24 April 2008

Robohnya Surau Kami


Itu adalah judul dari salah satu buku wajib yang harus (pernah) dibaca atau paling tidak pernah dimengerti oleh para siswa SMP dan SMA dalam pelajaran Sastra Indonesia.
Saya pernah menyaksikannya dalam wujud yang lain.
Ambruknya sebuah BUMN.
Yang dua di antara beberapa episodenya membuat saya sangat-sangat terenyuh.

Episode satu:

Kantor itu terdiri dari dua lantai, lantai bawah digunakan untuk kantor, dan lantai atas sebagai mess atau wisma tamu. Sebuah kantor yang sederhana namun cukup rapih. Kantor Litbang dari BUMN, yang pada akhirnya diputuskan untuk dilikuidasi.

Hari itu adalah saat penyerahan SK pemberhentian dan pembayaran pesangon. Tim saya mendapat tugas untuk melakukan pembayaran di kantor satunya lagi yang berdekatandengan kantor Litbang tersebut, dan itu sudah selesai. Kami kembali ke mess untuk menunggu kendaraan jemputan guna pindah ke kota lain untuk melanjutkan tugas. Dari lantai atas (mess) saya menyaksikan wajah-wajah gelisah para karyawan yang sebentar lagi harus mengakhiri pengabdiannya. Sendu, menahan sejuta beban yang tak terbayangkan.

Beberapa di antaranya sudah berumur, mungkin sudah mendekati usia pensiun, tetapi beberapa lagi adalah karyawan yang masih muda. Kesemuanya duduk rapi berseragam kerja, seragam yang sebentar lagi sudah tak mempunyai arti selain kenangan bahwa itu adalah sebuah seragam yang menggambarkan status sebagai karyawan dengan segudang tumpuan harapan masa depan bagi seluruh keluarga. Ada sepasang karyawan suami isteri duduk bersisian rapat. Suami merangkulkan tangan ke pundak isterinya yang beberapa kali tampak menyeka air-mata dengan sehelai saputangan. Ia mengandung entah anak yang ke berapa. Suaminya menatap kosong ke depan, ke arah seorang teman kami yang sedang membacakan surat keputusan tentang penutupan operasi Perusahaan. Orang-orang diam mendengarkan dan menerawangkan pandang, mungkin sedang berbicara dalam hati dengan perasaan masing-masing.

Ketika satu demi satu dipanggil untuk menerima SK serta uang pesangon, suara isak tangis tertahan mulai terdengar bersahutan, para karyawati, bahkan beberapa karyawan melelehkan air-mata dengan kesedihan yang mendalam. Akhirnya semua benar-benar berakhir. Pergi satu demi satu ke luar kantor. Beberapa sempat berjabatan dan berangkulan erat antara sesama teman. Besok mereka sudah tidak lagi punya kantor, besok mereka sudah tidak lagi punya hari gajian di akhir bulan. Tidak lagi dapat berharap adanya promosi kenaikan pangkat atau jabatan. Kantor ini ditutup, sebagaimana kantor-kantor di tempat yang lain di lingkungan BUMN ini. Meja, kursi, lemari, kipas angin, kalkulator, bahkan jam dinding tak perlu lagi dilihat saat pagi atau siang hari, karena tak ada lagi jam kerja yang harus dijalani dan harus ditepati.

Langkah-langkah gontai meninggalkan kantor disertai helaan nafas panjang dan berat, untuk melepas sebagian beratnya beban pikiran ketika membayangkan isteri-isteri dan suami-suami di rumah. Membayangkan anak-anak yang masih di gendongan neneknya atau di dalam asuhan pembantu. Anak-anak yang hari ini masih bersekolah dan kuliah di luar kota. Membayangkan kata-kata yang akan diucapkan oleh para mertua atau orang-tua, adik, kakak, ipar dan kerabat lainnya, atau tetangga.
Masing-masing mengepit satu kotak persegi: Jam dinding elektronik sebagai kenang-kenangan dari bekas Perusahaan tempat mengabdi.

Besok pagi mereka tidak lagi bisa melakukan ritual berangkat kerja. Siangnya juga tak ada ritual pulang kerja.
Sedih. Hanya itu yang terbayangkan.

Episode dua:

Beberapa saat kami menunggu kendaraan jemputan datang, yang akan mengantar saya dan Pak Rachmad Djuhari melanjutkan tugas yang sama ke kota yang lain. Keberangkatan yang direncanakan pada jam tiga sore agak tertunda sampai lepas jam empat, ketika akhirnya mobil datang menjemput kami. Pak supir yang ramah ini adalah salah satu karyawan yang tidak ikut diberhentikan, sebagaimana sedikit karyawan lainnya yang masih diperlukan untuk mengurus asset Perusahaan yang ada.

Dalam perjalanan dia menyampaikan permintaan maaf atas keterlambatannya, karena dia terpaksa pulang sebentar menemui keluarga untuk berpamitan sehubungan dengan tugasnya mengantar kami berdua.
Kami sangat memahami keperluannya tersebut.

Di perjalanan dia bercerita, bahwa dia sudah dua puluh tahun lebih mengabdi di perusahaan ini. Sudut-sudut wilayah kerja sudah pernah didatanginya. Beberapa orang Bapak pernah dikenal dan dilayaninya, baik Bapak yang menjadi atasan-atasannya maupun ‘Bapak’ dari Kantor Pusat Perusahaan. Beberapa ‘Bapak’ dipujinya, dan beberapa yang lain diceritakan perilakunya sangat menyakitkan hatinya.

Pada saat sebagian besar karyawan berkumpul untuk memerima SK pemberhentian dan uang pesangon pagi dan siang tadi, dia ada di garasi menyiapkan mobil yang kami pakai ini, agar kondisinya siap untuk perjalanan jauh. Dia mempunyai anak yang masih usia TK, yang ketika dia pulang untuk berpamitan tadi, menjemputnya di pintu pagar rumah dan bertanya kepadanya:

  • Pak ! Mana jamnya ?

  • Jam apa nak ?

  • Lho bapaknya si Anu, si Anu dan si Anu semua pulang bawa jam. Punya kita mana ? Bapak kok nggak bawa ?

Terhenti langkahnya. Ya Allah, ya Rabbi, polos benar pertanyaanmu nak. Mungkin kalau Bapak pulang membawa jam seperti bapak-bapaknya temanmu, emakmu justru akan sangat bersedih. Dipeluknya anaknya, digendong sambil diciuminya masuk ke dalam rumah. Kulo ambungi anak kulo, pak, mboten saged mbayangaken upami kulo katut kenging PHK. Tak terbayangkan seandainya saya ikut ter-PHK, demikian katanya. Isterinya meneteskan air-mata sembunyi-sembunyi sambil berdiri di ambang pintu rumah.


Siapa yang bersalah?
Sebuah BUMN dibentuk dengan misi tertentu sebagaimana diamanatkan dalam anggaran dasarnya. Tetapi di antara misinya pasti terkandung di dalamnya : untuk meningkatkan kesejahteraan stake-holder secara berkesinambungan. Tugas inilah yang harus dijalankan oleh para pengurusnya yakni para Direktur, yang dibantu para pejabat yang memiliki kompetensi di bidang masing-masing.

Dalam pelaksanaannya, tak jarang beberapa misi khusus harus dijalankan atas perintah pemegang saham, yakni Pemerintah melalui putusan dalam Rapat Umum Pemegang Saham di setiap tahun, atau dapat pula berkelanjutan sampai sasaran tercapai. Tugas yang teramat berat (namun mulia), yang harus dilaksanakan sebaik-baiknya, melalui serangkaian pelaksanaan strategi yang dikemas dalam beberapa kebijakan dan program yang terukur dan selalu dikawal setiap saat dengan ketat. Kajian-kajian terhadap risiko bisnis (BUMN !) perlu dilakukan, dan kebijakan-kebijakan harus bersih dari sekedar ambisi pribadi untuk ‘menonjolkan diri’. Apalagi menggunakan kesempatan sebagai tunggangan untuk sebuah kedudukan yang lebih besar berikutnya.

Kelalaian kendali terhadap sistem yang seharusnya dijalankan dengan baik dan cermat akan dapat mengambrukkan Perusahaan, yang terdiri dari kumpulan manusia, benda dan uang dalam jumlah yang sangat besar. Apalagi kalau sistem sudah dibengkak-bengkokkan secara sengaja.


Residu dari peristiwa yang terjadi pada seputar tahun sembilan puluhan tersebut sampai sekarang masih terasa. Puing-puingnya masih berdiri bisu di beberapa tempat. Kedukaan pada beberapa keluarga dan dampaknya saya yakin masih bersisa. Siapa yang bersalah ? Mungkin banyak orang yang sebelumnya ada di dalamnya. Orang-orang yang seharusnya berbuat tetapi tidak melakukannya dengan baik, orang yang berbuat melebihi kapasitasnya, orang-orang yang membiarkan sesuatu dilakukan tidak semestinya, orang-orang di luar sistem yang campur-tangannya tidak dapat dibendung, atau yang lain lagi.

Tetapi siapa yang paling bertanggung jawab?
Barangkali sekarang kita perlu belajar dari sejarah serupa, mempelajarinya agar hal yang sama tidak terjadi.

Bekerja dengan hati secara lebih berhati-hati di tempat kita masing-masing, karena hati(nurani) kita adalah instrumen yang jujur dan tak pernah lupa.

(mengenang perjalanan bersama pak Rachmad Djuhari, teman baik)

16 April 2008

Mengapa ngeblog saja ?

Saudara saya yang satu ini punya pengalaman yang banyaaaak sekali. Ngobrol, sms, kirim-kiriman sesuatu dengan saya dan selalu penuh kejutan. Terkadang saya berpikir: wah, andaikata tempat-tinggal saya berdekatan dengan beliau ini, pasti saya sering kunjungi beliau untuk belajar, ngangsu kawruh-nya yang teramat banyak itu. Tentang apa saja.
Beliau ini sampai sekarang masih sangat bersemangat untuk belajar, dan mengajar, tentu saja.

