduduk yang ada di kantor kelurahan kita masing-masing? Dan kalau itu kita lakukan bersama-sama, bukankah menjadi lebih menyenangkan lagi acara dan bermanfaat ?....
Pembicaraan ngalor-ngidul berlangsung dengan seru tapi asyik, meskipun terkadang melenceng-lenceng ke sana-sini. Saya, dari sebelah mengikuti pembicaraan itu diam-diam sambil sesekali mengamati ekspresi mereka masing-masing.
Pukul setengah tiga siang pertemuan santai itu bubar, para pensiunan kembali ke rumah masing-masing.

27 Mei 2008

Pak RT dan BLT

Pak RT saya cukup dibikin pusing oleh dampak kenaikan harga BBM. Bagaimana tidak?
Ketika oleh kantor kelurahan disampaikan daftar penerima BLT berikut kuponnya untuk dibagikan kepada warga, maka beberapa warga yang merasa berhak mendapatkan, berdatangan ke rumah pak RT untuk meminta jatah kuponnya, tetapi mereka tidak ada dalam daftar penerima kupon yang bertanda-tangan Menteri Keuangan itu.
Protes, pertanyaan, dan keluhan dilontarkan, padahal sebenarnya urusan jawab-menjawab dan jelas-menjelaskan seharusnya menjadi kewajiban Pak Lurah dan jajaran karyawannya selaku kepanjangan tangan Pemerintah. Penjelasan yang diberikan oleh Pak RT-pun akhirnya mengambil referensi dari penjelasan Pemerintah seperti yang disampaikan dalam media massa, yakni :
- data yang digunakan oleh Pemerintah berdasar data tahun 2005,
bukan data mutakhir dari pengurus RT
- RT baru saja diminta membuat data mutakhir berdasarkan permintaan dari kelurahan,
dan data tersebut sudah diserahkan melalui RW
- di koran dan TV diberitakan bahwa akan diserahkan BLT susulan
bagi warga yang berhak tetapi belum memperolehnya
Meskipun pak RT saya adalah orang yang cukup sabar, akhirnya merasa sebal juga harus mengulang-ulang penjelasan dan berdebat dengan beberapa warga yang ngotot memprotes kebijakan BLT tersebut. Sebal, karena seharusnya bukan tugas beliau untuk berdebat dengan warga. Terlebih lagi karena turunnya kupon ke RT tidak disertai penjelasan tertulis yang dapat digunakan sebagai referensi resmi.
Terasa benar bahwa sistem administrasi BLT yang digunakan untuk dalam memback-up dampak kenaikan harga BBM mendatangkan kesulitan lain bagi para pengurus RT terutama ketuanya. Berbagai pertanyaan lain timbul, yakni : mengapa yang digunakan adalah data BLT tahun 2005 ? apakah tidak pernah terpikir oleh Pemerintah tentang kemungkinan akan terjadinya kenaikan lagi sehingga pengalaman BLT tahun 2005 tidak pernah diikuti dan di-update datanya untuk berjaga-jaga menghadapi hal serupa ?
Ketua RT yang bukan pegawai Pemerintah harus mewakili Pemerintah untuk memberikan penjelasan yang nota-bene tidak secara resmi disertakan dalam sebuah edaran atau surat atau apapun dari fihak Lurah, Camat atau Walikota ketika menyampaikan kupon-kupon BLT kepada yang berhak. Masyarakat yang sedang dilanda resah karena melihat dampak kenaikan BBM terhadap kenaikan harga barang dan jasa, mempunyai tafsir dan pendapat yang bermacam-macam sesuai dengan kepentingan dan kemampuan berfikirnya masing-masing. Yang paling terasa, masyarakat menganggap seolah-olah harus ada ‘seseorang’ untuk dimintai pertanggung-jawaban atas hal yang sedang berlangsung. Tanggung-jawab atas naiknya BBM, dan tanggung-jawab untuk memberi BLT. Dan pak RT-lah orang terdepan yang harus mendengarkan tuntutan atas hal tersebut, karena beliaulah yang telinga dan mulutnya berada paling dekat dengan masyarakat.
Ketika saya berada di rumah pak RT saya melihat dan mendengarkan sendiri apa yang disampaikan oleh seorang warga serta penjelasan-penjelasan pak RT kepada warga tersebut, terasa benar oleh saya betapa menderitanya ribuan pak RT di seluruh Indonesia karena kenaikan BBM untuk kedua kalinya ini setelah tahun 2005. Sedangkan menurut saya, sesuai dengan namanya tugas beliau adalah membuat rukun antartetangga di lingkungan pemukimannya. Beliau adalah orang yang dipercaya untuk memimpin lingkungan Rukun Tetangga, bukannya untuk meladeni orang yang berkeluh kesah karena dampak kebijakan Pemerintah. Masih bagus bahwa di tempat saya tidak ada warga yang beramai-ramai melakukan tindakan anarki atas rumah pak RT (yang tidak ber’dosa’) seperti yang pernah diberitakan dalam kejadian pada tahun 2005 di suatu tempat dulu.
Simpati saya untuk para ketua RT yang tetap tegar menjalankan tugasnya dengan benar di seluruh Indonesia. Mungkin keberadaan Anda sekalian tidak pernah diperhitungkan, namun tanpa Anda, negeri ini mungkin lebih tidak terurus dengan baik.
Hormat saya untuk Anda sekalian.

23 Mei 2008

Lukisan Kasih Sayang

Sebuah pigura berukuran 40x40 cm tergantung di dinding belakang tempat duduk Direktur Produksi. Di tengahnya terpasang sebuah lukisan coret-moret di atas kertas putih seukuran post-card, yang kentara sekali pelukisnya seorang anak balita.
Setiap orang yang duduk di depan Pak Direktur pasti akan melihatnya.

