28 Maret 2008

Iwak tempe dan iwak sambel

Syahdan,
Para pakar biologi nasional, regional maupun dunia jadi mumet tuju-keliling, karena di (seluruh antero) Surabaya diam-diam sudah sejak lama terdengar adanya selentingan tentang ikan-ikan spesies baru. Diantaranya adalah iwak tempe, iwak sambel, iwak krupuk. Spesies langka ini hidupnya bukan di air, tapi di rumah-rumah orang, di atas meja, di warung-warung nasi. Dan keberadaannya sungguh singkat, nyaris tidak pernah lebih dari 24 jam sejak dilahirkan sampai masa ajalnya, terkecuali jenis iwak krupuk, yang umurnya bisa lebih dari seminggu asal ditutup rapat di dalam kaleng atau stoples.
Saya pada waktu pertama kali mendengar hal ini juga kaget, seperti apakah gerangan bentuk dan keadaan iwak-iwak ini. Ketika kemudian melihat sendiri saya jadi kheki, karena ternyata ini bukan mahluk hidup seperti iwak-iwak yang lain tetapi benar-benar tempe, sambel dan krupuk yang sudah sangat saya kenal sebelumnya. Predikat iwak atau ikan, ditambahkan oleh wong Suroboyo sebagai pengganti predikat lawuh atau lauk. Jadi, mangan karo iwak kecap artinya makan nasi dengan leleran kecap di atasnya. Demikian pula iwak tempe, benar-benar tempe yang digunakan sebagai lauk kawan makan nasi. Faham ?
Bagaimana asal-muasal istilah iwak tempe dan kawan-kawannya tersebut saya masih belum tahu, tetapi sebenarnya di sebagian penduduk berbahasa jawa istilah iwak yang berkonotasi lauk juga biasa digunakan. Anda dengar iwak pitik, iwak sapi, iwak wedhus dan iwak kebo ? Iwak yang ini maksudnya adalah lauk yang berasal dari daging ayam, sapi, kambing atau kerbau. Jadi iwak berarti daging. Mungkin karena bagi orang suroboyo jaman dulu lauk daging-dagingan ini adalah makanan orang-orang berklas tinggi yang tidak murah, kemudian masyarakat klas bawah mencoba meng-upgrade sambel, tempe dan krupuk sebagai iwak, supaya bahan-bahan tersebut terangkat derajatnya setara dengan daging. Jadi, makan dengan iwak tempe tak kalah gengsi dengan iwak pitik.
Sebelum saya akhiri, mari kita dengarkan sebuah seruan yang perlu diperhatikan bersama oleh Mentamben dan Pertamina di tengah kelangkaan mitan, Menperindag di tengah kelangkaan migor dan Menkes ditengah merebaknya gibur:
Iwak kecap?? Siapa takut !
Semoga Presiden membacanya.
(Presiden blogger, kali ya?)

27 Maret 2008

Pangkat dan Rejeki

Senyam-senyum kecut saya membaca sms teman dari jauh yang lagi suntuk. Berawal dari sms tentang blog, buntutnya cerita tentang promosi karyawan. Pada musim promosi di Perusahaannya, beberapa karyawan yang usulan promosinya ditangguhkan, dihibur oleh para atasan dengan kata-kata copy-paste: Sabar saja, pangkat dan rejeki sudah diatur oleh Tuhan yang Mahakuasa. Hiburan klasik yang sulit diterima oleh para karyawan yang rata-rata sudah makan kampus, para penyandang gelar S-1 dan S-2 yang sudah terbiasa dengan analisis dan statistik.
Saya juga heran, hare gene masih ada hiburan (yang sebenarnya vonis) copy-paste seperti itu. Mbok ya dibuka saja, biar yang bersangkutan bisa melihat dan memahami dasar penolakan dari usulan promosinya. Ukurannya seberapa, mutlaknya seberapa, relatifnya seperti apa, kebutuhan Perusahaan dan kemampuannya bagaimana, dan seterusnya. Jangan kok gampangan mewakilkan putusan kepada kekuasaan Tuhan, hanya agar bawahan tidak bertanya lagi. Atau, kalau mau dispiritualkan ke sana ya ndak apa-apa, tetapi yang realistis berdasar aturan dan kenyataan dibuka dulu. Dijabarkan dalam angka-angka yang dimengerti, atau lebih baik lagi dimengertikan kepada ukuran-ukuran sebelum penilaian dilakukan, sehingga sama-sama enak. Baru setelah itu diskusikan nilai-nilai spiritualnya.
Ketika seseorang berhenti sebagai karyawan pada kedudukan pemimpin entah karena mutasi, pensiun atau berhenti, rasanya bukan sebuah kisah sukses, kalau kepergiannya diantar dengan cibiran oleh para bekas bawahannya.

Ada teman yang bercerita kepada saya bahwa di tempatnya bekerja seorang pensiunan manajer SDM yang sudah sepuh ketika mau masuk ke lift diganggu oleh para karyawan bekas anak-buahnya yang mengidap dendam dengan cara didesak-desak sampai beliau oleng hampir jatuh. Kasihan juga, kata teman saya tadi. Ternyata bapak bekas manajer tadi sangat tidak disukai kala menjabat karena kesewenangannya. Tentu deskripsi kesewenangan menurut para anak buah belum tentu seluruhnya benar, tetapi kalaupun tidak seluruhnya benar, gangguan kepada bapak tadi sudah memberikan gambaran apa yang terjadi di tempat kerja semasa sang bapak menjabat.
Saya kok menduga bahwa komunikasi di tempat itu tidak berjalan dengan baik, sehingga kesalahpahaman akhirnya berbuntut menjadi kesumat pribadi.

Seorang bawahan biasanya mengharapkan atasannya adil dan bijak, seorang atasan mengharapkan bawahannya setia dan jujur. Kalau hanya ini saja, menurut saya tidak akan memberikan jaminan bahwa tugas akan berjalan dengan baik. Bagaimana kalau semua dikenakan kepada semua, atasan juga setia kepada bawahan dan jujur tentang apa yang dilakukannya, dan bawahan harus adil dalam melakukan tugasnya serta bijak memahami kesulitan atasan.
Sesuatu yang sangat panjang dan debatable. Tetapi akan lebih baik kalau sebelum diperdebatkan dengan orang lain, diperdebatkan dalam diri sendiri masing-masing. Agar tidak secara gampangan menggunakan Tuhan sebagai penghenti urusan pangkat dan rejeki. Karena Tuhan yang Mahakuasa terlalu Maha bagi kita, manusia yang lemah, sehingga tidaklah pantas kita menyebut AsmaNya untuk menutupi kelemahan kita. Maaf.