Nggak bikin blog to mas?

Biar saya dan banyak teman lain bisa ikut kebagian ilmu dan ngelmunya. Dan juga buat tombo kangen, pengobat rindu, pelipur di kala hatiku sedang lara.

Yaaaah sambil pura-puranya bikin sedikit story (bukan setori alias masalah) supaya di suatu saat nanti siapa tahu fragmen-fragmennya bisa digunakan untuk bahan riset sama mahluk luar angkasa dalam mempelajari gaya dan perilaku kita. Begitu bujuk saya, padahal :

Sebenarnya dengan beliau punya blog, saya bisa setiap saat ngintip blog-nya, sehingga saya bisa tahu: ooo, beliau sedang sibuk, eee sedang semangat, aaa sedang jatuh cinta (lagi), iii sedang gundah gulana, dan sebagainya. Singkatnya, melalui blog yang ditulis (nanti, atau mudah-mudahan segera saja) saya bisa bersilaturahmi dengan beliau.
Sebenarnya saya juga malu untuk mengakui, bahwa saya butuh teman yang lebih banyak melalui sarana di dunia maya ini karena saya sekarang lagi kurang gawe, lagi jadi pengangguran tapi bergaya sok-sibuk saja.

Persoalannya, ketika kemudian saya ditanya bagaimana caranya bikin blog? Saya jadi celingukan. Mampus guah, lha wong saya cuma punya ilmu blog se-upil saja kok ngajak-ngajak teman bikin blog yah ?
Karena kepepet, saya bilang : gabrug-gabrug saja. Istilah kocaknya mas Indro Saswanto srunthal-srunthul saja, yang penting go blogging ! Itu pula yang saya lakukan. Masih lagi ditambah semangat sama mas Indro : kita ini semakin tua, biasanya orang yang semakin tua itu butuh teman glenak-glenik, gojegan sesama orang tua, tutur-tutur sama yang dianggap lebih muda, dongeng-dongengan tentang maza laloe dan lain-lain. Betul juga.

Apalagi sebenarnya beliau teman saya ini punya ‘sesuatu’ yang sangat layak untuk dibagi ke banyak teman dan sahabat dan bahkan siapapun.

Awang-awangen?
Persis seperti waktu saya dulu mau mulai. Gamang. Banyak pertimbangan berkecamuk di dalam pikiran, persis seperti waktu kecil dulu mau dikhitan. Sakit nggak yah? Tapi kalau nggak khitan kan malu sama teman-teman yang sudah, apalagi mereka lebih kecilan dari saya? Begitu kira-kira gulananya. Tetapi ‘hasrat’ ini sudah tak terbendung lagi, akhirnya mak procot! Jadilah blog saya. Awalnya sih mencong semua. Wagu pol, sampai-sampai diketawain (kali, ya?!) mas Indro, begitu bayangan saya waktu itu. Tapi ternyata tidak. Saudara saya yang satu ini begitu arif-bijaksananya (ha-hak !!!) menggiring dan membimbing saya dengan lemah-lembut penuh kasih-sayang dan telaten. Setia mengintip sak-obahnya blog saya. Muntir-nggeblag selalu dibangunin lagi.
Malah-malah, inter-koneksi (bener nggak istilah saya ini, wahai saudaraku?) kemudian mulai sedikit melebar dengan saling berkirim komen dengan teman-teman blogger yang ‘sudi’ berbagi komen. Eh, jadi besar hati nih, bangga lho kalau ternyata blog ini dibaca dan dikomentari oleh saudara kita di suatu tempat entah di mana yang tak terbayangkan akan menjadi teman baru. Demikian pula, saya bisa berkunjung ke blog lain, apalagi kalau diterima sebagai tamu yang baik, meskipun saya sering bersikap murang-toto dan nungkak-kromo.

Demikian kiranya agar dimaklumi, kenapa saya kok demikian berhasrat mengajak saudara saya tadi bikin blog. Ada satu piwelingnya mas Indro kepada saya, yang saya camkan dengan baik hingga kini :

Pada dasarnya, ortu itu suka cerita, suka ngajari, golek konco ngobrol. Jadi blog memang pas untuk usia2 mereka, apalagi kesibukan wis jauh berkurang, keno kanggo olahraga otak biar nggak PDI.

Saya pikir, bener dan pas untuk saya, padahal mas Indro ini masih sangat sibuk lho. Blebar-bleber ke sana kemari tetapi masih tetap mengkoberkan diri untuk ngintip posting-posting saya.

Jadi saudaraku, aku menunggu blog-mu. Selalu.

(Yang saya tulis ini betul ya pak dokter?)

15 April 2008

De Maas

Aslinya adalah nama sebuah sungai di Negeri Belanda sana, tetapi kemudian diboyong oleh meneer Belanda sebagai nama pabrik gula di Besuki, Jawa Timur. Pabrik gula ini sekarang sudah tidak beroperasi lagi, meskipun instalasi dan emplasemennya masih ada. Aktivitas di sana sekarang tinggal administrasi bahan baku berupa tebu yang kemudian pada musim giling akan dibawa ke pabrik gula Pandjie (ditulis namanya sebagaimana ejaan aslinya) yang berada di pinggiran timur kota Situbondo.

Pabrik gula (PG) De Maas adalah awal ‘persentuhanku’ dengan industri gula pada tahun 1975. ketika aku ditugaskan untuk stok-opname barang-barang di gudang tersebut kurang lebih satu bulan, tidur di mess bersama seorang senior.

Banyak hal baru mengawali perkenalanku di agro industri peninggalan Belanda ini, beberapa di antaranya:

Mess yang ‘angker’

Di antara anggota tim yang disebar ke enam PG secara serentak, aku paling yunior, seniorku yang paling muda berselisih 10 tahun di atasku sedangkan senior yang bertugas di PG De Maas bersamaku usianya sekitar 18 tahun di atasku, seusia pamanku.
Sebelum berangkat, beberapa teman senior ‘menakutiku’ bahwa mess PG De Maas adalah salah satu mess yang paling seru di antara keenam mess PG yang lain, terutama pada kamar-kamarnya di lantai atas. Wah, siap-siap mental nih. Aku bukan seorang penakut terhadap hal begituan, meskipun juga bukan pemberani pula. Yang jelas, kami harus tinggal di gedung tua yang umurnya lebih dari seratus tahun bekas tempat tinggal administrateur (boss) Pabrik Gula De Maas. Tetapi berhari-hari di sana kami berdua baik-baik saja. Memang ada yang aneh dan membuatku kikuk, tetapi ini adalah tentang pelayanan kepada kami.

Sebagai petugas dari Kantor Direksi (Kantor Pusat Perusahaan) kami mendapatkan pelayanan khusus. Nah, ini yang membuatku sangat kagok. Bayangkan, setiap saat makan, di meja makan sudah disiapkan satu seri piring beserta sendok, garpu dan pisau, dengan serbet makan yang terlipat kaku berdiri di atas piring makan, seorang pelayan mess akan membuka serbet itu, mempersilakan kami makan sambil mencedokkan sup ke piring paling atas, lantas dia akan mundur ke sudut, berdiri takzim di sana, bersiap kembali untuk mengambil piring sup, lalu melanjutkannya ke menu berikut sampai seri terakhir. Seniorku amat menikmatinya, sementara bagiku rasanya tak tertelan dengan sempurna semua makanan yang melewati tenggorokanku. Memandang pak pelayan yang usianya lebih tua dariku pun tak tega. Beginikah adatnya?

Pagi hari, sepasang sepatu kami telah tergosok mengkilap berjajar di ujung tempat tidur. Kapan pula mereka menggosoknya? Penderitaanku bertambah lagi ketika datang sore dari tempat kerja, pak pelayan sudah siap maju ke depan untuk melepas sepatuku ! Sehebat inikah diriku? Dan akan semenderita beginikah aku berhari-hari di sini? Ternyata keangkeran mess PG terletak pada diri kami, petugas dari ‘Direksi’ yang membuat mereka harus melipat derajatnya sebagai manusia di bawah bayang-bayang prosedur operasi standar sebagai pelayan mess.

Pada hari ke tujuh, aku memberanikan diri mengusulkan kepada seniorku untuk dimintakan dispensasi agar kami bisa kembali kepada jati-diri sebagai manusia normal yang boleh makan dengan sambal uleg dan menyuap pakai tangan telanjang. Bersyukur akhirnya usul dapat diterima oleh manajemen PG dengan catatan: Pak Pelayan masih menunggu di balik pintu ruang makan untuk bersiap menerima perintah darurat jika diperlukan. Takut kalau aku tersedak barangkali.

Setap dan Non-setap

Maksudnya karyawan yang berstatus Staff dan yang bukan Staff. Kedua kasta ini sangat berbeda derajatnya. Dalam jam kerja, si non-setap harus melaksanakan setiap tugas tanpa boleh bertanya, cukup: laksanakan dan lapor kalau sudah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Sedangkan di luar tugas, amat terlarang di antara kedua golongan ini berinteraksi, atau tepatnya: seorang setap dilarang berinteraksi dengan non-setap.

Semula aku tidak tahu adanya norma-norma tak-tertulis seperti ini, sampai suatu kali pada saat break siang, beberapa pekerja aku ajak bicara. Biasa, pengen mengenal sedikit-sedikit lah, berapa lama sudah bekerja, di mana tinggal, ijazahnya apa dan lain-lain. Lalu, sore hari ketika usai kerja kami mampir ke kantor, seniorku bicara: dik, saya tadi ditegur pak ADM (maksudnya Administratur, big-bosnya PG) pesannya, adik ndak boleh lagi omong-omong dengan para kuli. Aku terkejut, beliau sampaikan norma tak-tertulis yang baru aku ketahui. Wah, penderitaan baru, nih!