“ Lukisan bikinan cucunya, pak ?” tanya saya.
Senyum mengembang penuh kebahagiaan terpancar pada wajah beliau “ Benar, Mas. Cucu saya yang pertama, usianya tiga tahun lebih sedikit.”
“ Pengobat rindu ya Pak?”
“ Begitulah. Juga pelepas lelah dan ketegangan pikiran”. Saya melihat senyum seorang kakek yang demikian bahagia.
“ Bapak punya gambar seperti itu buatan putra Bapak waktu kecil ?” tanya saya mengusiknya, karena saya hampir yakin bahwa beliau tak punya atau tak menyimpannya.
Beliau tertawa lebar menjawab pertanyaan saya tadi : “ Nah itu masalahnya. Waktu masih jadi bapak muda dulu, tak pernah terpikir untuk hal seperti ini, Mas” tertawanya terdengar seperti mentertawakan dirinya sendiri. “ Saya terlalu bodoh sehingga tidak melakukan hal itu karena pikiran saya sudah habis saya gunakan untuk memikirkan pekerjaan dan diri-sendiri”.
“ Cucu ada berapa, pak ?”
“ Ya, baru satu ini.”
“ Ooooo, rasa sayangnya ditumplek habis, ya Pak?”
Tertawanya berlanjut.

Dalam pikiran saya, apakah setelah cucu bertambah menjadi dua, tiga, lima atau tujuh nanti beliau akan mengkoleksi lukisan-lukisan serupa? Saya tidak yakin.
Dan saya membayangkan diri saya sendiri pada saat nanti saya seusia beliau.

22 Mei 2008

Ketika Kasih Sayang Berkabut

Setiap orang-tua mempunyai harapan agar anak-anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik dari dirinya. Apabila ada di antara anak-anaknya yang kehidupannya di bawah standar atau di luar harapannya, maka dia terharu-biru pikirannya.
Sementara si anak tersebut, yang tumbuh dengan pikiran dan cita-cita, kemampuan yang dikuasai, kesempatan yang diperoleh dan kehidupan yang dijalaninya, terkadang merasa bahwa dirinya tidak mengalami masalah dan kesulitan apapun. Sehingga tak pernah terpikir untuk meminta penilaian dari orang-tuanya, apalagi bantuan.
Karena si anak yang tenang-tenang saja, orang-tuanya akan menjadi semakin resah membayangkan bagaimana anaknya menjalani hidupnya pada saat ini dan kemudian nanti.
Biasanya keprihatinan-keprihatinan seperti itu akan menjadi bahan diskusi dan perdebatan dengan isteri atau suaminya atau disampaikan kepada anaknya yang lain yang tingkat kehidupannya dinilai lebih baik atau mencocoki hatinya. Seolah-olah sebagai ungkapan rasa getun (kecewa pada diri sendiri) atau dimaksudkan agar anak yang lain tersebut juga sedia untuk berbagi peduli terhadap saudaranya, sehingga hasil akhir yang dibayangkan ingin dilihatnya adalah kesetaraan tingkat kehidupan di antara anak-anaknya. Sebuah keinginan yang teramat manusiawi pada setiap orang-tua, dan memang begitulah seharusnya.

Bagaimana sikap anak lainnya yang dicurhati ?
Pengalaman hidup dan kedewasaan berpikir seorang anak terkadang berbeda atau bahkan melampaui kemampuan orang-tuanya. Demikian pula ukuran-ukuran tentang kemakmuran, kebahagiaan, kesejahteraan dan lain-lainnya sering berbeda antara orang tua dengan anaknya yang sudah dewasa atau sama-sama ‘tua’. Curhat atau diskusi yang terjadi antara anak-beranak dalam keadaan demikian ini biasanya tidak mudah untuk sampai kepada kesimpulan yang melegakan si orang tua.
Orang tua biasanya hanya membutuhkan pembenaran atas pendapat yang dikemukakannya serta kesediaan untuk menerima tugas yang dilimpahkannya. Tetapi terkadang pendapat tersebut benar-benar tidak dapat diterima dan difahami oleh si anak, apalagi untuk menerima penugasan yang dilimpahkan. Sesuatu yang sangat membebani pikiran si anak.
“ Ayah, biarkan kak Anu menjalani hidupnya dengan caranya, toh yang dijalaninya tidak ada yang melanggar norma apapun. Kami semua, para saudaranya tetap akan siap membantunya manakala suatu saat terjadi kesulitan pada keluarga kak Anu.”
“ Tapi maksud ayah, seharusnya dia itu merubah cara mengatur hidupnya, seperti yang telah ayah-ibu contohkan sejak kalian masih kecil dulu..”
........
Demikianlah. Kasih-sayang antar-anggota keluarga dan saudara adalah sesuatu yang indah untuk dijalani dan dirasakan, tetapi terkadang pikiran mengganggunya dengan kehendak sendiri yang belum tentu diterima oleh yang lain, sehingga keindahan kasih sayang tersebut tertutup kabut. Terasa adanya kasih sayang, tetapi untuk melihatnya terganggu oleh kehendak yang datang dari pikiran sendiri.

Saya sedang mengamati hal tersebut untuk belajar memahami, bagaimana seharusnya menyikapi sehingga dapat melihatnya tanpa berkabut.

18 Mei 2008

Satuu... duaaaaa... tigak!!!