Curah, curas, curat, curanmor, curhat

Orang kita memang pandai sekali membangun singkatan kata-kata baru. Lihat saja, sejak jaman Manipol-USDEK di akhir tahun limapuluhan hingga sekarang, tak henti-hentinya kita membangun singkatan baru. Memang barangkali semangat membangun sudah merupakan bawaan lahir masyarakat. Membangun untuk kemudian melupakannya. Dengan segala alasan dan masalahnya. Di bidang apa saja. Mulai dari kata-kata sampai pabrik gula.
Saya sering ngenes (apa ya bahasa Indonesia yang pas? berduka hati, barangkali?) melihat patung pahlawan bangsa yang berdiri di perempatan Siola Surabaya. Patung yang dulu dibangun dengan tujuan untuk memuliakan Surabaya sebagai satu-satunya kota yang berpredikat Kota Pahlawan, sekarang dikentutin oleh bangunan pos polisi lalu-lintas, sehingga musnahlah sudah kesan monumentalnya, apalagi kesan heroiknya, apalagi ‘suroboyo’nya.
Itu cuma salah satu ilustrasi, bahwa membangun itu gampang. Asal ada rencana, ada anggaran, ada pelaksana, ada pengawas, bereslah sudah. Apalagi membangun bahasa yang tidak perlu anggaran, karena cukup bondho abab, bermodal bicara.

Ketika berhadapan dengan kata curah dan seseorang tidak tahu artinya maka dia tinggal membuka kamus, selesai. Maknanya segera dapat tertangkap:

  • Beras kuning dicurahkan oleh pengantin lelaki ke haribaan pangkuan pengantin perempuan.
  • Air hujan tercurah dari langit bagai tak hendak berhenti.
  • Minyak goreng curah digelontorkan ke pasar untuk menekan kenaikan harga.
  • Dan sebagainya
Begitu berhadapan dengan head berita: Curas di Perumahan Elit. Wah, bingung pada awalnya, tetapi setelah dibaca isi beritanya, mulai manggut-manggut mafhum. Ternyata curas adalah kategori kejahatan yang merujuk pada pasal sekian KUHAP, begitu juga curat dan curanmor.

Curhat. Ini lain lagi, bahasa aslinya sebenarnya ‘sangat melayu’: curahan hati. Tapi tiba-tiba menjadi ngepop-kontemporer ketika direnovasi menjadi curhat. Barangkali terinspirasi oleh curat, curas dan curanmor ya!
Sejarah curhat ini rupanya sudah berjalan cukup lama, mungkin sama tuanya dengan sejarah curas dan curat yang sama ‘cu’-nya tapi beda buntut dan kepanjangannya. Diawali dengan konsultasi pribadi semacam yang dilakukan oleh Ki Ageng Similikithi. Dulunya sih langsung verbal empat mata ( TUKUL = too cool !), lalu tekstual (dengan surat tertulis) tetapi masih empat mata, dua mata penulis dan dua mata pembaca. Jaman tambah maju, pakai telepon (bukan tilpun) atau dua telinga, satu telinga milik pencurhat satu telinga milik tercurhat. Ketika tiba pada era teknologi informasi, curhat di tulis di koran, ditayangkan di televisi (juga bukan tilvisi) bahkan di internet. Dan curhatnya menjadi bagian dari bumbu kehidupan bermasyarakat.
Yang dicurhatkanpun sudah sangat beragam sekali, mulai anak suka ngompol sampai pemimpin negara yang sewenang-wenang. Mulai yang biasa sampai yang luar-biasa. Mulai yang bersahaja sampai yang berbahaya bagi kehidupan berkeluarga-bermasyarakat sampai kehidupan bernegara dan umat manusia. Wah terlalu lebar ya, kembali sejenak ke awal ah !

Guru ilmu goniometri saya waktu SMA dulu, almarhum pak Winoto Sugeng, adalah seorang pelatih paduan suara. Ketika menjelang peringatan hari Sumpah Pemuda tim paduan suara sekolah kami harus tampil di pendopo Kabupaten Purworejo, beliau melatih kami menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dalam versi asli, versi WR Soepratman tahun 1928. Di bagian reffrain yang sekarang dilagukan: Indone-sia raya, merdeka merdeka, bunyi aslinya adalah Indones Indones mulia mulia.
Nah, sampai sekarang saya masih belum tahu, kenapa almarhum WR Soepratman membahasakannya dengan Indones (yang biasa dilafalkan sebagai endones), dan kenapa kemudian menjadi IndonesIA. Itu masih menjadi pertanyaan besar bagi saya. Dan pertanyaan lanjutannya adalah: kalau dahulu yang pendek dipanjangkan, sekarang kok justru kita suka bikin kependekan kata ya?
Yang repot lagi, sesudah dipendekkan lalu dilupakan, contohnya : hayooo, siapa masih ingat kepanjangan dari USDEK ?

Kalau saya sih masih sangat ingat sekali: Unjukan Sarta Dhaharan Enggal Katelasna.
Artinya : ngawur pol!