Ketika sore aku ingin membeli rokok, beliau melarangku lagi : suruh pelayan saja dik ! Saya pengen jalan-jalan ke luar pak! Wah, jangan, suruhan saja, repot kita nanti kalau pak ADM tahu sampeyan ke warung beli rokok !

Susah, ya.
Pengkastaan ini juga menghilangkan sebagian keleluasaan komunikasi antara staf PG dan kami. Staf PG yang lain dilarang mengganggu saat istirahat malam kami di mess, kecuali Kepala Kantor Tata Usaha dan Keuangan (TUK) atau asistennya. Kalaupun mereka ini datang pada malam hari setelah makan malam, mereka datang dengan bersepatu dan pakaian resmi. Kamipun wajib mengenakan atribut serupa. Wahai ! Habislah kebiasaan burukku bersarung dan kaos oblong bertelanjang kaki seperti di rumah !

Biliar dan Tenis

Hiburan cuma ada dua: main biliar di Balai Pertemuan (biasa disebut Sos, mungkin kepanjangan dari Sociteit – tempat ajang sosialisasi jaman Belanda) atau main tenis sesama Staf pada sore hari. Yang lain tak ada. Sedang dua-duanya aku tak suka. Lebih celaka lagi: di mess tak ada pesawat televisi ! Jadi kami tak bisa nonton berita, acara Kamera Ria, atau Candra Kirananya mbak Diah Iskandar ! Untung aku bawa sebuah radio transistor saku. Yang tangkapan sinyalnya hilang-timbul dan cuma bisa menangkap siaran dari Jakarta (sayup-sayup) Surabaya atau Jember, itupun setelah mencari-cari gelombangnya dengan ‘teliti’

Karena rutinitas yang membuatku jenuh, suatu kali aku memprovokasi seniorku: Pak, di sini ada bioskop nggak? /
Ada, dik, dekat alun-alun./
Dekat?/
Yaaa, nggak terlalu jauh/
Bisa jalan kaki ? /
O, ya bisa !/
Bapak mau, kita nonton?/
Kalau ketahuan?/
Kita menyamar, pak !/

Lalu, akibat dari provokasiku itu, kami berdua diam-diam meloloskan diri dari mess, bersarung memakai peci berangkat ke gedung bioskop satu-satunya di Kawedanan Besuki. Filem Indonesia. Gedungnya penuh asap rokok dan bau pesing, bangku kayu, penontonnya berbahasa asing (madura logat Situbondo), banyak suit-suit dan teriak-teriak, filemnya banyak gerimisnya dan suka terputus, sound-sistemnya pakai corong TOA yang suaranya cempreng bikin sakit telinga. Dan kami kabur sebelum filem selesai karena amat tersiksa !

Sebulan tugas dan ‘petualanganku’ di pabrik gula ini ditutup dengan wisata bersama seluruh anggota tim yang tersebar di mana-mana, ke hutan Baluran. Nonton banteng, rusa dan burung merak di habitatnya. Beramai-ramai dengan konvoi empat jeep Willys. Kendaraan dinas resmi pabrik gula ketika itu.
Dan tiga minggu sekembaliku dari sana, aku masuk ke Rumah Sakit karena hepatitis A yang diikuti dengan malariaku yang kambuh. Opname tiga minggu ditambah cuti sakit tiga minggu, padahal aku baru bekerja di Perusahaan ini satu setengah bulan.

Pabrik Gula De Maas sekarang sepi. Tak ada lagi gemuruh mesinnya atau suara suling lokomotif penarik lori tebunya. De Maas menjadi sebuah pabrik yang tidur, atau lebih tepatnya koma. Tinggal keputusan ‘dokternya’ saja: diusahakan hidup kembali, dicabut selang infusnya atau disuntik mati saja agar sempurna nasibnya. Di sana aku punya nostalgia di dunia industri gula untuk yang pertama kalinya.

14 April 2008

Petruk Grounded

Petruk ini memang punokawan yang ndak punya wedi. ndak punya rasa takut, tetapi dia juga seorang abdi yang taat dan setia pol kepada profesinya sebagai batur bagi para juragannya dari jaman ke jaman.
Kedudukannya memang cuma abdi alias batur alias kethiplak, alias begundal. Tetapi kalau diurut-urut, derajat aslinya jauh di atas semua juragan bahkan di atas rajanya sekalipun lho! Karena ayahnya adalah Semar, dewa paling senior. Semar adalah kakak dari raja para dewa di kahyangan yang bernama Bethoro Guru, sehingga meskipun Petruk tidak menggunakan predikat Bethoro tetapi cukup hanya Ki Lurah, namun aslinya dia adalah sepupu senior dari seluruh dewa generasi ke dua di Kahyangan Salendrobawono atau Kahyangan Suroloyo. Begitu.

Bermula dari keluhannya tentang sulitnya mendapatkan gas elpiji dan minyak tanah kepada juragannya yang tidak mendapat respon, lalu dilanjutkan dengan berkirim surat ke Kahyangan Suroloyo (agak jauh sedikit dari Suroboyo), juga disepelekan, Petruk Kanthongbolong merasa tidak diperhatikan hak dan kedaulatannya secara tidak semena-mena. Seorang diri dia menyatroni Istana para dewa, meminta penjelasan atas keluhannya, dan ketika penjelasan yang diterima dirasa tidak masuk akal, berdebatlah dia dengan seluruh dewa dan akhirnya berubah menjadi adu fisik. Singkat kata, Petruk menang, Bethoro Guru disandera di suatu tempat tersembunyi, dan Petruk menyamar menjadi Bethoro Guru (palsu), menjadi penguasa kahyangan. Lupa kepada tuntutan semula karena di kayangan ndak pernah ada krisis elpiji maupun minyak tanah, setiap hari para dewa disuruh menyelenggarakan pesta-pora, para dewa harus menyanyi dangdut dan para bidadari goyang ngebor. Di hari lain semua diajak wisata kuliner, ngicipi semua jenis makanan yang selalu maknyus, maknyesss, maupun maknyos. Terkadang pergi berwisata kliling-kliling naik segala macem tunggangan, mulai dari sepur kelinci, Adam Air sampai Jaguar dan Lamborghini. Suka juga ngundang artis manca kayangan, mulai dari Bon Jovi, Julio Iglesias sampai Siti Nurhaliza. Pokoke komplit-plit-plit-plit. Uenak tenaaan. Swargo kayangan. Ncen edddiiiaaaaan tenan kok Petruk ini.

Keadaan ini terdeteksi oleh kalangan intelijen, gara-garanya program inspeksi keliling dunia wayang yang biasanya dilakukan oleh para dewa pada akhir-akhir ini tidak berjalan sesuai jadwal. Para dewa sendiri sebetulnya merasa risih, tidak menjalankan misi tersebut, dan juga akhir-akhir ini merasa turun derajat kedewataannya karena instruksi Bethoro Guru yang serba nyeleneh nganeh-anehi. Goblognya para dewa, mereka tidak berusaha mengungkap keanehan ini dan tidak mengembangkan kecurigaan untuk membongkar misteri di baliknya. Dasar dewa, pikirannya terlalu lugu, ndak pernah mau mikir berat karena biasanya tahu beres. Mikirnya, sudah ada yang ngurus barang begituan.

Dari laporan intel dan serse yang masuk, ditemukan pola aneh yang berulang. Bethoro Guru pada saat akhir-akhir ini sering pesen ayam panggang bumbu rujak dari resto Paramasari. Semar di pusat komando operasi rahasia bersama Gareng dan Bagong yang mengkaji keanehan ini curiga, karena penggemar berat ayam panggang bumbu rujak Paramasari, di seluruh dunia wayang cuma satu, yaitu Petruk. Yang ke dua, Petruk sudah beberapa minggu absen, ndak kerja tanpa keterangan yang jelas. Hpnya mati seg, YMnya tidak diaktifkan blas.

Singkatnya ndalang (dalangnya molai pegel), Ki Lurah Semar Bodronoyo berangkat ke Suroloyo. Bethoro Guru yang hidungnya keliwat mancung dikabyuk, diithik-ithik, dikudang-kudang, terus dikentuti, dan akhirnya babar terbongkar bahwa itu memang Petruk, bukannya Bethoro Guru yang hidungnya dioprasi plastik. Petruk diblejeti kedoknya, penyamarannya dibongkar, para dewa dan widodari kaget-get-get kepati, selama ini ternyata dikadali oleh Petruk sang Gedibal elek.

Tak sampai seumur kecambah jadi raja kayangan, Petruk dijewer telinganya oleh Kyai Semar, ayahnya sendiri, dicengkiwing, dibawa turun kembali ke dunia wayang: Ngarcopodo. Karena lakonnya memang harus begitu seperti yang telah dipakemkan.

Alkisah skandal Petruk yang telah mengguncang dunia atas dan dunia bawah tadi di bawa ke sidang para petinggi di kasatriyan Madukoro, tempat Petruk mengethiplakkan diri.

Segala pertanyaan dalam sidang dijawab oleh Petruk dengan gamblang, suara dan sikap yang jelas. Kesalahan-kesalahan diakui, karena memang sesuai dengan keadaan sebenarnya dan cocok dengan hasil kesaksian. Di akhir sidang yang berjalan dengan lancar akhirnya putusan jatuh. SK dari Kasatriyan Madukoro diterbitkan : Untuk sementara waktu Ki Lurah Petruk Kanthongbolong gelar Belgeduwelbeh Thongthongsot dirumahkan. Dibebastugaskan sampai waktu yang tidak ditentukan. Petruk menerima sanksi tadi dengan baik, apalagi sekarang pasokan minyak tanah, gas elpiji, minyak goreng dan barang-barang lain di seluruh pelosok kampung dan kotaraja sudah menunjukkan tanda-tanda akan mulai lancar. Warung-warung dan aktivitas para kawulo alit secara berangsur sudah normal kembali, disamping dia juga sudah mblenger berpesta dan puas bisa ngadali para dewa yang goblog-goblog itu. Petruk legowo menerima hukuman.