Di desa, di kampung, di kota, di gubuk-gubuk kumuh, di geria-geria tawang dan di mana-mana, setiap anak kecil yang sudah mulai faham dan mampu merespon bahasa tentu pernah dikenalkan kepada aba-aba sederhana seperti itu.
Aba-aba yang diserukan ketika seorang anak kecil belajar melompat, menangkap bola atau menyambut tepukan tangan. Sebuah pengajaran yang kelak sangat berguna sebagai alat untuk bertahan hidup.
Dimulai pada awalnya dengan nilai. Membaca : enam, menyanyi : delapan, berhitung: tujuh, dan seterusnya. Kalau ingin mendapatkan pengakuan maka si anak harus berusaha untuk mendapatkan nilai setidak-tidaknya tujuh atau tujuh puluh. Di luar itu, maka dia akan menjadi seorang anak yang tidak masuk hitungan dalam kelompok sosialnya.
Guna memotivasi agar nilai menjadi bergengsi, tak jarang dijanjikan hadiah, mulai dari tas atau sepatu baru sampai tamasya ke sorga permainan, di pasar-pasar malam, tempat rekreasi, naik sepur (!) ke kota lain, ke game-zone di mal-mal, ke tempat yang bagaikan surga bagi mereka. Tetapi kalau nilai jeblog, juga sederet sanksi terkadang disertakan berupa larangan menonton televisi, larangan bermain sepulang sekolah, sampai dengan dihapuskannya subsidi uang jajan.
Untuk mendongkrak gengsi, terkadang pula si anak diharuskan mengikuti pelajaran-pelajaran tambahan di luar sekolah, mulai dari les matematika, piano sampai dengan kaligrafi dan menyanyi. Tentu akan dipilihkan lembaga-lembaga terpilih, agar keinginan tercapai.
Benar, bahwa bermula dari hitungan dalam bermain yang sangat sederhana berupa kata-kata : satuuuu... duuuuuaaaa... tigak !!!, perjuangan untuk meraih kehidupan yang layak telah dimulai, dan sejak itu pula seolah-olah aba-aba seperti itu menjadi ciri bahwa sesuatu sedang dimulai.
Sebaliknya, ketika aba-aba dibalik : tigaaaa, duaaa, satu! Maka sebuah event harus diselesaikan. Ujian selesai, waktu untuk mengerjakan soal ujian telah habis, pensil harus diletakkan, kertas jawaban dijauhkan dari jangkauan, waktu telah habis.
Kemampuan berhitung menjadi salah satu pilar utama yang harus dikuasai agar seseorang mampu menjalani hidupnya dengan baik. Memobilisasikan harta, menggalang dan meningkatkan jumlah dukungan, mengalokasikan sumber-sumber daya, memberikan imbalan yang proporsional, mengatur ritma waktu kehidupan, dan hampir semua segi dalam kehidupan yang harus ditata sesuai dengan kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai.

Salah seorang kerabat yang bergiat sebagai anggota tim kampanye diberitakan jatuh sakit ketika proses kampanye pilkada sedang berlangsung. Kelelahan fisik dan mental telah berakumulasi dan menekan kesehatannya begitu rupa sehingga dia harus dirawat di RS untuk beberapa waktu. Tampaknya perjuangan untuk menang dalam pemilihan demikian hebatnya, sehingga seorang anggota tim jatuh dan tumbang kelelahan karena perhitungan energi dan kalori yang mungkin lolos dari kalkulasi. Padahal, rentang waktu masa kampanye serta rentang permasalahannya bisa dibanding hanya seupil apabila dibanding dengan waktu dan masalah yang harus ditempuh serta dihadapi setelah seseorang menjadi kepala daerah..
Saya tidak habis mengerti, apakah para Bapak dan Ibu yang sekarang sedang sangat bersemangat untuk terpilih itu telah benar-benar berhitung tentang segala-sesuatunya setelah nanti terpilih menjadi kepala daerah?
Apakah studi dan kalkulasi ipoleksosbudhankamnas-nya menunjukkan posisi kuadran kesejahteraan yang lebih baik untuk rakyat di daerah yang akan dipimpinnya peningkatan pada akhir masa jabatan apabila dibanding dengan keadaan sebelum para beliau menjabat sebagai kepala daerah?
Mungkin saya yang kurang mengerti, mungkin pula saya yang kurang mendapatkan informasi cukup tentang adanya penilaian akhir jabatan seorang kepala daerah kecuali bahwa yang bersangkutan: tidak mencalonkan lagi, mencalonkan diri kembali tetapi tidak terpilih lagi atau terpilih lagi. Semua tanpa parameter-parameter yang mudah dicerna dan dihitung dengan bilangan satu.. dua.. tiga dan seterusnya.
Tolok-ukur keberhasilan dan kegagalan sebenarnya amat mudah dilihat secara nyata, dan mungkin bahkan tidak memerlukan ukuran-ukuran yang rumit, misalnya apakah rakyat yang berada di RT 1000 RW 100 kelurahan Sejuta Pohon kecamatan Setengah Hati kabupaten Seratus Persen yang dahulunya tingkat konsumsi hariannya tiga ratus perak sehari atau senilai 60 gram beras sekarang sudah meningkat ? Apakah mengurus KTP sekarang tidak perlu biaya, cukup ditunggu sepuluh menit sambil menonton TV dan disuguh minuman dingin ? Apakah jalanan kota dan kampung-kampung terasa cukup aman bagi siapapun yang melintas tanpa cemas terjadi kecelakaan ?
Dan yang paling penting, apakah semua merasakan adanya kecenderungan ke arah perbaikan yang berjalan secara ajeg dari waktu-ke waktu selama masa jabatan ? Bukan hanya menjelang masa kampanye berikutnya ?
Kalaupun oleh beberapa lembaga ‘independen’ digelar even pemberian award keberhasilan daerah yang bermacam ragamnya, rasanya saya dan para kaum awam masih juga akan bingung karena parameter penilaiannya sulit saya mengerti, sementara yang lebih nyata adalah bahwa perubahan ke arah perbaikan masih juga tidak menyentuh akar rumput. Sehingga terkadang hanya menambah deretan pertanyaan baru: untuk siapakah sebenarnya award tersebut.
Menjadi kepala daerah pada awalnya pasti akan dimulai sebagai kepala sebuah lembaga pemerintahan, Sebuah kantor dengan ratusan atau ribuan manusia yang harus digerakkan dalam sebuah sistem yang sudah ada sejak beliau berada di luarnya. Sistem inilah yang nantinya akan bekerja membuat perubahan, dengan kepala daerahnya sebagai motor utama dan sekaligus sebagai pengendali tunggalnya.
Apakah kerja sistem ini sudah cukup difahami, sehingga pada saatnya dapat digerakkan dan dikendalikan tanpa kesulitan ?
Seorang kepala daerah, menurut saya adalah orang yang harus dipilih karena memiliki kemampuan memimpin perangkatnya, pendukungnya, dan masyarakat yang dipimpinnya serta mampu merespon dengan baik kritik serta saran konstruktif yang semua diarahkan untuk bermuara kepada peningkatan kesejahteraan seluruh anggota masyarakatnya.