26 Maret 2008

Tempe Bacem

Entah kenapa awalnya, ketika mengantar isteri belanja ke pasar Pucang tiba-tiba saya sangat kepengin tempe bacem goreng anget yang digadho dengan nyeplus lombok rawit. Hwahh hsss.... Membayangkannya saja jadi ngiler.
Tempe bacem, tahu bacem yang terkadang bersaudara dengan babat bacem, dalam kuliner jawa termasuk golongan lawuh, atau indonesianya lauk (pauk – kalau macamnya banyak). Pada kategori lawuh ini termasuk juga ikan pepes, ikan goreng, tahu-tempe goreng dan goreng-gorengan yang lain. Semua nya menjadi pendamping nasi dan jangan. Lha ini apa lagi?
Jangan ( yang satu ini maksudnya sayur yang dimasak) biasanya berkuah, bisa encer atau kental, malah kadang-kadang setengah atau hampir kering (ingat? Gudheg !) ‘Jangan’ yang berkali-kali dipanasi (di-nget - jawa) ada yang menyebut dengan blenggrang. Blenggrang yang paling enak biasanya adalah blenggrang ‘jangan’ lodeh. Jadi: ada nasi, jangan dan lawuh dalam sistem kuliner jawa. Eh, 3 in 1 lagi.
Kembali ke tempe bacem.
Dulu, di wetan Njambu Muntilan, ada penjual lawuh bacem-baceman dan goreng-gorengan. Komplit. Barangkali kalau enak sama dengan mak-nyuss, ini masih harus ditambah cleguggg. Uenak tenan pol. Tempe bacem yang bumbunya merasuk sukma, tidak bikin malu kalau dibawa sebagai oleh-oleh kepada pak Presiden sekalipun (eh, kebetulan presiden kita dari pacitan ya, dan pernah di Tidar to?), sumprit!
Ternyata, masak bacem-baceman ini ada varian lainnya, yaitu petis ati sapi. Yang sungguh berbeda dengan petis udangnya Sidoarjo. Petis ati bikinan Muntilan ini paling enak dimakan dengan sego liwet atau sego anget yang di-dang pakai kukusan dan dialasi daun pisang, aromanya mengusik jiwa. Sampai-sampai linak-litu-lingga-lica, lali anak – lali putu, lali tangga, lali kanca. Lupa anak-cucu tetangga dan sahabat, ketika menikmati sego dan petis ati.
Tapi Njambu tinggal kenangan.
Petis ati tinggal memori.
Modernisasi yang sangat giat dilakukan sejak orde baru dan terus berlanjut sampai sekarang ternyata tidak memberi ruang lagi bagi kemanjaan-kemanjaan seperti ini. Nostalgia sekarang menjadi komoditi. Lihat saja, di kota-kota besar, suasana pedesaan dimanipulasi dengan aksesori cangkul, caping, roda pedati, atap damen, disertai lantunan suara musik tradisi yang terkadang nyasar nggak pas dengan format yang tersaji, agar para nostalgiwan-nostalgiwati terobati rindu masa-lalunya.
Nostalgi adalah sebuah komoditi, jadi tempe bacem juga adalah komoditi, ya sah saja. Cuma kalau kemudian atas nama komoditi lalu masaknya dimanipulasi dengan gula pasir, apalagi bahan tempenya sebagian dicampur karag, lha itu sudah menyimpang dari dalil pembuatan tempe bacem yang shahih. Yang nantinya kalau diterak pasti rasanya jadi beda dengan yang seharusnya.
Bagi yang lidahnya tidak terlatih dan peka dengan rasa tempe bacem yang asli, mungkin tempe bacem modifikasi ini dibilang ho-oh saja enaknya, tetapi bagi pakar tempe bacem, dengan melihat, menerawang dan meraba saja sudah pasti tahu keaslian atau kepalsuannya.
Modernisasi juga menghasilkan kesenjangan yang lucu. Seperti pakde Karwo (bukan yang calon gubernur Jatim lho, ini Karwo tetangga jauhnya teman dari misanan iparnya besan saya) yang suatu saat bilang kepada ponakannya:
- Lha kamu, le, mana tahu tempe bacem. Ngertimu lak pitsa, kentaki, spageti yang begitu-begituan. Padahal kita punya tempe bacem, bongko, pelas yang ndak kalah nikmat.
Jawaban sang ponakan sungguh mengagetkan:
- Kapan bude masak yang begituan, pakde? Lagian kan pakde juga yang buka waralaba kentaki di mal xxx sana.
Modar, nggak!!
Yaa, untungnya, isteri saya sungguh pengertian, ketika di pasar Pucang tak kami temukan sepotongpun tempe bacem anget, beliau barusan masak tempe bacem. Itupun dengan bonus: tahu bacem. Dan ketika kemudian digoreng dan dihidangkan anget-anget, Anda bisa bayangkan wahai pembaca, betapa nikmatnya. Sayang ponakan saya nggak ada yang datang, andai saya tahu nomor hp ponakannya pakde Karwo, pastilah saya kabari mereka untuk menikmati tahu-tempe bacem di rumah saya. Tetapi kalau belum keburu habis saya santap lho!

24 Maret 2008

Pengacau

Seorang teman bercerita tentang pengalamannya sebagai salah satu anggota supporting team pada sebuah presentasi tentang pendidikan untuk anak usia dini yang audiensnya hampir seluruhnya para para ibu guru.
Presenternya pakar pendidikan yang sudah sangat berpengalaman serta diakui bahwa konsepnya bagus sekali. Dan untuk itulah beliau dihadirkan untuk menyampaikan konsep tersebut.
Yang menarik bagi teman saya tadi bukanlah konsep dan cara menyampaikan konsepnya, tetapi justru yang dilakukan oleh salah-satu audiens, yakni sibuk berceloteh dengan teman duduknya ketika presentasi sedang berlangsung dengan intensnya. Menerangkan materi presentasi yang mungkin mirip seperti yang pernah diikutinya.
Saya jadi teringat pengalaman lama ketika menonton bioskop, di belakang saya ternyata ada penonton, yang seperti dalang menjelaskan kepada teman nonton di sebelahnya, bahwa nanti sang lakon akan begini-begitu dan ceritanya demikian-demikian dan seterusnya. Terganggu dengan penonton tersebut, saya akhirnya pindah tempat duduk menjauhi sang dalang, melanjutkan menikmati cerita di layar bioskop. Dalam hati: untuk apa dia datang menonton dengan membayar kalau memang sudah pernah menonton? Mungkin karcisnya dibayari teman nontonnya ya? Tapi kalau memang demikian, teman nontonnya kok mau-maunya mengajak dia. Entah kalau memang si teman nonton tadi buta huruf sehingga tidak bisa membaca teks dan sekaligus tidak mengerti bahasa Inggrisnya para koboi di filem.
Tetapi itulah yang terjadi.
Dua keadaan itu mungkin menunjukkan adanya rangsangan emosi dari pelaku untuk mengharapkan pengakuan agar dianggap sudah mengerti dan juga memahami sesuatu yang sedang ditonton atau dipresentasikan. Mungkin juga untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak bodoh dan lebih faham dibanding yang lain.
Salah seorang teman saya yang juga seorang presenter, menyampaikan trik untuk mengendalikan dalang seperti itu, yakni dengan mengajak si dalang tadi untuk duduk di samping tempat duduk presenter dan dengan sedikit basa-basi mengobrol di hadapan audiens untuk ‘mengunci’ dalang tadi, dan kemudian melanjutkan presentasinya sementara si dalang terikat untuk duduk tenang di podium. Demikian trik untuk menyisihkan dia dari kawanan yang dilakukan dengan arif.
Pernah pula pembicara tak resmi diajak oleh salah-satu anggota tim presenter untuk pindah ke tempat lain dengan dalih agar dapat berkenalan lebih jauh sekaligus untuk menggali pengalaman si dalang yang dikatakan ‘cukup menarik’. Trik-trik yang bagus dan cool.
Coba misalnya orang tadi diminta diam atau mungkin diusir dari presentasi, tentu akan mengganggu suasana dan konsentrasi audiens yang lain. Dan yang pasti mood presenter akan kacau.
Pengacau seperti itu mungkin adalah aset yang terpendam, yang dapat bermanfaat bagi kita dan orang lain kalau kita bisa menggali dan mengasahnya, karena paling tidak dia memiliki rasa percaya diri dan merasa menguasai masalah yang disampaikan, sehingga merasa layak untuk mengaktualisasikan diri kepada orang lain. Sayangnya, forum presentasi ini bukan miliknya.
Jadi kalau kita bermaksud untuk membantunya, maka setelah dipindahkan tempat dari ruang presentasi ada baiknya kita ajak bicara seputar materi presentasi, karena jangan-jangan memang dia sudah menguasai atau justru lebih menguasai materinya, sehingga bisa dilakukan kerjasama pada kesempatan lain.
Kecuali kalau memang dia adalah tipe yang ST SP SJ, kata teman saya, tipe yang sekedar Sok Tahu, Sok Pinter dan Sok Jago. Memang pengacau sejati.
Kalau yang ini, yaaa, diajak makan saja biar segera ngantuknya datang.