Hari-hari grounded dijalani oleh Petruk di rumahnya, dukuh Pethuk Pecukilan dengan santai dan menyenangkan sekali.

Menanam sayur, kacang kedele, padi, beternak ayam-bebek-kambing kerbau dan sapi, memelihara perkutut-bekisar-puter dan burung oceh-ocehan lain. Memelihara tanaman kembang melati-mawar-seruni-kanthil-kenongo yang semuanya berbau wangi, juga beternak ikan wader-gurami-welut dan ikan lainnya.

Badannya yang tinggi besar semakin gemuk, meskipun kulitnya menjadi agak gelap karena hampir setiap hari berpanasan di sawah-ladang dan kolam ikannya.

Malam hari para tetangga berkumpul di halaman rumah kyai Petruk: hari Senin klenengan, Selasa belajar pencak, Rebo liwetan, Kemis mocopatan, Jumat boworoso, Sabtu berlatih menari, Minggu acara bebas yang sering diisi dengan pengalaman perjalanan kyai Petruk yang didongengkan secara menarik. Terkadang juga belajar tentang sejarah dan politik, hukum, pajak, sesekali juga yang lain, seperti ESQ dan komputer serta belajar ngeblog. Para tetangga dan penduduk desa senang bisa berdekatan dengan lurahnya, tidak seperti dulu, selalu ditinggal pergi dines tiba-tiba tapi ditinggali tugas yang sulit dan mboseni. Ndak pernah dimonitor lagi. Sekarang beda.

Ki Lurah Petruk senang, para tetangga dan penduduk girang. Sungguh sebuah komunitas dinamis dan harmonis.

Keadaan di dukuh Pethuk Pecukilan ini menarik perhatian para pengamat dan ahli dari kotaraja, mereka heran, seorang pejabat (padahal Petruk adalah abdi, kok katanya pejabat) yang dirumahkan kok malah menjadi lebih produktif ketimbang ketika menjabat. Fenomena apa ini ? Apa yang terjadi di sana?

Kemudian, berangkatlah serombongan tim yang terdiri dari para pakar, pengamat, peneliti dan lain-lain, pokoknya orang-orang pinter lah, ke Pethuk Pecukilan untuk melihat dari dekat apa yang sebenarnya sedang terjadi di tempat ini. Dan yang terpenting, bagaimana Ki Lurah Petruk menyikapi pembebasan-tugasnya.

Tujuh hari tujuh malam seluruh anggota tim bekerja mengikuti segala aktivitas di tempat ini. Mereka berbagi tugas, memonitor setiap aktivitas Petruk, mengamati komunitas, mengkalkulasi cash-flow, meneliti dampak interaksi langsung Petruk dengan komunitasnya, mengukur perubahan sosial-ekonomis antara sebelum dan sesudah Petruk dirumahkan berbekal seabreg perangkat dan sistem untuk monitoring dan evaluasi.

Tidak ada yang dihambat oleh Ki Lurah Petruk. Semua dipersilahkan, bahkan seandainya mau meneliti aktivitas Kyaine dalam kamarpun dipersilahkan, asal tahan, karena Petruk kalau tidur ngoroknya bikin horeg piring-cangkir di lemari dapur.

Hari ke delapan, seluruh anggota tim menjadwalkan untuk wawancara akhir dengan lakone. Petruk. Sepuluh-limabelas orang duduk berkeliling mengepung Petruk yang jadi point of interest. Para tetangga duduk bersila ditikar menyaksikan kejadian luar-biasa yang baru sekali ini terjadi. Disiapkan alat rekam audio-video beserta lightingnya, lengkap lah pokoknya. Back-drop bertulisan “Perumahan Ki Lurah Petruk” terpampang di belakang tempat duduk Petruk yang jejer dengan ketua tim. Mungkin tepatnya seharusnya Pengrumahan Petruk.

Pertanyaan pertama dibuka oleh ketua tim:

... Bagaimana kyaine menyikapi penonaktifan ini?
... Biasa saja, ndak ada masalah
... Tidak merasa ‘tidak terpakai’ ?
... Babar-blas
... Kenapa ?
... Kalaupun ndak dinon-aktifkan, saya malah akan minta untuk nonaktif kok

... Kok aneh? Ya terserah lah, faktanya ki lurah dinon-aktifkan to ?
... Bukan gitu. Faktanya adalah, sebenarnya saya diselamatkan
... Kok ?
... Lha dengan gitu kan saya jadi orang mandiri seutuhnya, ndak ngrusuhi negoro

... Tapi kan kyaine terus tidak bisa mengabdi pada skala yang lebih tinggi dan mulia ?
... Ya rapopo, kan juga dengan begini saya ndak bisa korupsi lagi ...
... Kok ekstrim ?
... Pas kerja terpaksa jagongan, karena ndoro Janoko rapat. Pas saya mengikuti rapat para batur, saya ngrasani Werkudoro yang ganti potongan rambut. Kadang-kadang saya juga ngambil kertas yang utuh buat ngelap mejo karena mejane kotor ndak dibersihi sama OB. Pernah juga nyuruh OB ngurus sekolahnya anak saya. Daaaan lain-lainnya lagi. Wah pokoke banyak kalo mau diomongkan...
... ???

... Sampeyan kok kamitenggengen ? Mau tanyak apa lagi ?
... Jawaban kyaine ekstrim dan vokal, menyakitkan
... Lho, wong saya ini ngomongke awakku dewe kok sampeyan bilang gitu ?
... Itu nusuk prasa’an, kyai
... Sik,sik, sik kosik. Ngko disik. Nantidulu. Sampeyan kan tanya, saya jawab. Terus-terang. Blak kotang raono sing tak tutupi. Salahnya di mana ? Kalo jawabannya seperti ini ditamggapi emosional, penelitian sampeyan nanti ndak utuh lho, presentasi sampeyan ndak komplit lho, laporan sampeyan ndak valid lho. Ini kan penelitian tentang Petruk to, bukan tentang Bagong, Gathutkoco, Sengkuni atau tentang Kolobendono to ?
... ??? !!! xzxzxz ffffff bbbbppppp ****

... Apa sampeyan pengen : saya sambat minta bantuan untuk disudahi skorsingnya? Njut saya mbrebes-mili minta maaf sama juragan ? Lha tema penelitian sampeyan kan bukan itu, kok. Cobak judulnya ‘Penyesalan Petruk’ lha ya lain lagi. Betul to mas ? Cumak, dalam hal ini bagi saya tiada penyesalan dihati, kok.

Tiga handicam yang diakses lewat note-book sudah menginjak angka dua gigabytes lebih, tiga orang kameramen merekam ekspresi setiap orang dengan cermat, close-up, long-shoot, berganti-ganti, terkadang juga kliwernya kalong untuk aksentuasi. Para tetangga diam tertib manggut-manggut geleng-geleng. Ada yang ndomblong ada yang takut. Untung ndak ada wartawan. Senyap. Tintrim. Semua tergambar lewat rekaman kamera.

... Bagaimana ?
... Anu kyai, kita sudahi dulu saja, dua minggu lagi saya kesini lagi, kita ganti topik
... Lhaaaa, gitu lebih baik, tapiiii ...
... Gimana kyai ?
... Ini jangan tersinggung ya, betul-betul saya ini cobloko. Opo anane, ndak pake rahasiaan-rahasiaan. Gini. Seminggu rombongan sampeyan di sini ndak usah mbayar apa-apa. Semua akomodasi sampeyan di sini tanggungan saya. Uang penelitiannya sampeyan bikin untuk yang akan datang di tempat lain saja. Pokoke kalo ke sini dua minggu lagi sampeyan tetep gratis. Toh kedatangan sampeyan juga memberi kontribusi besaaar buat membuka wawasan bagi sedulur-sedulur di sini, anak-anak di sini. Mereka jadi ngerti, jadi punya cita-cita yang lebih tinggi, yaitu jadi orang pinter seperti sampeyan semua. Bukannya saya semugih, tapi ini adalah sebuah bentuk penghargaan saya yang tulus dari dalam nurani saya yang dalam atas jerih-payah sampeyan semua datang ke sini.

... Wah, ya jangan nggunggung gitu to kyai, kita-kita ini apa to, ya orang-orang biasa seperti yang lain juga tooo ...
... Sampeyan ini gimana, jangan merendah-rendah to, saya ini ngomong beneran, lho, kok seperti ndak kenal Petruk saja
... Nggih, nggih kyai, cuma itu ??
... Samaaaaa... itu; tulung saya dikasih copinya hasil rekaman sampeyan, anak saya mau minta duplikatnya buat bahan tesis atau opo gitu namanya, saya ndak seberapa mudheng

... Lho tapi penelitian ini lak batal to kyai
... Tapi lak sudah diteliti dan sekarang direkam to ?
... Lha baaatal, je....
... Lak tentang Petruk to ?
... Iyyyyyyaa, tapiiiii
... Yo wiiis, nek ndak boleh ya sudah
... *&^%$#@!?><~`;’:”..... saya kasih tapi jangan dipublikasikan ya kyai ???!!!
... Kenapa ? sampeyan takut ?

Petruk ngawur pol, ra urus, dasar udelnya bodong, wis, jan edan tenan kok.
Tahu gitu ndak usah saya tulis.
Tapi ya embuh gimana tadi kawitannya kok jadi ndak karuwan gini ....

(Inspirasi :buku Tuhan Tidak Tidur, Sukardi Rinakit – Penerbit Kompas Maret 2008)

10 April 2008

Air Mata

Konon, air-mata tercipta secara amat luar-biasa untuk berbagai kepentingan. Sebagai akomodasi agar pelupuk dan bola mata tidak iritasi karena berkali-kali bergesekan karena harus berkedip, juga sebagai indikator emosi, ketika otak mendapatkan rangsangan yang memilukan hati atau sangat menggelikan. Bayangkan seandainya kita tidak memiliki air mata. Kacaulah sebagian hidup kita karena penderitaan pada indera penglihatan ini.