Sudahlah, saya malah menjadi pusing karena membayangkan ketidakmampuan saya sendiri.
Untung saya merasa tidak mampu, karena kalau saya merasa mampu jangan-jangan malah tergoda untuk mencalonkan diri jadi bacakada alias bakal calon kepala daerah.

Bahasa dan Budaya Jawa : Ungkapan tentang Keberanian

Kaduk wani kurang duga :
keberanian yang berlebihan cenderung mengandung kekurangwaspadaan
Wani angas:
Keberanian semu, yang ketika benar-benar diuji maka ketakutanlah yang datang.
Wani silit wedi rai:
Hanya berani ketika menghadap pantat, tetapi takut ketika berhadapan muka, maksudnya : keberanian yang diungkapkan ketika belum datang tantangan, sedangkan ketika harus berhadapan menjadi hilang nyali.
Jago kate, wanine ana kandhange:
Petarung lokal, yang hanya berani bertanding di tempat sendiri
Sedumuk bathuk, senyari bumi, ditoh-i pati:
Meski hanya disentuh muka, atau digeser batas kekuasaan selebar jari, akan dipertahankan dengan nyawa, maksudnya : kehormatan dan harga diri adalah sesuatu yang sangat bernilai.

Mudah-mudahan dapat memberi inspirasi.

12 Mei 2008

Sepur Menthog

Dia bernama sepur, julukannya sejak kecil. Nama yang sebenarnya adalah Kereta Api.
Pada saat ini keluarganya sangat menderita sekali. Tampaknya kehidupan mereka sangat jauh di banding dengan sesama saudaranya yang trah BUMN itu, meskipun di antara beberapa saudaranya juga berada pada kondisi yang memprihatinkan.
Kurang lebih empat bulan yang lalu, saya terkejut ketika melihat salah satu rangkaian KRL yang ‘asing’ di stasiun Gambir. Aneh bentuknya dan aneh tampangnya. Pada mulanya saya kira ini adalah sepur tamu, yang mungkin lewat Gambir dari tempat asalnya entah Taiwan, Hongkong atau Korea. Tetapi setelah saya ingat bahwa antara tempat-tempat itu tidak ada jembatan langsung atau terowongan ke Gambir, sadarlah saya bahwa mungkin sepur itu sekarang memang sudah diadopsi sebagai anggota keluarga sepur kita sendiri.
Sayang, karena keterpukauan saya, saya tidak sempat memotretnya agar dapat divisualisasikan di sini.
Bodinya bercat silver metalik tapi agak kusem. Lampu-lampu di dalamnya lebih terang dibanding saudara sulungnya yang lain. Kelebihan lainnya, sepertinya ruangnya terasa lebih longgar dan bersih. Pada batang pipa melintang di sepanjang gerbong tergantung banyak ( ! apa namanya ?) tempat pegangan yang disainnya ergonomik.
Yang paling menarik perhatian saya, pada sisi-sisi luar gerbong terdapat boks-boks berlampu yang mungkin penunjuk jurusan kereta tersebut. Saya benar-benar buta terhadap huruf yang tertera di gerbong tersebut, soalnya ditulis dengan tulisan Kanji. Mungkin bunyinya Seoul-Panmunjom, begitu kira-kira.
Lumayan lah. Tambahan alat transportasi untuk memfasilitasi para saudara yang memerlukannya berangkat dan pulang antara rumah dan tempat kerja di Jakarta ini.
Lumayan juga untuk tidak menambah kendaraan pribadi yang semakin menyesaki jalanan dengan jumlah dan polusinya. Dan lumayan pula untuk tidak menambah beban pak Polisi dalam mengatur, menjaga dan menertibkan lalu-lintas. Lumayannya banyak sekali. Apalagi kalau dirupiahkan penghematan yang dapat dilakukan sebagai hasil dari datangnya sepur ‘asing’ ini.
Saya berimajinasi bahwa di antara para penumpang pengguna KRL tersebut terdapat pula beberapa pegawai kantor Kementerian BUMN dan Departemen Keuangan yang berada di arah timur stasiun Gambir ini. Juga Departemen Perhubungan. Para pegawai kantor yang lembaganya pasti sangat berhubungan dengan mengurusi PT KAI, si pengelola sepur kita. Para pegawai yang (mungkin sekali) para bosnya tidak pernah melihat sepur ‘asing’ ini (kasihan ah, dibilang asing padahal sudah jadi anggota keluarga sendiri), karena ketidak-sempatan, ketidak-mungkinan atau ketidak-adanya dan ketidak-sampainya informasi bahwa kini sudah beroperasi sepur baru yang berasal dari ‘sana’. Sepur baru yang bekas, sepur bekas yang baru, atau bekas sepur baru, terserah menyebutnya.
Bekas.
Di sini saya menjadi trenyuh kepada PT KAI. Sedemikian miskinkah kita untuk bisa membeli serangkaian gerbong baru ? Atau, apakah sudah demikian rudinkah kita, sehingga bahkan untuk mengecat bodi sepur bekas tersebut kita tidak mampu? Tidak cukupkah uang untuk mengupah orang guna melepas beberapa boks penunjuk jurusan bertulisan Kanji dengan jurusan ngoyoworo tersebut?
Kalau benar demikian miskinnya, wah, benar-benar daftar malu saya harus bertambah lagi, sehingga saya akan semakin berkurang punya kebanggaan mengaku sebagai bangsa Indonesia di tanah air sendiri, apalagi kalau sepur yang wujudnya seperti itu di stasiun Gambir sampai diambil gambarnya dan tertayang di media luar-negri sana.
Atau saya harus berdandan a la Pemimpin Besar Revolusi, lantas berpidato di atas podium Istora Senayan begini:

Wahai sodhara-sodhara sebhangsa dhan setanah air,
terutama yang beradha di Jakarta ibukota tercinta,
terutama sodhara-sodhara yang berkantor sekilo jaraknya dari stasiun Gambir,
saya mengajak sodhara untuk sejhenak mengheningkan cipta bagi sepur kita yang sedhang sangat mendherita ini :
....................................
Mengheningkan cipta : Selesai.
Kita ini bhukan bhangsa tempe, saudhara-saudhara , tetapi sudah menjadhi bhangsa menthog,
Untuk itu marilah sekharang bhersama sama khita menyanyikan laghu kebhangsaan menthog kita bhersama-sama dhengan penuh semangat :


Menthog, menthog, tak kandhani,
Mung lakumu kang ngisin-isini
Ambok aja ngétok, ana kandhang waé
Pénak-pénak ngorok, ra sah tandang gawé
Ménthog, ménthog mung lakumu, mégal-mégol gawé guyu ......
......
Terima kasih, sodhara-sodhara

Turun podium, pingsan!

Mudah-mudahan sepur tersebut sekarang sudah disulap dan disolek menjadi tidak terlalu memalukan. Mudah-mudahan, karena saya tidak tahu keadaannya sekarang, karena tidak pernah ke Jakarta lagi akhir-akhir ini.

11 Mei 2008

Dityo Kolokemaki

Namaku Dityo Kolokemaki, nama alias baru yang belum semenit lalu digelarkan oleh dhalangku untukku.
Sebenarnya aku punya nama dan gelar lain, tergantung pada siapa aku bekerja, aku kan seorang profesional.
Di tempat kerjaku yang lain, aku bernama Gendirpenjalin, terkadang juga bernama Klanthangmimis, dan ketika pada saat-saat awal karier profesionalku, namaku Kolomarico. Tetapi, oleh sebagian kenalan, aku biasa dipanggil dengan julukan Cakil. Buto Cakil.
Jujur, aku paling tidak suka disebut sebagai buto, karena dari semua tanda-tanda fisikku tak satupun ada yang mirip dengan tanda fisik sebagai buto. Posturku biasa, tidak guedhe-mbadag seperti buto, kulitku juga sehalus wayang satria yang lain, bukan mbesisik kadhasen seperti kulit buto, atau garing kisut seperti kulit wayang yang ndak kopen, malah mungkin lebih halus kulitku, karena aku seminggu dua kali ke salon untuk luluran. Rambutku juga halus bak sutera, ndak kalah lembut dengan rambutnya mbak-mbak yang berprofesi sebagai manekin, rambutku tidak nggimbal dan penuh kutu seperti rambut buto alasan.
Pakaian dan aksesoriku ? Wayang biasa bajunya pasti kalah jauh dengan pakaianku, yang selalu dilondre licin lembut karena berbahan nomer satu dan bikinan rumah mode langganan para wayang selebriti.
Salah satu ciriku yang menyebabkan aku disebut buto mungkin cuma rahang bawahku, yang sejak dari sononya sudah dicetak maju lebih jauh ketimbang rahang atasku, sehingga sebagian besar gigi bawahku berada di luar atap bibir maupun hidung. Tapi biarkan saja. Aku pede, kok. Dan aku samasekali tak pernah punya maksud untuk merevisi konstruksi uwangku ini. Biar saja, aku syukuri, toh juga pemberian dari yang mbikin aku. Justru aku punya kekhawatiran kalau asetku yang satu ini dibentuk seperti pada umumnya, karierku bisa hancur. Karena dengan bentuk rahang seperti inilah aku dikenal oleh publik. Unik, tiada duanya.
Tapi aku juga punya aset yang lain, yaitu karakter yang aku miliki. Aku ini wayang yang over PD. Berhadapan dengan siapapun aku tak gentar. Sikapku cenderung agresif, termasuk juga caraku berbicara. Inilah barangkali yang menyebabkan dhalangku yang paling baru memberiku julukan Kolokemaki. Kemaki, menurut dia adalah suatu sikap sok menang dan cenderung merendahkan orang lain. Aku setuju dengan stetmennya, karena menurutku komunikasi yang paling cocok bagiku adalah komunikasi yang transparan tanpa tedheng aling-aling:
Sampeyan ini siapa, punya mau apa, punya duit berapa, dan sebagainya sesuai dengan jenis kasus yang ditugaskan kepadaku untuk aku selesaikan. Dan aku adalah tipe profesionaL yang suka menyelesaikan tugas secara cepat dan bersih.
Aku sangat tidak suka kepada orang yang peragu. Suka berlama-lama mengukur segala sesuatu yang semestinya bisa dilakukan lebih cepat, misalnya mengukur maunya orang lain. Bagiku, gak perduli dia itu kesatria pejabat tinggi, kalau datang ya langsung saja ditanya : sampeyan ini siapa, ke sini mau apa, KTP atau ID cardnya mana, tanpa perlu gentar dengan gaya, lagak dan penampilannya atau menggentari para pengawal dan ajudannya. Kalau identitasnya tidak jelas, maksud kedatangannya tidak jelas, ya tolak saja. Nggak usah mbulet-mbulet. Kalo ngeyel, ya usir saja. Kalo nglawan ya kepruk saja. Beres.
Gayaku yang seperti ini sering menjadi bahan pergunjingan di lingkungan kerjaku. Ada yang terus-terang bilang bahwa aku kemaki (eh, betul 100% juga dhalangku ini). Sok pinter, sok berwenang, sok nyepelekan peran orang lain dan sok-sok-sok nggak enak yang lain. Di belakang punggungku ada pula yang bilang kalau aku ini ambisius, suka njatuhin kolega di depan pimpinan dan publik, suka cari muka, dan macem-macem lagi. Ah, acuhin, aja. Emang gue pikirin. Bagiku semua kesan di belakang punggung tentangku itu salah. Kerna mereka sirik saja. Kerna mereka tidak mampu tampil sepertiku, sehingga mengembangkan ketidaksukaannya padaku dengan mengarang hal-hal yang dimiring-miringkan.
Faktanya, keberadaanku tetap diperlukan oleh para bos yang membayarku dengan bayaran tinggi, meskipun kerja dan kemunculanku relatif cuma sebentar. Itu bukti bahwa aku memiliki kualitas nomer satu sebagai wayang yang dibutuhkan eksistensinya di dunia perwayangan. Nomer satu dalam segala hal. Bahkan andaikata bosku kemampuannya cetek, bisa-bisa malah kalah pamor dengan keberadaanku.
Jangankan itu, siapapun dhalang yang olah-sabet dan olah-vokalnya cuma pas-pasan, pasti akan dibilang dhalang bodo ketika tidak trampil memainkanku di depan kelir. Karena aku adalah salah satu tolok ukur kepiawaian seorang dhalang dalam memainkan wayang-wayangnya, meskipun aku cuma dimainkan pada adegan perang kembang saja. Sebagai wayang-wong pun, tarip atau honor bermain sebagai Cakil juga cukup menggiurkan, malah lebih banyak ketimbang sebagai Patih atau Dewo sekalipun. Adegan pada saat kemunculanku adalah adegan paling dinamis dan bersemangat, penampilanku, gendhing pengiringku, dialogku, semuanya.
Terbukti, kan. Jadi, apanya yang salah denganku ?
Kalaupun pada setiap saat aku harus berhadapan dengan kesatria seperti Arjuno atau Ongkowijoyo lalu kemudian aku roboh tertusuk keris senjataku sendiri, bagiku bukan soal, wong memang pakemnya begitu. Orang terkadang bilang habislah aku, matilah aku. Padahal sebenarnya tidak. Aku tetap ada dan dibutuhkan di dunia wayang dari setiap lakon ke lakon, dari setiap jaman ke jaman wayang apapun.