20 Maret 2008

Di Sana

di sana
temanku sedang mengawasi gambar di televisi
pikirannya tenggelam dalam cerita, lupa apa yang ada
di sekitarnya

di sana
temanku sedang pegang kepala
mencari jawab untuk soal yang harus diselesaikannya

di sana
temanku sedang bekerja untuk nafkah penyambung hidup
keluarganya

di sana
temanku sedang bercengkerama, atas nama amanat
yang dibebankan ke pundaknya

di sana
temanku sedang meregang sakit
menderita

di sini
aku melihat semuanya
dan tak berbuat apa-apa
selain berkata-kata

2008

15 Maret 2008

Jakarta

pesonamu adalah bukti sukses dari marketing segala rupa
yang diselaras-selaraskan pada setiap bloknya
ada pancuran air sejuk, tetapi wahai bukan main mahalnya
ada wajah cantik semringah ramah, besar bukan kepalang di sudut-sudut tangkapan mata
menawarkan sejuta surga asal aku punya tebusan berjuta-juta
agar aku bisa bergaya, hidup bak raja

jakarta,
perutmu berisi beribu roda-gila yang gemeretak beradu besi berdebu berasap pengap
pesonamu adalah pesona betina raksasa yang cantik bertaring kala tertawa

aku ragu, adakah rahimmu benar-benar lembut dan penuh cinta-kasih ?

jakarta,
kalau ada yang aku suka darimu
karena ada sahabat-sahabatku di sana
pada mereka aku bisa tertawa aku bisa bercanda
apa adanya

jakarta,
kapan kau bisa menerima
keadaan yang ada sejujurnya
dan bukan lambang dari tempat sidang para raksasa yang bertahta

2005

Sepanyol

Ketika Timor Leste merdeka, salah-satu peninggalan Indonesia yang masih berguna di sana adalah Bahasa Indonesia. Berguna bagi setidak-tidaknya para jurnalis media di Indonesia ketika harus mewawancarai tokoh maupun rakyat setempat. Kita dapat melihat di televisi beberapa tokoh Timor Leste berbicara dengan bahasa Indonesia ketika diwawancarai, misalnya Xanana Gusmao, Mayor Renaldo, Letnan Salsinha maupun beberapa orang warga Timor Leste yang lain.
Sebaliknya, di Indonesia sendiri, akhir tahun 70-an muncul beberapa model bangunan bergaya Spanyol. Begitu disebutnya. Atap datar, kolom berderet-deret dengan lengkungan-lengkungan di antaranya, warna dominan putih. Kelihatannya ada pengaruh dari gaya bangunan di Timor Timur (waktu itu) yang nota bene dibangun oleh pemerintah pendudukan Portugis dan bukannya Spanyol. Kasihan ya, yang mempunyai bangunan Portugis tapi namanya disebut gaya Spanyolan. Tapi demikianlah, rupanya yang namanya kekuasaan memang cukup menarik untuk dinikmati, paling tidak merasa punya kekuasaan itu sudah cukup untuk membuat diri sedikit puas. Contohnya, dengan memiliki rumah bergaya Spanyol (Portugis!!!) seolah-olah sudah mempunyai merek sebagai conqueror di tanah moyang sendiri. Entah conqueror dalam soal apa.

Ada yang kemudian terjadi di awal abad 21. Masih soal Spanyol, tetapi ini agak lain bukan Spanyol atau Espagnola tetapi sepanyol. Maksudnya plesetan dari kata separo nyolong.
Sepanyol yang ini konon terjadi di lingkungan tata niaga gula nasional di Indonesia tanah air beta ketika itu, Indonesia yang sejak dulu kala(h).

Ketika harga gula tidak lagi diatur dan dikendalikan oleh Pemerintah, salah satu harapannya adalah peningkatan pendapatan petani penanam tebu dan produsen gula nasional. Peningkatan ini didasarkan oleh perhitungan bahwa jumlah permintaan (konsumsi) domestik yang jauh melebihi kemampuan produksi, yang kata pak guru ilmu ekonomi: permintaan lebih besar dari penawaran, sehingga dampaknya menurut hukum pak guru tadi: harga akan naik. Nyari gula susah kok, sedang yang butuh banyak, begitu gampangnya. Terjadilah.
Harga mbulet ndut-endutan, naik sedikit - balik lagi, naik lagi sedikit - balik lagi, begitu terjadi beberapa waktu. Petani dan sebagian produsen pada awalnya bingung. Lalu akhirnya mafhum setelah intelijen dan tim investigasi terpadu terjun meneliti liku-liku perniagaan komoditi ini.