Pada waktu sekolah, pada pelajaran sastera Indonesia, sering kita membaca ungkapan : sudah habis air mata ini ....

Wah, sebuah ungkapan dramatis untuk menunjukkan bahwa seseorang sudah sampai ke dasar jurang rasa derita, sehingga menangispun sudah tak mampu lagi. Sayangnya, ungkapan cantik ini tidak pernah disertai penjelasan, lantas ke mana perginya si air mata ketika dia tidak lagi dicucurkan atau dilinangkan oleh mata ? Jawabnya ternyata ditemukan di pertunjukan bioskop.

Begini ceritanya:

Di istana diputar sebuah filem yang katanya sangat bagus. Filem genre baru. Sebuah filem yang diangkat dari sebuah novel super laris, yang royalti pengarangnya konon lebih dari dua koma delapan miliar. Begitu haibatnya.
Pada pertunjukan tersebut hadir para petinggi negri, dan singkat kata, filem tersebut mendapat pujian. Sebuah filem yang sangat bagus dan layak ditonton – tentu begitu buntutnya.
Pagi harinya, beberapa koran menulis yang intinya:

Kepala Negara melelehkan air mata menyaksikan filem tersebut.

Demikian menyentuh hati filem tersebut, sehingga sejenak, media dipenuhi berita tentang tumpahnya airmata keharuan karena sebuah filem.
Ya, filem yang mengharukan banyak orang mulai dari Kepala Negara yang mbrebes-mili sampai rakyat kebanyakan, mulai yang nangis beneran sampai yang dari rumah sudah siap-siap mau nangis karena diberitahu teman bahwa filemnya mengharukan sekali.

Di tempat lain di negeri yang sama,
Sudah berhari-hari dan bermalam-malam di sudut-sudut daripada rumah, ibu-ibu mbrebes mili sembunyi-sembunyi memprihatinkan daripada keadaan keluarganya yang mungkin akan menjadi semangkin sengsara hidupnya karena keadaan daripada ekonomi yang mangkin menghimpit. Warung nasinya yang buka pagi-siang-sore-malam di kakilima pojok kantor kecamatan sudah diobrak, mereka terpaksa pindah. Warung sekaligus tempat berteduh anak-beranak digeser ke sepetak kecil tanah yang sedikit menjorok ke dalam kuburan di samping kantor kecamatan.

Besok mereka mungkin tidak bisa berjualan nasi lagi, karena tak ada minyak-tanah. Habis. Kosong. Sudah tiga hari suaminya terpaksa tidak mendapat uang dari menarik becak karena harus berkeliling berburu minyak tanah, itupun tak pernah kebagian. Tidak narik becak, tidak jualan nasi, tidak ada uang, tidak ada minyak tanah. Itu artinya adalah: tidak makan.

Si suami yang sangat bertanggung-jawab pun, diam-diam terlihat meneteskan mata ketika pada malam hari menyaksikan anak-bininya tidur melipat tubuh di hamparan tikar. Entah apa yang dimakan tadi sementara dia berburu minyak. Suami yang seperkasa itu menangis tanpa ada yang tahu. Menetes airmatanya deras di malam yang baru berjalan sepertiga. Dan akan lebih deras lagi nanti di tengah malam, ketika dia bersujud di pojok musala kantor kecamatan.

Begitu siang mulai merambat naik, rupanya airmata sudah habis karena naik ke kepala, dibakar panasnya pikiran, menguap lewat banyak ubun-ubun yang terpanggang matahari di antrian minyak tanah.
Lalu terdengar serapah :

Sudah butakah mata, tulikah telinga melihat keadaan seperti ini ?

Entah kepada siapa kekesalan itu ditujukan, dia sudah tak peduli lagi, serapahnya adalah akumulasi dari airmata yang sudah menguap, dan tak lagi bisa mengalir lewat matanya.

Sementara,
Berjuta-bermilyar rupiah terbaca di koran mengalir kemana-mana, di ruang-ruang sejuk ber-ac, kamar-kamar hotel, tunai maupun dalam bentuk deretan angka seiring dengan derasnya aliran airmata ketika semakin banyak orang menonton filem yang tiketnya berlipat harganya dari sekaleng minyak dan setabung gas elpiji.

Negeri berangkat menuju sore, mendung, redup, sebentar lagi gelap, hujan, dan banjir. Airmata.

08 April 2008

Yang Takut Itu Sampeyan atau Saya?

Mas Santo tiba-tiba bertanya kepada saya : Ndak merasa ada post-power syndrome ?
Secara diplomatis saya jawab : Menurut penglihatan sampeyan, saya ini kelihatan seperti itu atau ndak ?
... Kok ndak kelihatan ya

... Lha kok nanya ? saya balik tanya sambil ketawa di telepon.

Saya tidak tahu kenapa tiba-tiba masalah ini menjadi pertanyaan teman saya tersebut, teman yang baru saya kenal tatap-muka kurang lebih dua jam, ditambah omong-omong lewat telepon sejam.
Mungkin dalam bayangannya, saya dulunya adalah power rangers. Orang yang punya power, orang yang bekerja dengan power, atau orang yang bekerja memanfaatkan power, atau lagi orang yang sebelumnya hidup tergantung power yang disandangnya. Sehingga ketika pensiun “biasanya” mengidap post-power syndrome.
Mungkin juga mas Santo melihat adanya orang-orang yang masih ngebos ketika pensiun, atau dia punya pengalaman di-bos oleh orang yang seharusnya bukan lagi bos bagi dia, atau melihat ada bekas bos yang sekarang nggak laku. Dan mereka membuat ribet suatu urusan dengan sikapnya itu.
Banyak sekali kemungkinan.

Mungkin juga mas Santo ingin mengkonfirmasi kebenaran hipotesisnya pada diri saya, bahwa seorang yang baru saja pensiun biasanya terkena sindroma itu. Agar untuk selanjutnya beliau dapat tetap berkomunikasi dan berinteraksi dengan saya secara aman, tidak menyinggung atau tersinggung. Suatu sikap yang sangat bijak dan terus-terang. Dan saya hargai sepenuhnya.

Tapi diam-diam saya mikir dan merenung, karena pertanyaan dari mas Santo itu. Benarkah saya TIDAK mengalami post-power syndrome ?
Bagian kanan hati saya mengatakan pasti tidak.
Bagian kiri, bisik-bisik bilang : iya juga sih, cuman ditutup-tutupin.
Bagian tengah tegas: YA
Bagian atas bilang : yang perlu kan aktingnya
Bagian bawah : ngapain diurus

Lha kok jadi rame begini ?

Sepertinya ada hal penting yang harus dikaji dan dicermati. Pensiun bukan berarti masuk ke dalam kapsul kemudian dilempar ke ruang angkasa, mengorbit di atas sana dan putus komunikasi dengan sesama.
Pensiun cuma berarti putusnya hak formal atas segala kewajiban dan tanggung-jawab pada tempat kerja sebelumnya. Yang mengikuti biasanya adalah perubahan sumber dan jumlah penghasilan dari saat ketika bekerja. Selain hal-hal tersebut, semua seharusnya berjalan seperti biasa dan dikelola sebagaimana mestinya. Waktu, energi, pikiran, kesehatan, potensi dan kompetensi, network dan semuanya.
Yang tadinya bersemangat harus tetap bersemangat.
Yang tadinya sehat, harus tetap sehat.
Yang tadinya rajin, harus tetap rajin. Pintar, harus tetap pintar. Kocak, ya tetap kocak. Merdu, jangan sampai hilang.
Kalau bisa, yang baik-baik ditingkatkan, yang nggak baik dikurangi atau dihilangkan, yang sempat tertinggal dikejar, yang tadinya terlupakan diingat-ingat kembali dan sebagainya-dan sebagainya.
Dulunya suka tetapi nggak sempat bersepeda sehat, nah ini kesempatan, senang masak tapi terlalu capek sepulang kerja, sekarang waktunya berdapur-ria, dan seabreg keasyikan baru lainnya.
Whaduh, ternyata pertanyaan mas Santo cukup asyik untuk diseminarkan. Atau malah dijual !!

Saya malah punya dugaan, jangan-jangan ‘post-power syndrome’ adalah sejenis hantu atau monster yang populer di kalangan para calon pensiunan, sehingga malah menakutkan diri-sendiri karena percaya hal itu akan ada karena : Banyak orang cerita bahwa ..... dst-dst

Ketika masih bujang dulu, mas guru Slamet, teman kakak saya pernah punya guyonan:
Barang-siapa berbicara tentang ular, berarti dia sudah menginjak ekornya !

Jadi kalau post-power syndrome ini ibarat ular :

yang takut itu sampeyan
atau saya
sih ?

Terima kasih mas Santo.

06 April 2008

Semar mendem

Penganan jawa itu tiba-tiba bangkit dari piring yang terhidang di atas meja, ketan gurih yang di dalamnya berisi abon daging dengan dibungkus telur dadar tipis, menjelma menjadi Semar sungguhan. Tokoh gemuk bermata rembes berair, pengasuh para satria bolo-tengen dari jaman ke jaman. Mulai dari jaman Sekutrem sampai era Abimanyu Ongkowijoyo.
Pada jaman apapun kyai Semar selalu ada untuk memandu para kesatria yang berada di jalur kebenaran agar tetap berpegang kepada misi pokoknya yang baku : memayu hayuning bawono.
Kali ini kyai Semar Mendem melakukan manuver yang nganeh-anehi sehingga membuat geger dunia pewayangan termasuk para dalang, pengrawit dan para pesinden.
Mosok, Abimanyu tiba-tiba dimakzulkan dari kedudukan sebagai adipati di kesatrian Plongkowati. Padahal, dulu ketika mau dilantik sudah mendapat restu sepenuhnya. Para penonton menjadi bingung, masing-masing menebak-nebak kira-kira apakah yang dimaksudkan oleh kyai Semar dengan gerakan anehnya ini. Seluruh wayang di dalam kotak maupun yang dijejer di depan kelir juga gelisah. Jangan-jangan manuvernya kyai Semar akan berimbas kepada kedudukan mereka, padahal saat ini masing-masing sedang bersiap-siap untuk memainkan lakon yang skenarionya sudah disiapkan oleh ki dalang.
Gelisah, jangan-jangan semua persiapan akan menjadi sia-sia, hafalan dialog jadi terlupa, bloking kacau, akting berantakan. Wah, pasti penonton akan kecewa, dalangnya frustrasi dan pergelaran gagal. Bisa-bisa penonton menuntut kepada panitia untuk mengembalikan uang tiket.