Tapi akhir-akhir ini, dhalang yang memberiku julukan Dityo Kolokemaki membisikiku:
Le, awakmu harus berhati-hati. Kamu harus mulai belajar agar kamu nanti benar-benar menjadi satriyo seperti yang kamu idamkan. Kalau kamu mampu merubah diri dari kebiasaan-kebiasaan ‘kasar’, merubah watak-wategmu menjadi lebih elegan, kamu ini bakal menjadi satriyo yang kualitasnya bahkan akan mengalahkan Raden Janoko, lho Le...
Apa kamu ndak kepengin ?


Hal itu disampaikan ketika kami sedang bersantai di Cafafafeserera Pararadisoso minum Capuccino berdua sambil ndengerin musiknya Balawan.
Katanya lagi:
Potensi luar-biasamu ini rasanya sayang kalau tidak dikembangkan dan diprogram dengan lebih baik lagi. Seharusnya kamu ini tidak cuma muncul sak-keplasan terus mati terus masuk kotak, tetapi lebih dari itu.
Rubahlah gayamu, tinjau lagi paradigmamu, niscaya kamu akan jadi tokoh yang ‘mateng’ dan bukan hanya jadi sekedar wayang yang numpang lewat.


Wah, jadi mikir nih.
Tapi sebenarnya secara sengaja aku sudah mulai melakukan sesuatu, berupa perubahan gaya rambutku lho. Sekarang tak model kriting papan.

Eh,lama juga ya, aku bicara dengan diri sendiri ini, hehehe, kebiasaan yang aku lakukan setiap aku nongkrong di kloset.
Udah, ah nongkrongnya, Cakil udah selesai, klosetnya gantian mau dipakai .....

10 Mei 2008

wajan penggorengan

inilah wajan penggorengan
di mana minyak dan air dijerangkan
makanan dimasak agar dapat dimakan dan menyehatkan
di atas api, di atas wajan bahan makanan dituang bersusulan
dijaga agar masak benar tak kurang atau kebablasan
hingga nikmat disantap hingga tak sia-sia terbuang
kerna setengah matang atau gosong menghitam seperti arang

inilah wajan penggorengan
bernama rumah tempat tinggal keluarga, dimana kasih-sayang ditumpahkan
disertai segunung doa untuk kelangsungan garis keturunan
penuh berlimpah martabat dan keselamatan
dengan harapan agar senantiasa saling menjaga kedamaian dan kerukunan
menjauhkan diri dari pertengkaran dengan saling bicara penuh kejujuran
bukan sekedar mendahulukan keinginan sendiri dan memaksakan kemauan

inilah wajan penggorengan
bernama sekolah bernama madrasah bernama tempat pendidikan
di mana ilmu dan adab diajarkan
di mana bermasyarakat diperkenalkan
di mana pengetahuan dan wawasan senantiasa diuji
kearifan dan sikap ilmiah setiap hari dikaji
bukan sekedar nilai yang sebenarnya hanya sebuah alat untuk mawas diri
apalagi hanya untuk sekedar pandai agar bisa dipamerkan kepada khalayak ramai
di mana ujian hanyalah sebuah tolok ukur pencapaian
sejauh mana ilmu pengetahuan mampu diserap dan diterapkan untuk memecahkan persoalan
di mana kegembiraan digelarkan, agar sikap positif selalu menjadi pegangan
di mana keyakinan akan kesetiaan pada nilai-nilai kebenaran dipercontohkan

inilah wajan penggorengan
bernama dewan perwakilan yang anggotanya disebut sebagai yang terhormat
di mana setiap saat digelar sidang untuk bermusyawarat dengan menjunjung tinggi setiap pendapat
dan menjalinnya menjadi keputusan-keputusan yang membawa manfaat
bagi seluruh rakyat yang telah memberikan amanat
dengan kepercayaan penuh untuk menjadi bangsa yang kuat
di tengah pergaulan bangsa-bangsa di seantero jagad
tempat musyawarat para anggota dewan yang terhormat yang takut kepada laknat
yang akan jatuh secara lambat atau cepat apabila amanat ternyata disunat
tak lagi ditunaikan dengan benar dan cermat