Ternyata ada yang mengintervensi supply dengan gula impor! Karena gula impor harganya lebih rendah dibanding harga di Indonesia Raya tanah air beta. Ternyata (lagi) sebagian dari yang dijual (yang ini lebih bocengli lagi) adalah raw sugar alias gula setengah jadi yang belum layak dikonsumsi karena masih mengandung beberapa unsur kimia yang seharusnya dihilangkan dengan proses lanjutan. Nah lu! Tentu saja harga raw sugar jauh lebih murah lagi, sehingga pengimpor dan pedagangnya dapat meraup untung besar. Barangkali inilah asal istilah sepanyol yang konon kepanjangan dari separo nyolong.

Setahu saya demikian, tapi mungkin ada yang lebih tahu kisah sepanyol versi lainnya, yang tentunya lebih seru lagi.

10 Maret 2008

Log-book

Ketika dulu saya menjadi Pramuka, ada sebuah buku besar dan tebal yang selalu harus diisi oleh siapapun yang ditugasi untuk mencatat secara detil setiap kegiatan yang dilakukan oleh kelompok ini. Apapun, misalnya:
Tanggal 21 April 1959 (eh, keliru tanggal lahirnya teman saya)
Tanggal 22 Desember 1963
Berkemah di Kopeng
Pengikut 21 orang: 1 Pembina, 2 Penegak, 18 Penggalang
Berangkat pukul 07.00 dengan kereta api ke Magelang, dilanjutkan dengan berjalan kaki ke tempat perkemahan
Perbekalan: 1 buah tenda, 1 ceret, 1 wajan penggorengan, dan seterusnya
Kejadian di perjalanan:
Istirahat: di KM 10: peserta sehat semua, di KM 16: Paromo Suko hampir pingsan karena tidak sarapan.
Dan seterusnya.

Menurut pembina kami, buku log semacam itu juga ada di setiap kapal, untuk mencatat arah, posisi dan pergerakan kapal, cuaca dan segala macam kejadian pada kapal tersebut.
Membaca log book Pramuka tersebut bisa membuat tertawa, karena meskipun ada standar penulisan, tetapi bentuk tulisan dan kejadian yang tercatat di dalamnya banyak yang lucu, antara lain hampir pingsan karena tidak sarapan tadi. Tetapi catatan-catatan tersebut sebenarnya adalah rekaman sejarah. Kapan seorang Pramuka dilantik dari Siaga menjadi Penggalang, kapan si Bambang dilantik menjadi Ketua Regu Jago, kapan Danarto mendapat Tanda Kecakapan Umum untuk Morse dan Semaphore, kapan Regu Jago dikirim ke LT3 di Purworejo, dan lain-lain.
Teman-teman sering sama-sama membaca log-book tersebut dan belajar dari sana, dan dengan itu kami seringkali diingatkan bahwa sebentar lagi saatnya Ujian Kecakapan, sehingga kami giat berlatih bersama-sama, demi kehormatan sebagai Penggalang maupun demi kehormatan Regu.

Ketika sudah hampir tua dan bekerja, saya sering mendengar dan membaca tentang pecahnya boiler, ngadatnya mesin, jebolnya pipa dan bermacam-macam hal yang terjadi di sekitar. Yang terkadang sangat merugikan dan bahkan membahayakan jiwa.
Pernah saya bertanya kepada teman-teman bekerja di tempat-tempat seperti itu: apakah ada catatan semacam log-book di sana?
Ternyata jawabannya bermacam-macam, antara lain:

  • (Malah bertanya) Apa yang dimaksud dengan log-book?
  • Rasanya ada, tetapi saya belum pernah membaca isinya
  • Ada, selalu diisi oleh mandor jaga dan diparaf staf piket
  • Itu urusan mandor
  • O, ada. Pasti ada.

Saya yakin untuk mesin dan instalasi penting catatan semacam itu pasti ada dan pencatatannya pun dilakukan dengan prosedur standar.
Tetapi bahwa kemudian terjadi pecah, bocor, ngadat dan lain-lain semacamnya bisa saja karena catatannya tidak pernah dievaluasi, catatannya tidak lengkap atau memang tidak dicatat, sehingga antisipasi terhadap potensi kesulitan yang mungkin timbul tidak akurat.

Log-book adalah salah alat tidak langsung untuk menjaga keamanan dan keselamatan kerja, dan dapat pula digunakan sebagai kontrol kemungkinan terjadinya inefisiensi.
Saya yakin pula, bahwa dalam teori-teori mengenai K3, adanya log-book adalah salah satu hal yang dipersyaratkan.

Kira-kira,
Kalau Anda ingin membeli mobil bekas, kira-kira Anda pilih yang mana di antara dua pilihan ini:

  • Mobilnya pak Surip yang log-booknya sangat lengkap sekali (termasuk catatan tentang kapan dan di mana mobil tadi dicuci)
  • Mobilnya pak Joni yang penggunaan dan perawatannya sama tetapi tidak ada catatannya,
Mana yang akan Anda pilih? Kalau Anda sangat ahli, mungkin log-book tidak penting bagi Anda, karena dengan menyalakan mesin serta membawanya berkeliling sebentar Anda sudah tahu kondisi dan kualitas masing-masing mobil tadi.

Tetapi kalau yang ingin Anda beli adalah sebuah instalasi pabrik yang sangat kompleks? Bukankah log-booknya menjadi sangat diperlukan agar riwayat barang-barang yang akan dibeli tersebut dapat dipelajari? Apalagi kalau ditambah dengan keahlian dan intuisi Anda?
Karena amat sayang, kan, apabila sudah terbeli kemudian ternyata barang tersebut tidak cocok? Apalagi kalau terlanjur dibeli dengan uang pinjaman yang tetap harus dibayar angsuran beserta bunganya, sementara tidak laku untuk dijual kembali kecuali sebagai besi kiloan. Anda akan menderita rugi sangat banyak.

Teliti dan pelajari log-booknya sebelum membeli. Demikian iklan di tivi yang saya modifikasi. Selamat membeli tivi modifikasi.