Tiba-tiba, di tengah kekacauan, kyai Togog muncul begitu saja dan segera saja para wartawan dunia pewayangan meninggalkan nara-sumbernya masing-masing. Kata mereka:
... Maaf, sementara wawancara dengan Anda kita hentikan sejenak, karena tampaknya ada tokoh penting yang mau memberikan pernyataan.
Berhamburanlah para pekerja media mendekat ke depan podium di dekat para pesinden.
>>> Kyai Togog, bagaimana statemen Anda berkaitan dengan diturunkannya raden Abimanyu oleh Kyai Semar ?
Kyai Togog cuma tersenyum, tapi tidak semua orang tahu bahwa beliau sedang tersenyum, karena tersenyum atau tidak, mulutnya yang lebar itu memang selalu tampak seperti tersenyum.
>>> Kyai, beri komentar Anda, kyai, please
Para wartawan mendesak ke depan. Kyai Togog tenang-tenang saja.
Tiba-tiba :
+++ La wong saya ini malah pengen tahu kok, sampeyan ini pada gupuh apa seh, kok tiba-tiba pada pating gedandap bikin kaget saya yang lagi lewat sini
>>> Lho, ini raden Abimanyu kan dipecat oleh kyai Semar, mbah !!
+++ Semar yang mana ?
>>> Lha ya Semar yang biasanya, Semar yang mana lagi ?
Sejenak Togog memejamkan matanya, dan ketika kemudian melek, beliau tertawa
+++ Ndak ada Semar, gitu lho ... sampeyan ini pada bikin kaget saja...
>>> Ya udah, pokoknya komentar kyai gimana ?

Di Karangkadhempel,
Kyai Semar sedang jagongan dengan raden Abimanyu di balik sebuah kamar. Pintu kamar terkancing.
Di dalam kamar, tidak seperti yang biasa dilihat para penonton di depan kelir, kali ini Semar tiduran di kursi males dengan kaki selonjor dan di sebelahnya raden Abimanyu memijit-mijit dua kujur kaki Semar. Mereka berdua yang biasanya dikenal sebagai tokoh satria dan punokawan kali ini tampak seperti teman, akrab sekali, seperti pakde dengan ponakannya. Sesekali terdengar suara tawa Semar terkekeh-kekeh dan Abimanyu yang nggleges.
... Jadi begitu lho anggeeer, kamu faham to sekarang ....
... Inggih kyai, saya sangat berterima kasih, kyai selalu memandu tugas-tugas saya dalam memimpin para kawulo alit ...
... Nhaaa, bagus itu, yang penting kita semua memang harus ekstra hati-hati, karena sekarang ini ada beberapa aktor handal di sekitar kita yang tampaknya seperti membantu, padahal mereka sedang mencari peluang untuk mendapatkan keuntungan demi kepentingannya sendiri-sendiri, lupa kepada kepentingan para kawulo alit yang seharusnya dilindungi ...
Ingat, ndiko ini diharapkan menjadi pengayomannya para kawulo, angger harus menjamin ketenteraman hidup para kawulo, agar mereka bisa bekerja dengan tenang untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing sesuai dengan tugas dan kedudukannya sendiri-sendiri ...
Jajal to gagasen, di antara para pembantu raden yang sak bendoyot itu, mana seh, yang ikut mikir susahnya kawulo Ngamarto mendapatkan minyak-tanah, gas elpiji, atau kedele bakalnya tempe? Ra ono nggeeeerrr. Gitu itu rak ciloko mencit, to ?
... Jadi ?
... Memang perlu dilakukan seleksi, guuus, siapa yang sebenernya sehati dengan andiko, siapa yang pura-pura sehati, siapa yang ikut sana ikut sini, dan siapa yang arif bijaksana mempelajari situasi untuk kemudian dijumbuhke dengan kebijakan yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan rakyat ndiko ...
... Maksud kyai ini, pertengkaran ini sebenarnya cuma dibuat-buat to, yang tujuannya untuk milah-milah siapa yang benar-benar baik dan siapa yang baiknya dibenar-benarkan. Gitu to kyai?
Meledak tawa kyai Semar berderai-derai di dalam kamar. Perutnya berguncang-guncang dan airmatanya sampai berlinangan. Dielusnya mbun-mbunan Abimanyu Ongkowijoyo momongannya dengan penuh kasih
... Hweh-heh heh heh heh heeeeeh, pancen ndiko ini momongan saya yang cerdas, anggerrrr. Jadi, mari kita bermain bersama sebaik-baiknya, tetapi tidak untuk main-main, yaaa. Paham ?
Mak cessss, hati Abimanyu mendengarnya, langsung diciumnya lutut kyai Semar, pepundennya yang arif bijaksana. Sejenak ruangan hening, masing-masing hanyut dalam pikirannya sendiri-sendiri. Sampai tiba-tiba terdengar gaduh di luar. Langkah-langkah, kursi diseret dan bokong dihempaskan ke atasnya.

... Waaaaah, lha kok tambah gawat ini, mosok kyaine barusan mengangkat Wisanggeni jadi adipati, padahal raden Abimanyu masih belum pergi dari kasatriyan, bisa geger kepati ini nanti ...
Demikian terdengar suara salah satu orang berkata dari luar kamar.
Kyai Semar mendekatkan telunjuk ke mulut, memberi isyarat kepada Abimanyu agar jangan bersuara, dia berbisik:
... Perhatikan baik-baik apa yang mereka omongkan. Catet itu, cerna baik-baik dan pertimbangkan dengan hati-hati setiap perkataan siapapun. Gunakan hati nuranimu, kenalilah mereka masing-masing...
... Tetapi yang ngangkat Wisanggeni itu siapa kyai ??? ...
... Tenang saja, itu cuma bikin-bikinan saya, kloning ciptaan saya, namanya Semar mendem, penganan uenak kesukaan saya kok, bukan Semar yang sungguhan. Wis to, tenang saja. Semar yang asli sekarang kan sedang mbok pijeti to nggeer. Wis teruskan mijetnya, sampek saya ketiduran yaaa ...
... Nggiiiih kyaine, nyuwun pangestu...
... Iya,ya,ya,ya, saya pengestoni.
Sejenak kemudian tertidurlah kyai Semar Bodronoyo.

Jauh di luar sana
di pendopo kraton Ngamartopuro, di kesatrian Plongkowati, di kesatrian Madukoro, di kesatrian mobrig kompi jisamsoe dan kesatrian kecil-kecil lainnya para tokoh publik dan pejabat masih sibuk dengan pembicaraan masing-masing. Ada yang glenak-glenik mojok sambil sudut matanya mlirik ke sana kemari, ada yang tangannya jepaplangan dan suaranya lantang, ada lagi yang cuma mesam-mesem tebar pesona ke sana ke mari.

Dan tiba-tiba pergelaran wayang berhenti, karena dalangnya kebelet kencing, lari ke toilet. Maklum, dalang anyaran.