inilah wajan penggorengan
bernama kabinet yang dipimpin oleh kepala negara
yang bekerja keras menjaga agar kehidupan masyarakat terjaga dengan sempurna
cukup makan, tersedia rumah, terjamin keamanannya
seluruh rakyat hidup tenang dalam pekerjaannya
tak lagi ada rasa cemas akan masa depannya berikut anak-anaknya
menjaga agar bumi, laut dan udara beserta segala yang ada di dalamnya
yang telah dikaruniakan dengan berlimpahan di seluruh nusantara tercinta
diatur dan dikelola dengan baik agar memberikan sebesar-besar manfaat untuk rakyatnya
oleh kabinet yang bekerja secara solid dan kompak demi bangsa dan negara
bukannya wakil kelompok yang lebih berat untuk membela kelompok asalnya
kabinet yang cerdas dan peka dalam membaca keadaan dunia
agar bangsa selamat sampai kepada tujuan sebagaimana amanat dasar negara

inilah wajan penggorengan
yang berada di gedung-gedung agung bernama mahkamah pengadilan
di mana kesalahan dan kebenaran dalam bertata-masyarakat diuji
melalui gelar persidangan perkara dengan menghadapkan yang diadili, saksi maupun para ahli
yang saling beradu argumentasi pada masing-masing sisi yang diyakini
yang senantiasa menjunjung tinggi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa dan bukan demi yang lainnya

inilah wajan penggorengan
berupa pentas pertunjukan kesenian di kampung-kampung, galeri dan jalanan
di mana seni dan sastra digelarkan
di mana caci-maki dan sanjung dapat diwujudkan
menjadi sebuah hidangan yang menggugah kepekaan perasaan
untuk membuka katup-katup yang buntu di dalam kepala, di hati dan perasaan
lalu diwujudkan dalam karya yang indah, dramatik ataupun guyonan
membuka kesadaran akan pentingnya nilai-nilai kehidupan
yang perlu dijaga keseimbangannya agar tak meledak merugikan

inilah wajan penggorengan
bernama majelis, majelis kajian di mana berkumpul orang-orang alim
yang tak akan pernah bosan-bosan bicara menggemakan pesan-pesan illahi
untuk menyadarkan bahwa kehidupan setiap makhluk memiliki nilai
dan diingatkan bahwa selayaknya harus dihormati
bahwa tak ada kelahiran yang dimulai dengan cacimaki
demikian pula kematian yang pantas disoraki
semua selalu diantar dengan harapan dan puji
ketika datang dan ketika pergi secara suci

inilah wajan penggorengan
yang berada di tempat-tempat di mana hati dan jiwa dihadapkan
pada setiap saat siang, malam, pagi dan pada setiap kapan
pada setiap perbuatan dan ukuran diperbandingkan dalam keheningan
dalam setiap janji kesetiaan ketertundukan dinyatakan
setiap penyesalan dan pertaubatan diserukan dengan diam
dan kesadaran akan kefanaan digemakan dalam ingatan

inilah wajan penggorengan
yang bila rusak
binasalah kehidupan yang diserahkan untuk dijaga sebaik-baiknya

inilah wajan penggorengan
adakah telah terlupakan ?

09 Mei 2008

Di Bawah Bendera Revolusi

Surat Saudara Ir. Sukarno dari Sukamiskin
kepada Saudara Mr. Sartono

Sukamiskin, 14 Desember 1931
Yth. Saudara Mr. Sartono
Di Jakarta

Saudara,
Dari Saudara Thamrin yang kemarin pagi mengunjungi saya di dalam penjara Sukamiskin, saya mendapat berita, bahwa dari mana-mana tempat (jauh dan dekat) datanglah khabar, bahwa banyaklah sekali saudara-saudara kaum sefaham yang berniat menjemput saya beramai-ramai di muka penjara Sukamiskin nanti pada hari Kemis 31 Desember pagi-pagi.
Berita ini sangatlah mengharukan hati saya, dan memenuhinyalah dengan rasa cinta dan terima kasih pada sekalian saudara-saudara yang begitu setia itu.
Tetapi walaupun begitu, menurut fikiran saya, penjemputan itu kurang perlu. Zaman sekarang adalah zaman meleset, zaman kesempitan pencaharian rezeki, - uang yang akan dipakai untuk perongkosan itu, terutama bagi saudara-saudara yang dari jauh, lebih utamalah kalau digunakan untuk barang yang lebih berfaedah. Oleh karena itu, maksud untuk menjemput saya beramai-ramai itu seyogianya janganlah dilangsungkan.
Untuk saudara-saudara dari Bandung sendiri dan sekitarnya, sepanjang Kemis 31 Desember itu, dari pagi sampai sore, toh ada cukup kesempatan untuk berjumpa dengan saya. Sebab baru keesokan harinyalah saya berangkat ke Surabaya dengan kereta api eendaagshe untuk hadir dalam kongres Indonesia-Raya. Dan di dalam kongres itupun saya toh akan berhadapan muka juga dengan banyak dari saudara-saudara.
Kawan-kawan yang lain haruslah sabar: Insya Allah, saya tiada akan lupa lekas-lekas menemui mereka.
Di dalam zaman meleset ini kita harus berhemat.

Dengan salam pergerakan,
Saudaramu,
Sukarno

Catatan :
1)dikutip dari buku: Di Bawah Bendera Revolusi jilid pertama cetakan ke tiga halaman 119
2)ditulis kembali dengan penyesuaian ejaan dan letak
3)zaman meleset / zaman malaise : periode ketika Hindia Belanda terseret dalam kesulitan ekonomi global pasca Perang Dunia I
4)kereta api eendaagsche : kereta api yang dalam menempuh jarak antara Bandung ke Surabaya memerlukan waktu sehari. Untuk zaman itu termasuk kereta api cepat.