Celengan

Celengan atau tempat untuk menabung uang pada jaman voor de oorlog (sebelum perang, entah perang dunia ke II atau perang kemerdekaan) berbentuk macam-macam. Konon kata para sepuh di desa, kala itu, di rumah-rumah bambu ada salah satu tiang bambu yang dilubangi secukupnya agar uang logam dapat dicemplungkan di sana. Jangan dibayangkan tiangnya sebesar bambu tiang bendera parpol yang dipasang di jalanan kota. Bambu yang dilubangi untuk celengan biasanya bambu betung yang berdiameter antara 10-15 cm. Dan ruasnya bisa sampai 30 cm. Nah, bila terisi penuh dengan uang logam, maka nilainya dapat menjadi cukup besar, karena di jaman itu bayaran se benggol alias dua setengah rupiah adalah bayaran yang umum di strata pegawai rendahan.
Kalau satu ruas telah penuh terisi maka akan dibuat lubang di ruas lainnya dan demikian seterusnya sampai dapat terbeli seekor kambing atau sapi, atau cukup untuk biaya mengkhitankan anak.
Amankah ? Ya jelas cukup aman, karena letaknya bisa sangat rahasia dan sulit di deteksi kecuali oleh anggota keluarga dalam rumah. Bahkan lebih aman daripada ditaruh di bawah tikar atau kasur (kalaupun punya kasur).
Celengan semacam itu kemudian dimodifikasi sesuai jaman dalam bentuk gerabah model ayam jago, gajah, atau Semar berperut gendut. Penampilan menjadi menarik karena sudah dberi warna dengan cat.
Ada juga yang menggunakan kaleng bekas tempat roti (jaman roti masih menjadi hidangan Londo atau wong sugih). Kaleng ini akan disimpan di dalam salah sudut lemari, kolong lemari atau bahkan terkadang ditaruh di atas empyak (plafon rumah) yang kala itu kebanyakan berbahan anyaman bambu atau bilah-bilah papan. Masih aman, kecuali rumahnya dibobol maling dan malingnya cukup mujur tidak sampai ketahuan dan tertangkap.
Sampai berapa lama proses menabung dapat dilakukan? Semaunya, tanpa rasa khawatir bahwa uangnya bakal tidak laku, karena uang limang sen alias lima per seratus rupiah bertahun 1925 terbitan Javaasche Bank masih sah digunakan sebagai alat tukar sampai awal tahun 50-an. Makanya para kakek dengan tenangnya akan menabung tanpa banyak pikiran.

Sekarang, menabung barangkali sudah sangat biasa, karena sebagian masyarakat memiliki tabungan di bank yang menjadi pilihan masing-masing, bahkan sebagian memiliki tabungan di beberapa bank berbeda sekaligus.
Tetapi benarkah menabung di bank pada jaman sekarang masih mempunyai ‘ruh’ yang sama seperti dulu pada jaman celengan bambu atau celengan semar?

Rasanya kok tidak, karena:

  • Namanya buku tabungan tetapi kalau yang tercatat masuk dan keluar dari sana adalah uang gaji, maka mestinya bernama buku titipan
  • Setiap bulan kena biaya administrasi
  • Dapat menjadi hangus atau diblokir, apabila ‘penabung’ tidak mengikuti aturan yang tertulis yang tercantum di buku/brosur yang terkadang tidak dijelaskan oleh pihak bank dan tidak dibaca oleh nasabah (salah sendiri!)
  • Dan lain-lain

Sementara:

  • Menabung di celengan semar berarti mengendalikan sepenuhnya hartanya sendiri
  • Tidak memiliki saldo minimum, jatuh tempo, biaya administrasi dan lain-lain
  • Tidak perlu hilir-mudik atau wira-wiri (riwa-riwi, Suroboyo) untuk ke luar rumah menyimpan uang, dan berapapun yang ditabung atau dipecah jumlahnya bisa sangat rahasia
  • Dan lain-lain lagi.

Di jaman sekarang ini, ketika jangankan mencari uang, mencari pekerjaan yang menghasilkan uang bagi kebanyakan orang terasa sangat sulit, sehingga menabung barangkali adalah sebuah kemewahan atau setidaknya lambang kemapanan finansial.
Itupun masih dihantam lagi dengan iklan yang mengiming-iming bahwa menabung adalah investasi, sebuah istilah yang dapat sangat membius dan melenakan nalar.
Saya bukannya antibank, tetapi berkomentar tentang anjuran menabung maka perlu diperhatikan benar-benar bahwa setelah masyarakat mengikuti anjuran tersebut jangan sampai sekedar menjadi obyek penilaian kinerja bank. Berikan pula pelayanan yang adil dan bukannya sekedar sebagai sebuah sumber masukan dan keluaran bagi bank.
Karena,
Meningkatkan harkat dan martabat hidup setiap anak bangsa adalah proses yang mutlak harus dilakukan oleh siapapun termasuk bank, yang menjadi bagian dari proses investasi untuk bangsa dan negara ini, kecuali bangsa dan negara ini memang direncanakan untuk didivestasikan oleh entah siapa kepada entah siapa.

MERDEKA !!!

08 Maret 2008

Jangan Hanya Mencari

Sebuah senggakan dari kidungan lodruk cak Kartolo berbunyi:Thithik-thithik kelompukno, nek wis nglompuk: dol..dolen !, yang ketika diiringi dengan kendang, saron gambang peking kenong bonang dan gong bersaudara yang ditabuh secara ekspresif, maka nikmatnya hwah, luarrr-biashhaaa.
Senggakan tadi artinya kurang lebih: Kumpulkan dari sedikit, apabila telah terkumpul cukup maka kemudian juallah. Sebuah rangkaian kata yang sederhana, sangat biasa, encer dan sambil-lalu. Bahasa Suroboyonya gak ngawaki. Mendengarkan senggakan yang tadi saya kok lalu mbatin sepertinya senggakan ini lahir dari pengalaman batin cak Kartolo sendiri, maestro kidungan yang gak ngawaki, sebagaimana lazimnya para maestro kidungan lodruk yang ada. Pengalaman perjalanan berkeseniannya yang panjang dan kemudian lalu dipublikasikan melalui berbagai media yang sangat luas, termasuk barangkali juga karena pembajakan kaset serta rekamannya dalam bentuk yang lain.