03 April 2008

Horeeee, Bapakku selalu di depan

Jantung ini serasa mendadak mengerut tiba-tiba, ketika sebuah sepeda motor dengan cepat menyilang jalan di depan kendaraan saya yang sedang melaju. Sangat mendadak, sangat di luar dugaan. Klakson saya pencet secara reflek, dan saya pencet beberapa detik kemudian sebagai kompensasi atas kekagetan saya. Pak Polisi yang sedang berjaga di rambu pemisah lajur di depan saya matanya melotot memperhatikan saya, yang saya sambut dengan beberapa kali geleng-geleng kepala. Maksud saya, saya sangat tidak suka atas kejadian tadi, yang beliau juga melihatnya sendiri. Pak Polisi itu mungkin heran melihat ekspresi saya, tetapi sekejap kemudian dia kembali kepada tugas rutinnya dan membiarkan saya lewat di sampingnya.
Pagi itu lalu-lintas di seputar Tugu Pahlawan sangat padat. Mobil, motor, bus, semua seakan tumpah menderu pada saat bersamaan, tepat ketika lampu lalulintas berubah hijau. Jalan lapang di hadapan seolah-olah menantang sekaligus memberi peluang bagi siapapun untuk bersicepat menuju tujuan masing-masing. Motor bersilangan meraung beradu depan, persis seperti suasana balapan di sirkuit Jerez, atau seperti di iklan-iklan motor dalam televisi yang menanamkan sugesti : gesit, paling depan, tak tertandingi, lincah dan seabreg sugesti yang menggambarkan kecepatan.
Motor yang menyilang jalan saya tadi, dikemudikan seorang bapak berseragam kerja kantor, membonceng puteranya yang menurut pengamatan saya sekitar kelas tiga sampai lima Sekolah Dasar. Si bapak mengenakan helm, anaknya tanpa helm.
Tadinya, rasa terkejut bercampur marah masih menyesakkan dada saya, tetapi ketika kemudian di depan sana saya lihat beliau menurunkan puteranya di depan gerbang sekolah, dan puteranya menyalami tangan bapaknya seraya mencium tangan itu, buyarlah kemarahan saya berganti dengan rasa takut dan kasihan.
Andaikata,
Motor tadi menyerempet kendaraan saya atau kendaraan lain, lalu mereka terjatuh di jalanan ramai .....
Saya atau seseorang lain dibelakangnya tidak cukup cepat mengerem lalu melindasnya ....
Mereka jatuh, berdarah,
Tangan, kaki,
Kepala ....
Tidak sadar ....
Tewas ....
Rasanya saya kemudian menjadi sangat bersyukur masih dapat melihat adegan cium tangan anak-bapak di depan gerbang sekolah. Sebuah sekolah yang telah dipilihkan bapak untuk anaknya, dengan harapan agar anaknya mendapat pendidikan terbaik, mempunyai jiwa religius, pintar, berbakti kepada orang-tua, taat kepada hukum dan aturan, dan sebagainya-dan sebagainya.
Rasanya saya melihat bapak anak itu bertatapan dengan bangga, ketika si anak kemudian dapat menyelesaikan sekolahnya dengan angka-angka yang bagus, dan si bapak bersyukur, tidak sia-sia dia telah memilihkan sekolah yang baik untuk anaknya, membiayai, dan mengantarnya setiap pagi beberapa tahun sejak kelas satu. Berusaha tepat waktu, sebelum gerbang sekolah ditutup.
Kalaupun dia bersicepat di jalanan, tujuannya hanya satu, agar si anak tidak terlambat sekolah. Itulah pula pertimbangannya membeli menggunakan motor, karena dapat lebih gesit mencari jalan luang di tengah sesaknya lalu-lintas pagi hari. Dan sore hari, anaknya menunggunya dijemput sepulang bapaknya dari kantor, sementara sekolah selesai beberapa jam sebelumnya. Yang terpikir hanyalah: segera sampai di rumah, agar si anak dapat segera makan dan beristirahat. Diapun melakukan adegan ulang kembali, bersicepat, kali ini di jalanan pulang.
Saya tidak dapat membayangkan, akankah saya secara otomatis akan bertindak seperti bapak itu ketika berada pada kondisi dan situasi serupa?
Ngeri.
Andaikata saya adalah Bapak itu, dan dia adalah saya, dan kecelakaan itu terjadi,
sungguh, saya tak mampu membayangkannya.
Sudahkah kehidupan kota tidak memberi kesempatan bagi kita untuk ‘menjadi manusia yang baik’ secara utuh, dalam arti, bukan hanya baik terhadap keluarga, anak, tetapi juga peduli terhadap orang lain meskipun orang itu tidak dikenalnya ?
Apakah baik kepada anak, dengan peduli kepada jam sekolah anaknya, dan juga dengan taat kepada aturan sekolah anaknya berarti yang lain kemudian menjadi nomor dua dan bahkan tidak perlu bernomor ?
Pada pikiran saya, oke lah, keterkejutan dan kemarahan saya sekarang sudah hilang, tak ada lagi, tetapi bukankah bapak itu tadi secara tidak sadar telah ‘merusak’ pemahaman anaknya dengan melakukan tindakan yang kontroversial, karena di saat berusaha tertib agar sampai di sekolah, secara bersamaan dia membahayakan diri-sendiri, diri anaknya dan orang lain dengan perilakunya yang tidak tertib dalam berlalu-lintas ?
Bukankah kemungkinan akan timbul persepsi pada anaknya, bahwa aturan lalu lintas tidak terlalu penting karena yang lebih penting adalah sampai di sekolah sebelum gerbangnya ditutup ? Yang akan disimpulkan bahwa, kepentingan ‘saya’ yang paling utama, kepentingan dan kenyamanan ‘anda’ bukan urusan saya.
Inikah generasi masa depan yang sedang dicetak di sekitar saya ?
Saya jadi cemas, jangan-jangan besar pula andil saya dalam mengacaukan dan menjungkirbalikkan tatanan yang semestinya. Cuma saya tidak merasa bahwa saya telah, sedang dan bahkan masih terus melakukannya ....
Saya membayangkan, si anak, ketika bapaknya mengebut berliku-liku di jalanan, dia suka dan bangga: Horeee, bapakku jagoaaaaan ...!!! Ayooo ....
Sementara si bapak sebenarnya dalam hati sedang menggerutu: ini gara-gara kamu terlambat bangun ...
Sesuatu yang sangat berbahaya, bukan sekedar apabila terjadi kecelakaan, tetapi karena racun persepsi bengkok, yang menyusup ke bawah sadar anak-anak, hasil dari tindakan rutin sehari-hari yang kita lakukan, tetapi tidak pernah kita renungkan bagaimana yang seharusnya, karena kita tidak pernah merasa punya waktu untuk merenung diri, karena waktu untuk merenung telah tersita oleh kegiatan sehari-hari, sedang sisanya untuk melepas penat, agar besok badan segar untuk bekerja lagi.
Tampaknya kita sedang menggali sebuah lubang yang sangat besar untuk mengubur peradaban kita, sekaligus diri kita sendiri ke dalamnya.
Indikasinya, tindakan-tindakan brutal yang sedang terjadi di mana-mana di antara elemen-elemen masyarakat, antara sesama warga dan saudara dengan baku-pukul dan baku-serang. Belum lagi yang telah dilakukan secara ‘elegan’ dan ‘lebih beradab’ melalui baku-bantah lewat lidah-lidah berapi yang terkadang secara tendensius memang tampak ditujukan untuk membakar emosi siapapun yang mendengar dan menyaksikannya, dan bukannya untuk membuat kita benar-benar menjadi lebih beradab.
Benarkah kita sudah belajar secara benar dari ajaran-ajaran baik kita masing-masing ?