06 Mei 2008

Tampak Jauh

ketika tiba di persinggahan yang ke sekian kalinya
tempat singgah yang lalu tampak jauh ada di sana
di sebalik lembah gunung dan gelombang
di sini tiba tanpa buah-tangan apa-apa

ke mana lagi akan didatangi
kalau tempat persinggahan nanti sudah pasti, mesti berkelok-kelok dijalani
ke tempat segalanya kembali
yang kadang tampak jauh, meski cuma berjarak setebal kuku jari

di sebelah sini

Pilkada

Sebuah lagu bagus yang sering dipakai sebagai bahan olok-olok adalah Indonesia Pusaka. Ketika beberapa kali kesebelasan sepakbola nasional kalah dalam beberapa kejuaraan regional maupun dunia, dikatakan memang sudah cocok dengan lagunya (Indonesia Pusaka):
...... Eeeendoooneeeeeesya sejak dulu kaaaaalaaaahhhhh........
Asem betul, memang.
Lagu itu semakin terlupakan karena tertimbun oleh berbagai puing-puing persoalan yang semakin hari banyak bermunculan di tanah air, di negeri yang masih sangat dicintai oleh banyak orang ini.

Pemanasan menjelang pilkada di segenap penjuru negeri yang ulang-berulang, riuh-rendah dengan berbagai poster, bendera dan kaos serta janji-janji bagaikan bubble yang bermunculan di sekujur tubuh negeri, dilanjutkan dengan segala keramaian jalan santai (kampanye), pawai motor (kampanye), pengobatan dan sunatan gratis (kampanye). Semua seolah-olah tampak seperti luapan sukacita perayaan seperti ketika lebaran tiba. Semacam standar baku : semakin heboh semakin bagus, semakin jalanan macet semakin membuat kompetitor keder, semakin rakyat berbondong-bondong sebayi-bayinya semakin tinggi kans untuk terpilih. Semakin peserta bersemangat semakin bagus, semakin garang mereka, yaa semakin hebat pula kita. Semakin gila pantat penyanyi dangdut diputar-putar membelakangi muka dan wajah orang dari atas panggung semakin meriah pula acara kampanye ini. Semakin kelenger pak polisi mengatur jalanan berarti acara ini sukses.
Lupakan urusan orang-lain yang bukan simpatisan, jangan hiraukan pengguna jalan, persetan kelancaran distribusi minyak, sembako dan komoditi lain. Lupakan bunyi sirine ambulans, jangan urusi supir angkutan umum yang rit-nya terhambat karena jalanan macet. Biarkan orang pingsan kepanasan di lapangan.
Semakin macet semakin bagus. Persetan urusan lain. Momentum ini milik kita. Dan berapa hari lagi kita bikin yang lebih heboh.

Ini semua untuk apa?
Demi pembangunan ?
Demi kemajuan ?
Demi perbaikan ?
Demi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran ?
Atau demi dapat terpilih oleh rakyat ?
Sedangkal itukah ?

Tak usah terlalu muluk dan jauh. Kata ustad, do’a orang teraniaya lebih didengar oleh Tuhan. Ribuan orang lewat yang terhalang berikut para stake-holdernya menggerutu panjang-pendek. Para pemasok sayur, sembako, ayam, telur dan lain-lain kebutuhan dapur dan seluruh pelanggannya di pasar dan di kampung-kampung, supir bus beserta kernet dan seluruh penumpangnya dan para keluarga yang ditinggal di rumah, para bisnismen yang sedang mengejar jadwal kereta, pesawat dan janji negosiasi, supir ambulans, pasien dan perawat yang berpacu dengan maut, semua merasa bahwa penyebab kemacetan ini pantas untuk tidak diberi simpati.
Tetapi toh selalu saja terjadi serta dilakukan model seperti ini.
Berliter-liter bensin dan solar terbuang dalam kemacetan yang berderet panjang dari berbagai arah. Pemborosan besar-besaran sementara konon BBM sedang diusahakan untuk dihemat.
Dan kalaupun akhirnya segenap daya dan upaya ini memberi hasil dengan terpilihnya kontestan sebagai kepala daerah dan wakilnya, apakah dijamin bahwa janji-janji pasti akan dapat ditepati ? Karena bukankah segenap kebijakan yang dijanjikan masih perlu dukungan legislatif serta dijalankan dengan penuh tanggung-jawab oleh para bawahan yang bertugas membantunya ? Dijaminkah bahwa segampang itu menunaikan janji setibanya mereka di tampuk kekuasaan ?
Saya tidak mampu membayangkan lagi seperti apa yang ada dalam pikiran para kontestan yang kampanyenya memacetkan jalanan beberapa hari yang lalu, karena saya hanya dapat merasakan bahwa keadaan sudah sangat tidak membahagiakan bagi banyak orang, bahwa saya sudah sangat meragukan keberhasilan cara-cara seperti ini untuk membangun negeri, kota maupun daerah menjadi tempat yang sejahtera dan makmur.
Bahkan saya ngeri membayangkan kalau eksesnya dapat berupa pertikaian antar-pengikut.

Tetapi saya juga tidak tahu, ke mana pertanyaan-pertanyaan ini harus saya tujukan, seperti juga saya tidak tahu andaikata pertanyaan ini didengar akankah saya mendapatkan jawaban yang masuk akal.

...... Eeeendoooneeeeeesya sejak dulu kaaaaalaaaahhhhh........
Tetapi kali ini bukan lagi dalam sepakbola, melainkan dalam menjaga nilai-nilai sebagai bangsa yang cerdas dan bermartabat.

Pesohor

Ternyata kata ini artinya adalah selebriti.
Bagaimana seseorang kemudian menjadi pesohor ?
Karena disohorkan oleh khalayak dan media,
Karena ada sesuatu pada dirinya yang membuatnya layak disohorkan.
Apanya ?
Entahlah, yang jelas sekarang aku tahu bahwa pesohor adalah selebriti.