Pengalaman yang senantiasa bertambah dari saat-kesaat dalam bentuk pustaka - meskipun seperti yang pernah saya baca di salah satu wawancara dengan sebuah koran – berupa kumpulan catatan kidungan yang cuma ditulis di buku sekrip biasa, dan tentu saja kepekaannya dalam hal seni, manajemen, hubungan antar-manusia serta segala sesuatu yang mengikuti kehidupan berlodruknya. Segenap hal tadi telah berakumulasi dan kemudian dijadikan karya dan disampaikan kepada publik. Sesuatu yang thithik-thithik dikelompukno, kemudian diedol atau dijual. Dijual dalam arti harafiah ataupun dalam arti yang lebih dalam.

Tampaknya dengan senggakan tadi cak Kartolo menyampaikan pesan kepada para penikmat kidungannya bahwa sesuatu yang telah terkumpul memang akan lebih mendatangkan manfaat apabila ‘dijual’. Manfaat kepada penjual maupun pembeli. Karena melalui transaksi inilah manfaat akan menyebar dalam hitungan multiplikasi yang berbanding lurus dengan tinggi-rendahnya manfaat yang melekat pada sesuatu tadi.

Ketika membaca nama kolom yang ditulis pak Bondan Winarno pada majalah Tempo tahun ’76 saya terkejut, pak Bondan yang sepuluh tahun sebelumnya adalah seorang pramuka penggalang dan kemudian saya dengar menjadi jurnalis, ternyata menulis kolom tentang manajemen di sebuah majalah besar. Dan tulisannya sangat saya sukai, karena isi dan gaya penulisan beliau. Saya pikir inilah hasil jualan yang dimodali dari kumpulan pengetahuan dan pengalaman yang telah dicari dan diperolehnya selama ini.
Demikian pula, seorang teman pernah terkejut ketika membaca tulisan di sebuah blog, karena tidak pernah menduga bahwa si penulis ( yang ternyata baru diketahui bahwa itu temannya sendiri) ternyata seorang pencari dan pemulung yang akhirnya ‘menjual’ hasil yang dikumpulkan dan dipulungnya itu.
Bukan masalah kagum-mengagumi atau suka dan tidak, tetapi terkadang seseorang menemukan sesuatu yang dicarinya justru di tempat yang tidak pernah diduganya sama sekali, seperti seseorang yang menemukan segumpal duit lecek seratus ribuan sejumlah tiga lembar di dalam kantong celananya yang sudah sebulan terlipat di dalam lemari sehabis dicuci dan diseterika. Duit yang justru sedang dibutuhkannya.

Sementara ini mungkin blog hanya dibaca oleh beberapa (meskipun jumlahnya banyak) orang yang memiliki sarana dan kemampuan akses, tetapi pada suatu saat apabila fasilitas internet sudah sangat mudah dan murah (sukur-sukur gratis) maka ‘menjual’ apa saja akan menjadi cukup mudah, termasuk menjual pemikiran, oleh karenanya maka penyebaran manfaat akan menjadi lebih luas.
Dan blog menjadi salah-satu wadah yang unik, karena di sana dijual segala rupa mulai yang ‘tinggi’ sampai yang (gaya cak Kartolo lagi:) gak mbejaji, tak berharga sama sekali.

Jadi,
Kepada Blogger:
........... Thithik-thithik kelompukno, nek wis nglompuk: dol..dolen !

Kepada cak Kartolo:
........... Gak melok ngeblog pisan tah cak ?!

Kepada para Caleg:
........... Kapan Anda kampanye komputer dan internet gratis untuk para fakom dan fasa ? .

Ngeblog terus.

Unggun Api untuk Pandu Kami

Mas Bing,
Kuantar engkau di depan gerbang tanah lapang penuh bendera
Satu bendera adalah satu di antara kami
Sosok-sosok kecil yang telah kau semai di tengah belantara
Beratus beribu jumlahnya

Kujabat erat tanganmu
Gumam kami memenuhi angkasa
Mengantarmu dalam diam duka tetapi bangga
Panduku yang pergi membawa panji-panji kehormatannya

Mas Bing,
Tatap matamu meneguhkan hati kami
Sentuhan tanganmu, sentuhan hatimu, tertinggal di sini
Dan tetap begitu adanya hingga kini hingga esok hari
Tak lekang digerus waktu

Wahai pandu abadi yang menebar semangat di dada kami
Engkau telah menyentuhkan nyala dalam jiwa
Nyala yang menjadi beribu mungkin berjuta unggun api
Andai bisa, kami akan bernyanyi bersama untukmu
Kami Jadi Pandumu
Mengantarmu kembali ke Jamboree Abadi

Selamat jalan Mas Bing,
Kenanganmu abadi di hati kami
Menyala bagai unggun api

In memoriam Ir RP Suprijanto – Jogja – beserta ucapan belasungkawa yang mendalam untuk seluruh keluarga

Telaga

Andai mampu

Kuingin berada di belakangmu menguping dan mengamatimu selalu

Aku rindu datang ke telagamu

Gus, bisakah aku ?