Durmogati

Kalau ada keponakan yang paling senang menyela pembicaraan, dia adalah keponakan saya Durmogati. Seorang pejabat teras, adik dari keponakan saya yang lain. Kamu tidak usah bingung. Memang semua pejabat teras di kerajaan ini bersaudara satu sama lain, kalau bukan adik, kakak, ipar, paman, ataupun keponakan, paling tidak mereka adalah salah satu dari kerabat pejabat, jadi masing-masing memiliki link sangat erat satu sama lain bahkan sampai ke pejabat tertinggi.
Saya sendiri adalah paman dari Duryudono, raja, sang pejabat tertinggi, karena adik saya kawin dengan bapaknya. Saya bisa dibilang orang ke dua dalam jajaran apapun, mulai dari eksekutif, yudikatif maupun legislatif.
Sebagai orang ke dua sebenarnya kekuasaan saya jauh lebih besar dari itu, karena hampir seluruh kebijakan berasal dari saya. Adapun Duryudono yang menjadi pejabat tertinggi secara formal dalam prakteknya adalah tukang stempel semata, karena setiap keputusannya sebenarnya terbit dari pikiran, pertimbangan dan perhitungan saya.
Durmogati, keponakan saya yang tukang menyela tadi adalah seorang keponakan yang baik, kesetiaannya kepada pamannya ( yaitu saya ) tidak perlu diragukan, selalu seratus persen komit. Apapun yang ditugaskan kepadanya akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, meskipun untuk itu dia harus pulang dari tugas dengan muka bengep dan tubuh bonyok babak-belur. Itu angka kredit utama untuk dia.
Kredit yang ke dua, dia tidak pernah suka berbantahan. Dalam kancah adu pendapat internal antar-pejabat, biasanya dia akan menyetujui pendapat apapun yang disampaikan oleh siapapun, pendapat yang berlawanan akan sama-sama didukung oleh keponakan saya ini, sehingga dia tidak pernah punya kawan atau lawan sekaligus. Keponakan saya yang satu ini memang teman bagi siapapun. Tetapi yang paling penting bagi saya, apapun kata akhir yang saya putuskan dia adalah pejabat yang paling dahulu akan menyatakan siap mendukung sepenuhnya, meski apapun risikonya.
Kredit yang ke tiga, dia sangat jarang mempunyai pemikiran orisinil, dengan demikian dia tidak pernah potensial menjadi pembangkang bagi kebijakan saya. Barangkali itu karena dia jarang mau berpikir dan menggunakan nalarnya dalam menyelesaikan tugas dan menghadapi masalah. Kalaupun terbentur masalah, dia akan datang kepada saya dan dialah pejabat yang paling sering melakukan konsultasi dan audiensi dengan saya. Kadang-kadang, belum lagi tugas dilaksanakan dia sudah datang kepada saya untuk bertanya bagaimana caranya melaksanakan tugas tersebut. Tapi tak apalah, toh dengan demikian saya menjadi sangat mudah mengontrol setiap gerakan dan langkah-langkah yang dilakukannya.
Berikutnya, angka kredit yang ke empat: dia adalah seorang pejabat yang paling transparan, dalam arti tidak pernah merahasiakan sesuatu kepada saya maupun publik. Apapun yang diketahuinya selalu disampaikan dengan utuh kepada saya. Dia adalah nara sumber yang sangat kaya informasi. Tentang apapun. Mulai dari info tentang kebijakan, gosip, maupun info-info yang lain. Saya tidak tahu, dari mana saja dia memungut info ini semua serta siapa saja nara-sumbernya. Kemampuannya mengimprove informasi ini sangatlah berguna bagi saya, karena sebagai pejabat paling penting di kerajaan, saya membutuhkan info-info seperti ini untuk mengamankan jalannya pelaksanaan kebijakan saya.
Seringkali tanpa saya minta, dia datang kepada saya membawa issue paling gres tentang sesuatu, tentu saja saya dengan senang hati memberikan kesempatan seluas-luasnya dan secukup-cukupnya, karena informasinya sangat luas dan sudah diolah secara matang sehingga siap santap. Saya terkadang terkejut dan heran, keponakan saya yang satu ini mestinya cocok menjadi pejabat intelijen, namun terpaksa tidak saya posisikan di sana karena seorang yang bekerja sebagai intelijen sebaiknya juga bekerja secara rahasia dan oleh karenanya sebaiknya tidak menjadi pejabat publik, sedangkan dia lebih suka menjadi pejabat.
Sayangnya, fragmen-fragmen dari informasi konfidensial ini sering bocor di luaran. Ada yang persis plegg, ada yang sudah berkembang dan ada yang bahkan kontoversi. Semula saya mengira itu berasal dari sumber primer (yang memberi info kepada Durmogati), tetapi setelah saya usut dengan cara saya, ternyata sumber kebocoran ini berasal dari Durmogati sendiri yang selalu berpesan “ sssst, jaga rahasia ini ya, buat kita berdua saja” kepada setiap orang yang diberitahunya. Yang kurang-ajar memang orang-orang itu, mestinya mereka benar-benar mentaati pesan, bukan kok malah saling membocorkan rahasia yang sama, yang akhirnya membuat rahasia bukan lagi sebagai rahasia. Tetapi tak apalah, toh pada akhirnya masih lebih berkuasa saya daripada Durmogati atau siapapun.
Sebenarnya sebagai paman saya harus bisa mendidik Durmogati, agar citranya sebagai pejabat benar-benar baik. Bagaimanapun dia adalah keluarga saya, keponakan saya sendiri yang harus saya jaga dan asuh sebaik-baiknya, dan bukan saya manfaatkan untuk kepentingan saya pribadi. Tetapi, rasanya cukup sulit bagi saya untuk menjaga dia secara khusus, karena keluguan dan keterbukaannya itu. Jangan-jangan nanti malah dia bicara kepada umum bahwa saya mengistimewakan dia, atau setidak-tidaknya dia akan menyampaikan kepada setiap orang “ sssst, jangan bilang kepada siapapun lho ya, paman itu sangat percaya dan dekat kepada saya, lho, karena sayalah keponakan yang paling disayangi dan paling sering diajak omong-omong penting”. Kalau begitu, mampuslah saya nanti diprotes oleh pejabat yang lain, sementara saya mengajak dia bicara adalah karena saya ingin mendidiknya secara khusus dan intens.
Yang mungkin menderita dari keadaan kepribadian Durmogati yang seperti ini barangkali adalah para pejabat bawahannya dan para anak-buahnya. Mereka seperti anak elang yang diasuh bebek. Tidak bersarang di pucuk pohon tetapi di sudut semak, bukannya diajak terbang tetapi malah berenang-renang ria. Anak-anak elang ini tidak akan tumbuh sebagai elang meskipun paruhnya bengkok dan setajam pisau, badan tegap sayap kuat tetapi tak pernah melihat angkasa. Durmogati tidak pernah mengajari dan mendidik dengan baik, meskipun sebenarnya dia pintar. Bagaimana tidak pintar kalau dia adalah seorang pejabat, dan bagaimana dia tidak pintar kalau dia bisa memiliki anak-buah.
Saya sering berpikir bahwa ini adalah kesalahan saya juga karena yang ikut memilih dan menempatkan bawahan-bawahannya adalah saya, yang menyetujui dan mengesahkan kebijakan-kebijakan minornya adalah saya. Dan saya sering menjadi takut andaikata suatu saat terjadi hal yang buruk dalam kerajaan ini akibat keteledoran dari Durmogati yang berjalan sendiri tanpa sepengetahuan saya. Saya juga sering khawatir pada suatu saat dia lengah dan terjerumus ke dalam kesulitan akibat kelakuannya. Saya akan merasa sangat bersalah, karena bagaimanapun dia adalah keponakan saya, anak dari kakak saya, dan bagaimanapun sayalah yang mengasuh dan membesarkannya, yang mengangkat dan menempatkannya pada posisinya sekarang.
Andai bisa, saya akan panggil dia, dan saya akan berbicara kepadanya begini:
O alah Duuur, Dur, Durmogati naaak, keponakan paman yang sangat paman sayangi, bagaimana lagi paman harus mengasuhmu nak, sementara kamu ini sudah gede-tua, punya tanggung-jawab kepada keluarga, kerajaan dan anak buah. Sadarlah kamu tholeee, anakku, pamanmu Sengkuni ini sudah capek ngurus kalian semua. Kamu dan saudara-saudaramu yang banyak ini, jaga diri ya naaak, hati-hati. Jaga perilakumu, jangan sampai mencelakakan dirimu, mencelakakan keluargamu, pamanmu, kerajaan di mana kamu hidup, jangan sampai mencelakakan anak-buahmu, jangan sampai menghancurkan integritasmu. Kamu ini pejabat lho leee, jaga sikapmu, jangan jadi bahan tertawaan di antara para pejabat dan saudaramu, apalagi di antara para bawahanmu. Janganlah engkau memalukan aku, pamanmu ini.
Tetapi saya tidak bisa dan tidak akan melakukannya, khawatir dia akan bercerita kepada semua orang bahwa saya, Mahapatih Sengkuni, memanggilnya dan kemudian tampak menangis dihadapannya. Bisa jatuh martabat, kewibawaan dan kehormatan saya di depan rakyat dan para pejabat, bila hal itu terjadi dan lalu didramatisasi serta disebarluaskan demikian oleh Durmogati keponakanku itu.
Demikianlah para pembaca yang budiman, hal yang terjadi ketika Mahapatih Arya Sengkuni, perdana menteri kerajaan Astinapura memanggil saya dalam audiensi khusus di kepatihan. Saya dipanggil pada suatu sore, beliau menghendaki untuk berbicara empat-mata dengan saya, yang ternyata beliau mencurahkan isi hatinya dan saya memperhatikan dengan baik semua kata-katanya. Kami berbicara atau tepatnya, beliau yang berbicara dan saya mendengarkan dengan takzim, sambil menyeruput wedang kopi jahe hangat beraroma kapulaga, ditemani gorengan tempe gembus iris tipis terbalut pohung parut dibumbui bawang-uyah dan sedikit ketumbar, yang disuguhkan oleh abdi-dalem. Sementara di bangsal samping, bunyi gending ladrang Sri Rejeki mengalun lamat-lamat ditabuh para nayaga kepatihan, ditingkah gemericik air kolam berisi ikan waderbang yang di tengahnya bermekaran kembang teratai putih.
Sore yang cerah, di kepatihan Astinapura, dan di hadapan saya seorang Mahapatih yang mencurahkan uneg-uneg dari dalam hatinya. Kasihan sekali Mahapatih Sengkuni, telah memendam rasa begitu dalam atas perilaku keponakannya. Dan lebih kasihan lagi Durmogati, yang sudah gede-tua masih belum mengerti juga dampak dari segala yang telah dilakukannya.
Saya pulang senjahari, ketika halaman kepatihan mulai sepi, dan pelita mulai dinyalakan di pintu-pintu rumah. Bulan limabelas hari sebentar lagi akan terbit, bulat keemasan. Dari balik pintu rumah yang saya lewati, terdengar tembang sayup-sayup. Megatruh, mengantar Astinapura menjalani malamnya. Mengantar Durmogati berangkat tidur nyenyak, seperti tak pernah ada apa-apa.

Bulan limabelas hari menerangi sepanjang jalan saya pulang ke rumah. Di sana nanti, saya akan cerita tentang pertemuan saya dengan Mahapatih Sengkuni kepada para kerabat .
Pertemuan luarbiasa yang pernah saya alami sepanjang pengalaman hidup hingga saat ini.

01 April 2008

Lauk-pauk

Yang menyebabkan saya menulis tentang hal ini adalah pak Permadi yang menginformasikan besarnya salah-satu tunjangan gaji dari anggota DPR-RI.

Lauk adalah teman makan nasi. Di dalam kuliner Barat saya tidak tahu padanannya, karena saya terlalu bingung dengan tata-boga mereka.
Yang saya tahu paling-paling ya makan nasi dengan lauk dan sayur, dilanjut dengan pisang atau saudaranya yang lain, kalau ada. Jadi tak ada itu yang namanya appetizer, pembuka, menu utama, penutup, dessert, dan sebagainya, yang barat banget itu.
Tapi ternyata kebiasaan makan saya dengan lauk ini menjadi standar ABRI lho. Buktinya ? Saya pernah baca bahwa dalam komponen gaji tentara Republik Indonesia ada yang namanya uang lauk-pauk. Nah, jadi betul kan kalau kebiasaan makan saya digunakan sebagai standar oleh ABRI?
ABRI lho, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, tentaranya negara kita.
Tentara yang punya doktrin paling hebat sedunia, yang menurut pak Jaya Suprana dalam sebuah diskusi tentang strategi Sun-Tzu, mengatakan bahwa doktinnya ABRI kita diakui hebat oleh Westpoint dan akademi militer Jerman.
Bukan main.
Saya tidak tahu, mengapa mereka mengakui hal itu. Sekedar basa-basi, karena sudah mengkaji secara ilmiah (untuk kemudian mengadaptasi) atau yang lain lagi, yang jelas saya tiba-tiba menjadi terperangah ketika beberapa hari yang lalu koran Jawa Pos dalam salah satu beritanya mencantumkan grafis perbandingan penghasilan ABRI dengan Tentera Diraja Malaysia dan Singapur. Ya ampuuun, jauh sekali kita di bawah mereka penghasilannya.
Jadi, mungkin lauk saya yang perlu ditingkatkan ragam, berat, mutu dan frekuensi makannya ya! Supaya mengimbas kepada tunjangan lauk-pauk ABRI kita?
Lha tapi kalau begitu, penghasilan saya juga perlu ditingkatkan dulu dong, supaya lauknya juga meningkat signifikan, kan ini nanti akan digunakan sebagai standar.
Wah, tampaknya pak Presiden dan para Mentri musti kerja keras nih, juga terutama pak Permadi dan kawan-kawannya anggota parlemen yang tunjangan sewa rumahnya sebulan tigabelas juta rupiah itu.
Saya sih bantu-bantu dengan pulsa untuk ngeblog-in info ini saja, semampu saya.