04 Maret 2008

Sripit,sruput,glogok

Sripit menggambarkan cara minum yang sedikit dan dikecap untuk menikmati rasa minuman secara cermat.
Sruput menggambarkan cara minum yang dilakukan dengan menempelkan bibir disertai usaha untuk memasukkan minuman secara terukur dan hati-hati ke dalam mulut. Biasanya karena minumannya masih agak panas.
Glogok adalah cara minum dengan menuangkan wadah minum ke dalam rongga mulut yang bibirnya di buka lebar agar sejumlah besar minuman dapat segera tertelan masuk ke rongga perut secara cepat.
Deskripsi ini menggambarkan perbedaan perlakuan terhadap suatu obyek yang sama tetapi untuk kebutuhan dan kondisi yang berbeda.
Kemendesakan, kehati-hatian dan estetika telah menghadirkan perlakuan berbeda terhadap obyek yang namanya minuman.
Saya amat tertarik ketika membaca blog-nya pak Arief Susetiyo di frustrasi.blogspot.com tentang budaya instan.
Instansi (maksud saya peng-instan-an) menjadi sesuatu yang sangat memudahkan ketika kita berada dalam kondisi yang serba tergesa di dunia yang semakin ketet dengan kompetisi. Dunia yang seperti ungkapan: siapa cepat; dapat.
Almarhum kakek saya, mbah Karto, ketika itu mempunyai sebuah teko keramik (tanah liat yang dibakar) dengan volume kuang lebih 200-300 mililiter air teh pekat tanpa gula. Tersaji setiap saat di mejanya, beserta empat cangkir keramik mini, kira-kira berkapasitas 40-50 mililiter.
Saya masih kecil, ketika sering diajak mbah Yudo, adiknya mbah Karto ke Jenar Wetan, dan menguping obrolan serta pembicaraan dua orang sepuh yang banyak tidak saya mengerti maksudnya. Pembicaraan tentang keluarga, politik, penghidupan, dan hal-hal asing lainnya di mata seorang bocah kecil.
Yang terekam kuat dari scene ini adalah begitu intensnya beliau berdua berbicara, dalam nada rendah dan intonasi yang las-lasan, kata demi kata yang jelas. Dan ketika mbah Yudo membonceng saya pulang ke rumah, ekspresi bahagia terbawa sampai beberapa hari kemudian, seolah-olah hasil pembicaraan dengan kangmasnya tercinta itu menghadirkan pencerahan.
Ekspresi yang lebih kuat saya lihat pula ketika menonton filem tentang upacara minum tehnya orang Jepang. Bahkan cara memegang ujung lengan kimono pun supaya tidak ngribeti ketika menuang dan menyajikan secangkir teh dilakukan dengan sangat excellent dan penuh cita rasa estetika.
Dua kondisi yang seirama tadi seolah-olah mengajarkan kepada kita agar membiasakan untuk tidak kesusu-grusa-grusu dalam melihat, mendengar, merasa dan menyikapi segala sesuatu. Mungkin pemikiran seperti ini memang tipikal ‘merasuki’ orang-orang seusia saya, yang setting kecepatan dan kegesitan fisiknya sudah berubah secara alami, dan berdampak kepada caranya berpikir, atau sebaliknya, cara berpikirnya sudah mempengaruhi caranya bertindak.
Saya dulu sering tidak sabar, dibonceng sepeda yang berjalan lambat sehingga berkali-kali didahului oleh dokar dan mobil. Tetapi sekarang saya justru sangat cemas melihat kendaraan dikemudikan bersicepat bersilangan tanpa mempedulikan keselamatan orang lain, meskipun pengemudinya adalah seorang pengemudi handal yang telah sangat memperhitungkan tindakannya.
Membuat segala sesuatu menjadi lebih nyaman adalah naluri manusia dalam menjalani hidup, karena itulah maka lahirlah teknologi autopilot, teknologi bedah mikro, teknologi kopling otomatis, magic-jar dan lain-lain. Tetapi kalau kemudian juga ada senjata biologi, spam dan lain-lain sejenisnya, bukankah hal itu hanya akan menyenangkan atau membuat menang sebagian orang tetapi justru menghilangkan kenyamanan yang lainnya?
Saya mungkin golongan sripit, sementara seharusnya tetap glogok atau setidak-tidaknya masuk di kategori sruput menurut aliran kompetisi.
Golongan sripit adalah sparring-partner yang enak untuk dipukuli, karena balas memukulnya jarang-jarang tetapi kalau dipukul tidak gampang merasa sakit karena sudah kebal pukul.

01 Maret 2008

Laskar Pelangi

Saya adalah pembaca buku ‘Laskar Pelangi’ karya Andrea Hirata, dan saya kagum kepada beliau karena buku itu semula ditulis tanpa pretensi untuk dapat diterbitkan, apalagi untuk menjadi best-seller. Latar belakang penulisan buku itu (ingin saya share untuk teman-teman semua) bermula ketika beliau menjadi volunteer di Aceh. Menyaksikan seorang ibu guru yang memasang tulisan besar di depan sekolah yang porak-poranda dihantam tsunami. Posternya berbunyi: AYO SEKOLAH, JANGAN MENYERAH. Sosok ibu guru yang pantang menyerah yang menginginkan anak-anaknya tetap bersekolah dalam keadaan apapun. Seperti itu pula ibu Muslimah yang pernah mengajar beliau. Tiga minggu beliau menyelesaikan sebuah tulisan yang ketika selesai kemudian dicopy sebanyak 12 set dan dibagi kepada para anggota Laskar Pelangi serta disampaikan kepada Ibu Muslimah dan rekan kerjanya sebagai sebuah memori atas perjalanan hidupnya yang sangat berkesan.
Ketika sang rekan secara diam-diam mengirimkan naskah kepada penerbit dengan nama Andrea sendiri, kemudian buku itu terbit sebagai best-seller. Menjadi salah satu buku yang sangat inspiratif pada saat ini, bukan saja di tanah air, bahkan di luar negeri.
Mendengar bahwa buku itu akan difilemkan, dalam hati saya sangat tidak setuju, karena filemnya pasti akan sangat berbeda dengan imajinasi yang terbangun pada saat saya membacanya, dan ternyata sangat banyak pendapat yang serupa. Tetapi ternyata ada alasan yang sangat kuat, kenapa Andrea Hirata mengizinkan bukunya difilemkan oleh Riri Riza sebagai sutradara dan Mira Lesmana sebagai produsernya, yaitu karena adanya pemahaman yang sama di antara mereka, bahwa karya ini harus lebih banyak dan lebih cepat sampai kepada khalayak masyarakat. Mereka mempunyai idealisme yang sama.
Dalam hati kemudian saya sangat setuju. Biarlah kami pembaca buku itu boleh tetap memelihara imajinasi kami dengan tidak menonton filemnya, dan biarkan filem itu diproduksi dan didistribusikan untuk teman-teman yang tidak berkesempatan membaca bukunya karena berbagai hal. Yang penting, semangat (virus) yang ditangkap tetap sama, yaitu bahwa pendidikan itu penting, bahwa pendidikan yang menginspirasi itu penting, bahwa pendidikan adalah sebuah investasi karakter, bahwa guru yang baik adalah guru yang mendidik bukan hanya mengajar dan segudang hal penting lainnya.
Bertemu Andrea Hirata hari ini tadi membuat saya terkenang seorang teman lama yang hilang. Widayanto, seorang pejuang yang sangat bersemangat dan gigih di mata saya, seperti halnya Andrea Hirata.
Bung Andrea Hirata, saya tunggu virus Anda berikutnya. Salam.